[43] - Bentuk perjuangan

20.6K 1.2K 17
                                    

Seorang perempuan beberapa kali membunyikan bel, tetapi sang pemilik rumah tak kunjung membukanya. Lama ia menunggu, akhirnya pintu pun terbuka, menampilkan sosok perempuan dengan wajah yang tak begitu bersemangat. Pemilik rumah itu mengernyitkan dahinya melihat siapa yang berkunjung pagi ini.

"Ada apa?" tanyanya sedikit ketus.

"Menjengukmu. Kau tidak mempersilakan aku masuk?" Pemilik rumah itu hanya menghela napasnya, lalu ia pun membiarkan perempuan itu masuk.

"Tidak usah basa-basi. Apa yang membawamu datang ke rumahku?" tanyanya.

"Sampai kapan kau seperti ini padaku? Aku rindu kau yang dulu, Grace."

"Grace yang dulu sudah mati. Kau sendiri yang membuatnya hilang," ujar Grace kepada perempuan di hadapannya.

"Mungkin ini terlalu sulit untukmu. Namun, aku benar-benar minta maaf. Tak perlu kujelaskan lagi, kesalahanku memang sangatlah banyak, tapi apakah kau tidak rindu akan kebersamaan kita dulu?"

Rindu? Tentu saja. Dulu, ketika bundanya selalu mengabaikannya, Tssalisa selalu berada di samping sang adik. Dia selalu menjadi tempat untuk Grace berkeluh kesah, bermanja seolah dirinya memiki rumah baru untuk pulang. Namun, dengan seiring berjalannya waktu, semakin dirinya dewasa, Grace semakin menyadari jika semua pengabaian itu bermula dari Tssalisa, hingga perlahan semua itu membuatnya berjarak dengan sang kakak.

Grace menjauhkan dirinya sendiri dari Tssalisa, karena perempuan itu selalu menyita semua waktu Rani agar hanya fokus terhadap Tssalisa saja, tanpa Tssalisa sadari semua itu membuat hati sang adik terluka. Tssalisa memang sangat menyayangi Grace, tetapi ia tidak menyadari jika perlakuannya itu membuat Grace perlahan membencinya. Tssalisa menyukai Grace, tetapi Grace tidak menyukainya, gara-gara Tssalisa dirinya tak bisa mendapatkan perhatian penuh dari sang bunda.

Semakin hari Grace semakin menunjukan rasa tidak sukanya, membuat Tssalisa kesal dan tak ingin lagi berbaik hati kepada adik perempuannya tersebut. Hingga pada akhirnya mereka saling mendiamkan satu sama lain, tanpa pernah menjelaskan alasan yang signifikan. Keduanya selalu bersikap sinis. Namun, ketahuilah rasa sayang yang mereka miliki amatlah besar, tetapi hanya karena satu masalah mereka memilih untuk menjaga jarak satu sama lain.

"Aku rindu kau memanggilku Kakak. Aku rindu kau merengek meminta dibelikan es krim. Aku rindu kau memelukku erat ketika kau ketakutakan karena suara guruh petir. Aku rindu itu semua, Grace." Tssalisa menggenggam jemari Grace, sedangkan perempuan itu hanya diam.

"Mungkin luka terbesar yang pernah kuberikan padamu adalah membuatmu harus menikah dengan Ansell dan meninggalkan Dean. Aku tahu kau terluka, katakan saja aku bodoh tetapi aku hanya ingin tahu satu hal. Apakah kau bahagia?" Mendengar ucapan Tssalisa, Grace menutup matanya—membuat air mata yang tertampung di sana terus berjatuhan.

"Bagaimana bisa aku bahagia, Tssa? Orang yang kunikahi adalah orang yang ingin membuatku menderita." Air mata yang terus berjatuhan itu menunjukkan seberapa tersiksanya ia selama ini.

"Maksudmu?" Tssalisa tidak mengerti.

"Aku takut, Tssa. Aku takut lebih menderita daripada ini, tapi lebih takut jika ayah marah."

"Apa yang Ansell lakukan terhadapmu?" Grace menggelengkan kepalanya, air matanya semakin berderai. Ketika segala ketakutannya tercurahkan, justru semakin terasa sakit, amat sakit.

"Grace, katakan padaku."

"Aku ingin bercerai tetapi aku takut dengan ayah. Ditambah lagi sekarang aku sedang hamil. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang, Tssa."

"Ha … hamil?" Grace mengangguk.

"Sebenarnya apa yang Ansell lakukan? Apa karena seorang perempuan yang pernah kutemui beberapa hari lalu?"

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang