[06] - Kematian Willy

29.1K 1.8K 3
                                    

"Kamu menjauh pergi dan aku menunggumu kembali. Jadi, bagaimana kita akan memulai lagi?"

- Rasalara

***

Di langit kelam bersama malam yang sunyi. Teguh terdiam seakan menunggu kepastian sang penguasa-Nya. Tak terlihat bintang yang menghiasi langit gelap nan pekat, hanya sendiri dalam sunyi yang senyap, dan suara gemuruh dari pepohonan yang diterpa desiran angin.

Senyap ....

Namun, dalam sekerjap suara angin kembali berdesir. Lirih menyentuh dedaunan muda tampak jatuh sebelum waktunya, berguguran ke tanah, tersapu angin, terus saja tersapu oleh si angin malam.

"Haish! Sial." Ia melempar sebuah korek api ke sembarang arah. Kecewa akan jawaban dari seseorang di balik telepon sana, yang di mana dia mengatakan belum menemukan keberadaan si pelaku.

Saat ini, Ansell berdiri di depan balkon kamar dengan sebuah rokok yang diapit di sela-sela jarinya. Menghisap rokok tersebut dengan frustrasi. Selang beberapa detik kemudian Ansell mengepalkan tangannya kuat-kuat. Sial! Rasa emosinya tak bisa dikendalikan.

Beberapa jam yang lalu ....

Jiwanya seakan ikut mati, ketika ia melihat jasad seorang pria paruh baya berlumuran darah yang terbungkus koran tepat di hadapannya. Bahkan, kondisi tubuhnya sudah tak lagi utuh ketika sebuah truk menyeretnya hingga beberapa meter. Setelah ia melihat kondisinya, dia pun berdiri dengan perasaan yang penuh emosi. Tangan Ansell mengepal keras, tak terima jika orang yang berperan penting dalam hidupnya harus mati dengan cara mengenaskan seperti ini.

Lain halnya dengan wanita yang sedari tadi berdiri di samping laki-laki itu, ia hanya diam dengan perasaannya yang masih dibuat bingung. Selepas ia meninggalkan cafe, laki-laki itu membawanya ke sebuah tempat yang di mana tempat tersebut adalah tempat terjadinya sebuah kecelakaan. Ia tersentak kaget ketika melihat jasad yang terbungkus koran tersebut.

"Si ... siapa itu?" tanyanya dengan hati-hati.

"Papa." Laki-laki itu menjawab dengan nada dingin.

Mendengar pernyataan tersebut, membuat perempuan itu menggenggam erat jemarinya. Berniat untuk memberikan sebuah ketenangan, karena tidak akan ada orang yang baik-baik saja ketika ia ditinggalkan oleh sosok yang paling berarti dalam hidupnya. Sekalipun, Ansell tak menunjukan raut wajah sedih, tetapi hati laki-laki itu tetap berkata bahwa ia tidak dalam keadaan baik-baik saja.

"Aku tidak apa-apa." Ansell berusaha melepas genggaman Grace—istrinya. Lalu, selang beberapa detik kemudian ia mengambil gawai, menelpon seseorang.

"Tolong selidiki kasus ini. Lacak plat nomor yang sudah aku kirim tadi," ujarnya kepada seseorang di balik telpon.

Menurut saksi yang melihat kejadian tersebut. Mereka mengatakan ada sebuah mobil fortuna berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi. Lalu, dengan sengaja menyalip sebuah truk di depannya, hingga sopir truk tersebut harus membanting stir ke arah kanan. Namun, tanpa ia sadari mobilnya menyerempet mobil lain, membuat si pengemudi tersebut terseret beberapa meter.

Laki-laki itu akan meminta keadilan kepada pihak berwajib untuk menindak lanjuti kasus kematian ayahnya tersebut. Tak peduli seberapa banyak uang yang harus ia keluarkan untuk menyelesaikannya, yang dia inginkan pelaku tabrak lari ini tertangkap dan membayar atas semua perbuatannya. Atau mungkin, nyawa dibayar nyawa.

Lama berada di tempat kejadian dan jasad pun akan segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Laki-laki yang bernama Ansell itu memutuskan untuk segera pulang. Menyiapkan acara pemakaman sang ayah dan menindak lanjuti kasus tabrak lari tersebut. Ia tidak akan membiarkan si pelaku berkeliaran bebas.

Keduanya sudah berada di dalam mobil. Namun, Ansell terus-terusan diam tanpa berkata sepatah kata pun, membuat sang istri semakin merasa canggung.

"Kau yakin, kau baik-baik saja?"

Ansell hanya mengangguk. Lalu, ia membuang pandangannya ke arah jendela, menatap ramainya jalanan ibu kota. Saat ini, Grace tidak bisa berbuat banyak hal. Meski dirinya tak mencintai pria yang saat ini tengah duduk di sampingnya itu, tetapi ia masih memiliki rasa iba, dan turut berduka cita atas meninggalnya Willy—ayah mertua Grace.

***

Langkah Grace berhenti tepat di ambang pintu kamar milik Ansell. Sedari tadi ia mendengar beberapa umpatan yang berasal dari kamar sang suami. Sudah larut, tetapi suara berisik itu terus saja mengganggungnya. Dia tahu jika laki-laki itu sedang berduka, tetapi apakah mengumpat terus-menerus seperti itu bisa mengembalikan semuanya? Tidak sama sekali.

Perlahan perempuan itu mencoba memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya. "Kau belum tidur?"

"Ada apa?" Laki-laki itu membuka pintu kamarnya, menatap Grace dengan mata lelah. Langkah Grace mundur beberapa langkah, ketika embusan napas Ansell menyeruak ke indra penciumannya.

"Ka ... kau mabuk, Ansell?" tanya Grace terbata-bata.

"Bukan urusanmu." Ansell mencoba menutup pintunya kembali. Namun, Grace dengan cepat masuk ke dalam kamar laki-laki itu. 

Mata Grace mengedar ke seluruh penjuru kamar. Mencari sesuatu yang menurutnya tidak baik untuk dikonsumsi, kini langkah Grace mendekat ke sebuah meja yang terletak tak jauh dari balkon, di sana terlihat satu buah botol yang bertuliskan Absolut Vodka dengan kadar alkohol 40%.

"Tetap di sini atau keluar?" Ansell merebut botol yang kini sudah berada dalam genggaman Grace. Membuat perempuan itu menatapnya.

"Aku akan keluar, jika kau berjanji untuk tidak minum lagi."

"Jika aku akan terus meminumnya. Apa kau akan tetap di sini?"

"Iya," ujar Grace dengan mantap.

"Karena itu pilihanmu. Jadi, aku tidak akan membiarkanmu pergi." Ansell tersenyum smirk ke arahnya, lalu ia menenggak kembali minuman tersebut hingga tandas.

Langkah Ansell mendekat ke arahnya. Semakin Ansell mendekat semakin berdebar pula jantung wanita itu. Grace terus melangkah mundur, hingga tubuhnya berhenti tepat di belakang pintu. Namun, Ansell terus berjalan mendekat, harap-harap cemas ketika wajah tampan Ansell kian mendekati wajahnya. Tatapan Ansell yang mengintimidasi itu membuat Grace merasa ketakutan.

Kini, tangan Ansell mengarah ke arah punggungnya. "Ka ... kau mau a ... apa?"

Aroma creamy and clean finish itu semakin menusuk indra penciuman Grace, kala wajah dirinya terpaut beberapa senti meter dengan wajah Ansell—sang suami. Tak hanya itu, kini tangan kiri Ansell mengunci tubuhnya, perlahan mata Ansell pun terpejam dengan wajahnya yang terus mendekat.

Tangan Ansell berusaha menggapai kunci, sepersekian detik kemudian pintu kamar pun sudah terkunci, dengan tangannya yang masih setia mengurung tubuh Grace. Mata Ansell menatap bola mata sang istri, dia pun tersenyum. Perempuan itu semakin ketakutan, apalagi dirinya dalam keadaan yang benar-benar tidak siap.

"Aku menginginkan sesuatu," bisik Ansell, membuat bulu kuduk Grace merinding kala mendengarnya.

Detik itu juga Grace mendorong keras tubuh kekar suaminya, lalu dengan cepat membuka kunci dan berlari menuju kamarnya. Sial! Untuk yang kedua kalinya Ansell bersikap demikian, yang mampu membuat darahnya berdesir hebat. Berbeda dengan Grace, Ansell hanya tersenyum ketika melihat sang istri lari terbirit-birit karena ketakutan.

"Dasar mesum!" gerutu Grace dengan napas yang memburu.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang