[31] - Kepingan luka

18.3K 1.2K 3
                                    

Sudah hampir sepuluh menit, tetapi Ansell tak kunjung memberikannya jawaban. Akhirnya Grace pun beranjak—pergi ke kamarnya. Sedari tadi laki-laki itu hanya diam, mungkin dia tidak tahu harus mengatakannya dari mana. Atau mungkin memang tidak ada yang harus Grace ketahui tentang perempuan itu.

"Tidak perlu menjawabnya." Setelah berkata demikian, Grace benar-benar meninggalkan suaminya. Sedangkan Ansell hanya menatap kepergian sang istri yang perlahan mulai menghilang dari pandangannya.

Perempuan itu mungkin saja bisa menerima penjelasan Ansell mengenai Riana. Namun, Carla ... siapa perempuan itu?

Saat ini, posisinya sudah berada di kamarnya. Ia menarik selimutnya bersiap untuk tidur. Seharusnya ia tidak perlu memikirkan masalah yang bisa mempengaruhi pikiran dan juga calon anaknya nanti. Grace menarik napasnya, lalu perlahan ia mulai memejamkan matanya.

Benar, semakin dia memendam rasa yang amat besar. Maka, peluangnya untuk kecewa pun sangat besar. Memang, tidak seharusnya ia memiliki rasa yang seharusnya tidak ada, sekarang dirinya malah terjebak di dalam rasa yang salah. Memang seharusnya juga, perempuan itu tidak bertanya sampai sejauh ini. Sadar akan posisi—siapa dirinya di mata Ansell.

Lagi pula, mau sekeras apa pun dia melarang Ansell untuk tidak berhubungan dengan perempuan lain itu percuma saja. Dari awal pun mereka terikat tanpa dasar cinta, tetapi haruskah Grace bertingkah sampai sejauh ini? Di satu sisi lain, jika seorang laki-laki memiliki prinsip setia, maka dirinya akan tetap setia. Jika tidak, dia tetap akan berhubungan dengan banyak perempuan, sekalipun kau sudah melarangnya dengan keras. Karena pada dasarnya, semakin dilarang maka mereka akan semakin tertantang untuk melakukannya, lagi dan lagi.

Ansell membuka pintu kamarnya. Ia melihat jika perempuan itu sudah bersiap untuk tidur. Namun, ketika ia mendengar suara pintu terbuka, Grace menatap Ansell hanya sekilas, setelah itu ia menarik selimutnya sampai menutupi seluruh badannya. Ansell pun mendekat.

"Pengap, Grace." Ansell menarik selimutnya kembali.

"Carla perempuan yang sampai saat ini masih aku cintai." Sepersekian detik kemudian Ansell bersuara, Grace yang tadinya akan tertidur itu ... seketika membulatkan matanya tidak percaya.

Grace tersenyum getir. Lalu, ia menatap suaminya. "Sudah kubilang, kau tak perlu menjawabnya. Kau tuli?" ujarnya.

"Bukankah sebuah pertanyaan memerlukan jawaban?" Ansell bertanya.

"Jika memang begitu. Rumah tangga macam apa yang sedang kita jalani saat ini, Ansell?"

Grace menatap Ansell dengan serius. Berharap laki-laki itu menjawab semua pertanyaannya, seperti yang dirinya katakan tadi. Namun, ternyata laki-laki itu kembali diam. Grace yakin jika suaminya itu tidak tahu harus menjawab apa.

"Jika kau mempunyai wanita yang teramat kau cintai. Lalu, kenapa kau ingin menikahi Tssalisa?"

"Apa karena waktu itu Tssalisa meninggalkan acara pernikahannya. Lalu, akulah yang menjadi pengantinnya. Apa kau kecewa? Dan melampiaskan segala kekecewaanmu padaku?"

"Jika iya, kenapa kau menyentuhku malam itu. Tidak seharusnya aku mengandung anakmu!" Beberapa kali Grace memukuli perutnya. Kecewa? Tentu saja. Namun, apa yang harus dirinya lakukan sekarang?

Lagi-lagi Grace menatap Ansell dengan mata yang hampir dipenuhi cairan bening. Matanya memerah, dapat Ansell tebak jika perempuan itu tengah menahan semua amarahnya. Sesak sekaligus marah mulai terlihat dari wajah cantik Grace—sang istri.

"Jawab. Bukankah sebuah pertanyaan memerlukan jawaban?" tanyanya lirih.

"Kenapa diam?" Grace menundukkan kepalanya, semakin ia lama menatap wajah Ansell hatinya semakin berdenyut sakit.

***

Saat ini, seorang perempuan tengah sibuk memainkan ponselnya. Sepertinya dia tengah menunggu seseorang. Dia menggeser beberapa foto dirinya dan juga Grace, terkadang perempuan itu merasa bersalah, karenanya sang adik harus terjebak di dalam pernikahan yang sama sekali tak pernah dirinya bayangkan sebelumnya. Namun, di satu sisi lain, dia juga merasa kesal. Kenapa harus dirinya yang dipilih, dan kenapa sayang ayah—Damian—tidak membicarakannya secara terus terang.

Mengingat perkataan Grace kemarin, Tssalisa semakin merasa bersalah. Dirinya telah merebut semua perhatian Rani—bundanya yang seharusnya ditujukan kepada sang adik. Benar apa kata Grace, dirinya tidak pernah melihat sang ayah meluangkan waktunya untuk Grace, berbeda dengan dirinya. Dulu … hampir setiap hari Tssalisa menghabiskan waktunya bersama Rani, tanpa Grace—adiknya.

Mereka memang terlahir dari rahim yang sama. Namun, mereka tidak sedekat seperti kakak-beradik pada umumnya. Terlebih lagi semenjak Damian mengetahui bahwa Tssalisa bukanlah darah dagingnya, melainkan anak hasil dari hubungan gelap sang istri bersama selingkuhannya. Entah, terlalu bodoh atau bagaimana Damian tidak menyadarinya.

Begitu tidak tahu malunya!

Laki-laki itu mengetahui semuanya saat Tssalisa mengalami kecelakaan dan kehilangan banyak darah, tetapi disaat Damian ingin mendonorkan darahnya justru tidak memiliki kecocokan. Dari situlah, Rani mulai menjelaskan segala penyesalannya, hingga Damian sudah tak ingin mempertahankan rumah tangganya. Namun, melihat kondisi Tssalisa yang mengkhawatirkan itu berhasil menyentuh relung hatinya. Laki-laki itu menyampingkan egonya dan memilih untuk bertahan demi kedua anaknya, sekalipun Tssalisa bukanlah darah dagingnya.

Saat itu, Grace tahu apa yang menjadi alasan kedua orang tuanya bertengkar. Namun, dia tak begitu memedulikannya. Meskipun mereka terlahir dari ayah yang berbeda, baginya Tssalisa tetaplah kakaknya. Waktu itu, usia Tssalisa menginjak empat belas tahun, sedangkan Grace berusia dua belas tahun. Semakin Grace bertumbuh dewasa, dia semakin sadar, jika Tssalisa selalu menjadi prioritas bundanya. Hingga pada akhirnya dia marah, iri, kecewa, dan seiring berjalannya waktu Grace membenci kedua perempuan itu.

"Grace janji untuk tidak mengecewakan Ayah. Apa pun itu dan bagaimanapun itu."  

Maka dari itu, kenapa Grace tidak berani mengatakan tidak kepada ayahnya. Itu semua karena Grace merasa bahwa Damianlah satu-satunya orang ia miliki di dunia ini. Padahal, baik-buruknya ibumu, dia tetaplah ibumu. Namun, Grace tidak pernah berpikiran sampai sejauh itu, rasa iri dan sakit hatinya menjadikan Grace sosok yang keras, khususnya kepada Rani dan juga Tssalisa.

"Sudah lama?" tanya seorang laki-laki yang baru saja tiba.

"Lumayan. Tumben kau mengajakku ketemu, ada apa?" Tssalisa bertanya.

"Tidak apa-apa. Oh, ya. Kemarin kau meminta alamat rumah Ansell, untuk apa?"

Tssalisa terdiam. Mungkin, jika dirinya berkata jujur. Laki-laki itu akan marah besar, terlebih lagi Grace perempuan yang sangat dicintainya. Namun, jika benar ini semua akan membuat Dean marah justru itu lebih bagus. Terkadang Ansell harus diberi peringatan dan … sepertinya Dean bisa melakukannya.

"Kemarin aku melihat Ansell dengan perempuan lain. Pikirku, Grace harus tahu jadi aku pergi ke rumahnya. Aku tidak mau adikku menderita."

Tssalisa menarik napasnya, sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Aku tahu, ini semua ulahku. Namun, aku juga tak ingin membiarkannya terluka."

"Dean?" panggilnya. Laki-laki yang tengah serius mendengarkanya itu menoleh.

"Kau sama sepertiku, bukan? Tidak ingin melihat Grace terluka?"

Dean mengangguk. Laki-laki itu masih ingat jelas ketika dirinya mengucapkan satu kalimat kepada Grace—saat pertama kali ia mengetahui jika kekasihnya itu sudah menikah dengan sepupunya sendiri. Dean berkata; Jika Ansell berani menyakiti Grace, maka laki-laki itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk merebutnya kembali.

To be continued ....                                                               

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang