[10] - Pelik

26.4K 1.7K 3
                                    

"Untuk yang terakhir kalinya jariku menulis tentangmu, akan kupastikan tidak ada kata 'Lain kali' lagi. Semoga bahagia selalu menyertaimu."

- Rasalara

***

Banyak pasang mata yang memperhatikan dua sejoli tersebut. Saat ini, keduanya tengah berada di sebuah mall, yang posisinya tak jauh dari rumah perempuan itu. Siapa yang tak mengenali sosok Ansell? Pria yang mampu menarik perhatian semua orang yang melihatnya. Bukan hanya parasnya yang mampu memikat, tetapi dia adalah salah satu direktur dari perusahaan ternama.

Membuat dirinya semakin digandrungi kaum hawa.

Gaya casualnya yang menonjol membuatnya terus-menerus menjadi pusat perhatian. Ansell terlihat sangat santai seperti pria pada umumnya, biasanya dia akan terlihat dingin dan berwibawa dengan pakaian formalnya. Namun, sekarang justru malah kebalikannya. "Sepertinya aku salah tempat," ucap Ansell berbisik.

"Apalagi aku yang berdampingan langsung denganmu, membuatku tak nyaman."

Ansell menarik tangan Grace menjauh dari keramaian tersebut. Lalu, pria itu membawa sang istri ke sebuah toko yang tak terlalu ramai. Dirinya meminta agar Grace menunggu Ansell beberapa menit, ia akan membeli sebuah topi terlebih dulu. "Tunggu sebentar," ucapnya.

Grace hanya mengiakan, lalu ia memainkan ponselnya. Membuka galeri, yang di mana masih banyak foto dirinya bersama Dean, ternyata benar. Melupakan itu bukanlah perkara yang mudah, terlebih lagi dia sangat mencintainya. Miris, harus butuh berapa lama ia melupakannya?

Dirinya memang sudah bersuami, tetapi hati dan pikirannya terus saja berpacu pada Dean, tak habis pikir. Sebesar inikah rasa cintanya?

"Grace?" Suara khas itu terdengar sangat familiar.

"Dean?" gumamnya, atensinya mengedar mencari sumber suara tersebut. Ternyata benar, kini Dean berada tepat di belakangnya.

"Sedang apa?" tanya pria itu dengan senyuman yang terukir.

"Aku? Em, hanya berjalan-jalan saja," jawabnya gugup. Lebih tepatnya mungkin bukan gugup, melainkan ada rindu yang tertahan.

"Kau sendiri?" tanyanya.

"Aku sedang mencari kemeja. Kau pergi sendirian?"

"Aku pergi de ... de ...."

"Denganku." Suara bariton itu menginterupsi.

Dean yang saat ini melihat keberadaan Ansell itu hanya mengangguk.  Sedangkan, Grace hanya diam, setelah itu ia pamit untuk menghindari keduanya. Rasanya canggung ketika ia dan suaminya dipertemukan dengan mantan kekasihnya tersebut.

Jujur, ketika melihat dua sejoli di depannya itu, seperti ada belati yang mengiris relung hatinya. Namun, senyum penuh kedustaan itu harus membuktikan jika dirinya kuat. Kuat ketika ia harus merelakan perempuan itu bersama laki-laki lain. Sebab, ia tidak ingin egois. Lagi pula, mencintai tak harus memiliki.

"Lama tidak berjumpa." Dean membuka suaranya. Dia tersenyum, lalu menjabat tangan Ansell—sepupunya.

Ansell membalas jabatan dari Dean. Seperti tidak ada masalah antara keduanya, padahal Ansell sudah jelas merebut kekasihnya, tetapi Dean masih saja bersikap seolah itu semua bukanlah masalah yang harus dibesarkan. Ah, atau mungkin, ini adalah janji Dean kepada Grace? Jika dirinya tidak akan berada di tengah-tengah Ansell dan juga Grace?

Bisa jadi!

"Tidak menyangka, jika perempuan yang kau nikahi itu adalah—"

"Grace, kekasihmu." Ansell memotong ucapan Dean.

Laki-laki itu hanya tersenyum simpul. "Dari ribuan wanita. Kenapa harus dia," ucapnya dengan sedikit terkekeh. "Ah, ya. Maaf, aku tidak sempat datang ke acara pernikahanmu. Begitu pun dengan orang tuaku, mereka masih menetap di Inggris. Juga turut berduka cita atas meninggalnya paman Willy. Lagi-lagi aku tidak bisa datang."

"Tidak apa-apa." Ansell tampak santai menyikapinya.

"Tolong jaga dia. Jangan sesekali menyakiti perasaannya, jika semua itu terjadi. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk merebutnya kembali," bisik Dean.

"Mari kita lihat saja nanti. Aku berharap semoga wanita ini tak bernasib sama seperti dia." Setelah mendengar kalimat itu, tangan Dean tiba-tiba mengepal keras. Namun, sebisa mungkin dirinya harus bisa menahan emosinya tersebut, tetap tenang dan jangan terpancing akan ucapan Ansell baru saja.

Ketika Ansell mengatakan 'Dia' detik itu juga pikirannya mengarah kepada seorang gadis cantik yang ia kenal empat tahun silam. Namun, apakah Ansell mengetahui kejadian tersebut?

"Aku pergi." Detik itu juga Dean meninggalkan tempat tersebut.

Beberapa saat setelah kepergian Ansell, Grace pun tiba dengan tiga botol minuman yang dibawanya. Namun, ketika dirinya sampai, sosok Dean tak lagi terlihat. Sebenarnya, ia tak ingin benar-benar menghindar dari Dean, bertemu dengannya saja mampu mengobati sedikit rasa rindunya. Jika saja ia tidak pergi bersama Ansell mungkin ia dengan Dean bisa berbincang lebih lama lagi.

Dean sudah menempati janjinya, laki-laki itu sudah berusaha untuk melupakan dan menerimanya. Seharusnya ia juga melakukan hal yang serupa, tetapi kenapa begitu sulit. Grace menghembuskan napasnya dengan kasar, tanpa ia sadari Ansell sedari tadi memperhatikannya.

"Simpan rasa kecewamu," ucap Ansell seraya merebut satu buah botol dari genggaman sang istri. Sedangkan, Grace hanya mendengkus kesal.

***

Hari ini adalah jadwal sidang skripsinya, waktu sudah menunjukan pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Seorang perempuan yang kini tengah menata rambutnya itu sudah siap, lengkap dengan blouse putih dan rok hitam selutut itu membuatnya tampak formal. Tak lupa ia pun sedikit merias wajahnya agar terlihat fresh saat sidang nanti.

Setelah merasa cukup puas dengan riasan mau pun penampilannya, ia pun segera keluar dari kamarnya. Perempuan itu menarik napasnya lalu dibuangnya kembali. Gugup, itulah yang dirasakannya saat ini. Bagaimama tidak? Dirinya sudah berada di gerbang perjuangan akhir, setelah hampir empat tahun penuh ia mendalami teori masa perkuliahan, dan hari ini adalah hari di mana dirinya akan berjuang untuk mendapatkan sebuah gelar, Sarjana.

Cemas? Tentu saja. Sidang skripsi ini merupakan salah satu momen yang paling menegangkan dan juga menakutkan selama menjalani masa perkuliahan, karena sidang ini akan menentukan nasib kelulusannya. Oleh karena itu, dirinya sudah benar-benar menyiapkannya sebaik mungkin.

"Jangan gugup, ingat." Damian berpesan.

"Semangat untuk berjuang nanti anak Bunda," timpal Rani.

"Semoga kau bisa menampilkan hasil yang baik, Grace."

"Ya. Hwaiting!" ucap Grace dengan penuh semangat. Dia melirik ke arah sang suami yang saat ini tengah menikmati sebuah roti sebagai sarapannya. Laki-laki itu tampak biasa saja, tak memberikan respons apa pun. Menyebalkan!

Ansell yang merasa dirinya tengah diperhatikan oleh sepasang mata yang lebar tetapi terlihat tenang itu bersuara. "Apa?"

"Kau tidak memberikanku semangat?"

"Apa itu perlu?" jawabnya dengan ekspresi datar.

"Ansell!"

"Semangat istriku." Setelah mengucapkan dua kata tersebut Ansell memutar badannya, dan kembali menikmati sarapannya.

Grace menggerutu setelah mendengarnya. Bagaimana tidak? Meskipun ia diberi semangat oleh sang suami, tetap saja ia masih merasa kesal. Apalagi melihat ekspresinya yang begitu datar seperti jalan tol, membuat dirinya semakin ingin memaki.

"Apa aku boleh memakimu?" bisik Grace dengan nada kesal.

"Tidak boleh," jawab Ansell seraya menatap wajahnya, lagi-lagi wajah mereka hanya terpaut beberapa senti meter. Membuat orang yang melihatnya merasa gemas akan sikap keduanya, terkecuali Tssalisa.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang