[05] - Tawamu laraku

31.5K 1.9K 22
                                    

“Aku akan merindukanmu, meski cerita kita telah usai.”

- Dean Dominic

***

Dersik menerpa setiap helai rambutnya. Sinar rembulan memancar dengan begitu indahnya, hingga menarik perhatian seorang perempuan yang sedari tadi terus mengurung dirinya di dalam kamar. Bosan, akhirnya ia berniat untuk pergi keluar meski sekadar menghirup udara segar di malam hari. Lagi pula, semenjak ia menempati rumah tersebut, dirinya tak pernah berjalan-jalan di sekitar kompleknya.

Kini, perempuan itu menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Menguncir rambutnya, lalu bersiap untuk pergi. Namun, ketika langkahnya mendekati ruang tamu, ia melihat Ansell tengah fokus menatap layar laptopnya. Sesekali ia mengucek matanya, dan membuang napasnya dengan kasar. Terlihat jelas jika pria itu sudah kelelahan, karena terus bekerja seharian.

"Kalau lelah, kenapa tidak istirahat saja?"

Pria yang mendengarnya itu menatap kepada sang istri. Lalu, membuka kacamatanya. "Ada yang harus kukerjakan." Pria itu menjawab sebelum ia difokuskan kembali kepada laptopnya.

"Mau ke mana?" tanya Ansell tanpa melihat wajah perempuan itu.

"Cari angin."

Mendengar ke mana sang istri akan pergi. Ansell pun dengan cepat menutup laptopnya, kemudian ia melepas kembali kacamatanya. "Biar aku temani."

Awalnya Grace sempat menolak. Namun, langkah Ansell yang kini sudah berada di ambang pintu itu membuat Grace tak lagi bersuara. Kini dirinya hanya mengikuti ke mana langkah Ansell akan membawanya pergi. Grace bejalan di belakang Ansell, membuat pria itu merasa terganggu karenanya. "Kau istriku, bukan bodyguard. Berjalanlah di sampingku," ucapnya seraya menarik tangan Grace agar berjalan beriringan dengannya.

Perjalanannya sedikit canggung, tidak ada topik pembicaraan yang mampu mencairkan suasana. Keduanya hanya menatap lurus ke depan, hingga mereka tiba di pinggir jalan yang cukup dipadati kendaraan beroda empat. Rencananya Ansell akan mengajak Grace ke sebuah cafe yang berada di seberang jalan sana.

Ketika lampu lalu lintas berpindah menjadi warna merah, dan kendaraan yang melaju di ruas jalan raya berhenti tepat di depan garis pembatas. Saat itu juga, tangan Ansell meraih jemari Grace, menautkannya dengan jemari kekar miliknya. Lalu, langkah pun mengayun menyeberangi jalan. Terasa hangat ketika jemari mereka saling bersinggungan. Menimbulkan perasaan aneh yang membuat darah berdesir hebat.

"Kita mau ke mana?" tanya Grace dengan rasa gugup yang menderu.

"Cafe di seberang sana," jawabnya dengan santai.

Saat ini, ia merasa seperti sepasang suami istri sungguhan. Sebelumnya, ia tak pernah sedekat ini dengan Ansell. Bahkan, ini adalah kali pertamanya tangan Grace digenggam sang suami. Semenjak mereka menikah, Ansell tak pernah menyentuhnya dan genggaman itu adalah sentuhan pertamanya.

"Tapi, aku tidak ingin makan."

"Aku tidak mengatakan akan mengajakmu makan."

Grace mengerucutkan bibirnya, sebal. Kenapa Ansell memiliki sifat yang jauh berbeda dengan Dean? Dia kaku, sudah seperti kulkas yang bernapas. Terkadang mulutnya tajam seperti pisau yang baru saja diasah. Dia bukan orang mudah ditebak, dan Grace sudah terjebak dalam jeratan seorang Ansell Manuel Kyle.

***

"Dulu, tawamu adalah bahagiaku. Tapi sekarang, tawamu adalah laraku."

Seorang pria tengah menatap foto seorang perempuan, yang tak lain adalah mantan kekasihnya tersebut. Ia memandang foto itu dengan waktu yang cukup lama, membuat matanya kembali memerah. Sesak, tetapi tak ada bulir air mata yang menetes. Selang beberapa detik kemudian, ia mengambil langkah menuju kamarnya, di sana terlihat bunga edelweis yang terikat rapi oleh pita. Senyum pun terukir.

"Pada dasarnya, di dunia ini tidak ada yang abadi." Pria itu mengambil seikat bunga edelweis tersebut. Lalu, di simpannya ke dalam kotak yang berukuran sedang.

Masih teringat jelas, betapa susahnya ia mendapatkan bunga tersebut. Katakan saja, dia adalah pencuri. Karena pada dasarnya ia memetik bunga edelweis itu langsung dari pegunungan, yang di mana itu semua tidak diperbolehkan dan melanggar undang-undang. Bunga edelweis termasuk bunga yang dilindugi. Namun, dia tak menghiraukannya, dia bersikeras untuk memetiknya secara diam-diam.

Pria itu mempunyai hobi mendaki, yang di mana bunga tersebut ia dapatkan ketika dirinya mendaki di Gunung Semeru yang memiliki ketinggian 3.676 Mdpl. Gunung Semeru ini tak hanya dikenal sebagai gunung tertinggi di Pulau Jawa. Gunung ini juga dikenal karena memiliki hamparan edelweis yang mampu memikat para pendaki.

Bunga tersebut ia dapatkan dua tahun silam, ketika dirinya masih berstatus sebagai mahasiswa. Namun, sekarang dia sudah menjadi seseorang yang mengerti perihal hukum. Jika diingat lagi, tak seharusnya ia mengambil tumbuhan yang dilarang dan dilindungi oleh negara.

Hanya karena memiliki kesan yang cukup dalam, maka dari itu ia hanya ingin mendapatkan bunga tersebut langsung dari pegunungannya. Sesuai dengan maknanya. Yakni, abadi dan pengorbanan. Ia juga ingin menunjukan seberapa berkorbannya dia untuk mendapatkan bunga edelweis tersebut.

Selain itu, ia juga masih mengingat perihal bunga edelweis dan secarik kertas yang ia berikan dua tahun yang lalu. Untaian kalimat itu ia tulis di atas ketinggan 3.676 Mdpl. Saat itu, sinar mentari baru saja terbit, pertanda alam mulai bernapas kembali. Embun pagi mulai bergelayut manja di ujung dedaunan, dengan suasana yang dingin dan juga awan yang berkabut tebal. Dirinya duduk di hamparan tanah yang luasnya tak seberapa.

Namun, kini hancur-luruh hatinya ketika perempuan yang dulu ia perjuangkan memilih untuk menikah dengan seorang pria yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Sekarang, keduanya sudah seperti laksana minyak dan air, tak mungkin bisa untuk bersatu.

***

"Dari tadi kau menatapku terus. Kenapa?" Perempuan itu merasa tidak nyaman ketika sorotan mata Ansell terus menatap dirinya. Tak ada suara yang keluar dari mulut lelaki itu, tetapi tatapannya yang tajam itu membuat dirinya sangat tidak nyaman.

"Ada sesuatu yang menarik perhatianku." Ansell pun bersuara setelah beberapa menit hanya menatap wajah sang istri.

"Apa?"

"Bibirmu."

Ansell mendekat dengan tatapannya yang begitu mengintimidasi. Bahkan saat ini wajah Ansell hanya terpaut beberapa senti meter dari wajahnya. Degup jantung berdetak secara abnormal, ketika wajah Ansell terus mendekat ke arahnya. Sorotan matanya hanya terfokus ke satu inti. Yakni, bibir Grace. Embusan napas beraroma mint itu menyeruak ke indra penciumannya. Grace semakin tak bisa berkutik, apalagi ketika tangan Ansell berusaha menggapai bibirnya. Perlahan Grace pun mulai memejamkan matanya.

"Aku hanya membersihkan noda di bibirmu. Tidak perlu setegang itu." Ansell tersenyum kambing.

"Caramu menggodaku terlalu receh!" Grace mendelik. Sial! Sikap Ansell membuat dirinya salah tingkah.

Beberapa saat setelah itu, Ansell disibukkan kembali dengan ponselnya. Namun, Sepersekian detik kemudian Ansell berdiri dengan mata yang membelalak. Giginya bergemelatuk, tangannya mengepal keras. Grace yang melihatnya pun merasa kebingungan.

"Ada apa?"

Ansell tak menjawabnya. Ia hanya menarik lengan Grace untuk keluar dari cafe tersebut. "Ansell?" Grace bersuara kembali.

"Diam. Cukup ikuti aku saja!"

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang