[20] - Asmaraloka?

23.3K 1.4K 6
                                    

Sebelum pulang ke rumah, Grace mengajak Ansell untuk pergi berbelanja kebutuhan rumah tangganya. Stok makanan di kulkas hampir habis, terutama camilan, karena mengemil setiap malam itu sudah menjadi kewajiban bagi Grace, tetapi meskipun begitu. Berat badannya tidak pernah naik. Heran! Padahal Grace menginginkannya.

Sikap Grace masih seperti biasanya, seolah dia sedang tidak dalam keadaan hamil. Perempuan itu memilah-memilih berbagai jenis snack, Ansell yang melihat setiap pergerakan sang istri merasa khawatir, takut jika terjadi sesuatu kepadanya, pasalnya perempuan itu bergerak ke sana-ke mari dengan gerakan yang cepat.

"Pelan-pelan, Grace!" Ansell berusaha mengingatkan sang istri. Apa hanya dirinya saja yang bersikap berlebihan?

Namun, Grace tidak mengindahkannya. Saat ini, Grace tengah berusaha mengambil snack yang terdapat di slot paling atas, tetapi tangannya tak cukup sampai untuk mengambil makanan tersebut. Tak mau menyerah, akhirnya Grace berusaha melompat agar tangannya sampai. "Grace!" teriak Ansell, laki-laki itu mendekat ke arahnya, lalu mengambil sebuah snack yang diincar sang istri.

"Punya mulut, 'kan?"

Grace mengangguk. Perempuan itu paling senang jika pergi berbelanja, dia bisa membeli banyak makanan untuk stok di rumahnya, saking terlalu senangnya, Grace sampai lupa jika dirinya tengah berbadan dua saat ini. Membuat Ansell semakin kesal dibuatnya.

"Apa susahnya, bilang tolong? Lupa, jika kau sedang berbadan dua sekarang?" cibir Ansell. Grace terdiam, sungguh perempuan itu benar-benar lupa.

"Aku masih belum terbiasa dengan kehamilan ini, lupa juga kalo aku sedang hamil," ujarnya merasa bersalah.

"Lagi pula aku tidak apa-apa. Jangan terlalu berlebihan," ucapnya enteng.

"Terserah!" Ansell melangkah pergi, berniat untuk menunggu di mobil saja.

Lima belas menit sudah Grace menghabiskan waktunya untuk berkeliling di supermarket, dia membeli begitu banyak persediaan makanan, cukup untuk satu bulan ke depan. Grace pergi ke arah kasir, perempuan itu celingak-celinguk mencari sang suami. Namun, tak kunjung mendapatkannya.

"Semuanya jadi 847.000, ada lagi?" Grace menggeleng.

"Tambah ini," ucap seseorang yang saat ini posisinya berada di belakang Grace, Ansell.

"Baik. Jadi totalnya 1.205.400," ujar kasir tersebut.

Ansell memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan, lalu ia mengambil alih barang belanjaan dari tangan sang istri. Sepertinya Ansell akan menjadi suami siaga untuk Grace. Lain halnya dengan Grace, perempuan itu hanya tersenyum melihat perlakuan Ansell saat ini. Bagaimana tidak? Laki-laki itu membelikannya sebuah susu khusus untuk ibu hamil. Padahal Grace saja tidak berpikiran sampai sejauh itu.

Ternyata Ansell tidak benar-benar menunggunya di dalam mobil. Laki-laki itu berkeliling untuk melihat-melihat beberapa camilan yang lain. Namun, ia tak sengaja melihat beberapa merk susu kotak yang berisikan 400grm. Mengingat sang istri tengah berbadan dua, Ansell berinisiatif untuk membelikannya.

"Kau sengaja membelikannya?" tanya Grace dengan senyum yang menggoda.

"Tidak sengaja melihatnya," ujar Ansell tanpa ekspresi.

Grace sedikit terkekeh. "Papa udah perhatian, nih, bilang makasih ke Papa," ucap Grace seraya mengusap perutnya beberapa kali. "Makasih, Papa."

Laki-laki itu membuang pandangannya ke arah jendela, lalu tersenyum. Sepersekian detik wajahnya kembali datar tanpa ekspresi. Terdengar menggelikan. Namun, mampu membuat Ansell sedikit terkekeh, gemas. Kini, laki-laki itu mulai mengendarai mobilnya— meniggalkan area parkir.

"Kau gila?"

"Gila?" Grace mengerutkan dahinya—tidak mengerti.

"Berbicara sendirian," ujar Ansell tanpa menatap sang istri.

"Aku bicara dengan anak kita. Anak aku dan kamu," imbuhnya.

***

"Aku sudah mengumpulkan semua bukti, dan semua bukti itu mengarah kepada sopir truk. Jadi, kemungkinan besar kita bisa memenangkan kasus ini," ujar seorang laki-laki yang kini tengah berada di sebuah cafe yang tak jauh dari tempatnya bekerja.

"Lalu, kau akan membawa berapa saksi?" tanya seorang perempyan yang duduk di meja yang sama.

"Empat orang. Kau tenang saja, aku sudah membawa bukti yang cukup kuat."

Gadis yang bernama Tssalisa itu sedikit tenang. Tidak salah memilih, ternyata Dean sangat pintar memutarkan fakta yang sebenarnya. Entah, taktik apa yang ia rencanakan, tetapi Tssalisa menaruh harapan besar terhadap Dean. Apa pun rencananya, harapannya hanya satu. Yaitu, memenangkan kasusnya.

Sidang kedua akan digelar satu minggu lagi, semua persiapannya sudah matang, ia siap melawan pihak Ansell di persidangan nanti. Tentu saja, mereka berharap Ansell pulang dengan kekalahan. Sebenarnya, Tssalisa tidak begitu membenci Ansell, tetapi yang membuatnya seperti ini karena ia ingin terbebas dari tuntutan yang dilaporkan oleh laki-laki itu.

"Sebelumnya, aku ingin meminta maaf. Karena ulahku Grace menikah dengan Ansell," ucap Tssalisa. Ada rasa sesal yang mengganjal di hatinya.

"Aku sudah mengubur dalam-dalam kenanganku bersama Grace, jadi lupakanlah," imbuh Dean.

"Semudah itu?"

"Tidak, tapi aku sedang berusaha melakukannya."

***

Grace dan Ansell tiba di rumah pukul 20.15 WIB, setelah hampir seharian mereka mengahabiskan waktu bersama, dari mulai membuat cimol, pergi ke dokter, dan juga pergi berbelanja. Meski di satu sisi lain keduanya masih tidak menyangka jika pergi ke dokter akan membuahkan hasil.

Grace merentangkan tubuhnya di atas sofa. Ternyata dunia sebercanda ini, ketika ia mengharapkan sebuah perpisahan, tetapi Tuhan malah mempererat hubungannya, dengan adanya janin di dalam perutnya. Takdir memang tidak ada yang tahu, tetapi Grace tidak merasa kecewa jika kenyataannya dia tengah mengandung darah daging Ansell—laki-laki yang sangat tidak ia sukai.

Grace mengambil sebuah kalender yang terletak di atas meja. Tanpa ia sadari, dirinya sudah telat menstruasi selama hampir dua minggu. Lalu, ia pun menghitung HPHT. Ternyata memang hitungannya benar, meskipun usia pernikahannya baru menginjak tiga minggu, tetapi usia kehamilannya sudah memasuki usia satu bulan itu bukan berarti Grace pernah melakukannya sebelum menikah. Karena yang dihitung adalah Hari Pertama Haid Terakhir, bukan dihitung saat sperma bertemu ovum.

"Tidak tidur?" tanya Ansell yang baru saja keluar dari kamarnya, seraya membawa handuk kecil.

"Belum mengantuk. Em ... Ansell? Aku boleh bertanya?" ucap Grace. Ansell pun mengangguk lalu ia duduk di depan Grace.

"Soal yang kau katakan tadi sore. Apa kau akan berusaha mencintaiku?" tanyanya.

Ansell terdiam. Antara yakin dan tidak, tetapi mencintai Grace yang tengah mengandung anaknya itu memang sudah menjadi sebuah keharusan. "Akan kucoba."

"Mau berjanji?"

"Aku tidak akan berjanji, karena laki-laki yang dipegang adalah janjinya."

"Lalu?"

"Aku akan berusaha."

'Semoga usahamu membuahkan bukti.' Grace bersuara dalam hati.

Mendengar pernyataan Ansell, Grace pun beranjak berdiri, berniat untuk pergi ke kamarnya. Meninggalkan Ansell tanpa sepatah kata pun, dia tidak kecewa akan jawabannya. Lagi pula, benar kata Ansell. Laki-laki itu yang dipegang adalah janjinya, ketika janji tersebut diingkari justru ia akan mendapatkan sebuah kekecewaan yang bisa saja melebihi dari jawaban Ansell malam ini.

"Mulai sekarang, aku akan tidur bersamamu."

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang