[36] - Berpeluk luka

19.9K 1.2K 10
                                    

Pagi menyapa dengan sinar mentari yang begitu indah. Menggeser posisi malam, lalu digantikannya dengan mentari yang telah lama menyinari bumi pertiwi. Suara burung berirama merdu berpadu dengan suara desiran angin. Terdengar riuh, tetapi itu menyejukkan.

Perempuan itu sedang duduk di tepian ranjang. Mata lebarnya yang indah itu menyipit dengan sebuah lengkungan manis di bibir ranumnya, dia memandang lamat-lamat wajah suaminya yang masih larut dalam buaian mimpi. Pernikahan yang berawal tanpa cinta itu kini telah berubah, takdir dengan sengajanya menumbuhkan rasa di hatinya.

Lama ia memandang, semakin terlihat wajah lelahnya. Bagaimana tidak? Semalaman laki-laki itu bergadang hanya untuk menemaninya kala rasa sakit menyerangnya. Laki-laki yang baru-baru ini dirinya cintai itu ternyata memiliki sisi kelembutan, dibalik sikapnya yang dingin terselip sikapnya yang manis. Tak heran jika lambat-laun dirinya menyukai pria tempramen yang sama sekali tak pernah ia bayangkan akan menjadi suaminya.

Deru napasnya berirama, sudah pukul tujuh pagi. Namun, laki-laki itu tak kunjung membuka matanya, perlahan tapi pasti jari lentiknya itu berusaha menggapai kepalanya, perempuan itu mengelus rambut sang suami dengan senyuman tipisnya. Tanpa ia sadari sebuah tangan kekar menariknya lembut lalu dirinya pun jatuh di atas kasur.

"Ka … kau sudah bangun, Ansell?" tanyanya gugup.

"Bagaimana bisa aku terus memejamkan mata ketika wajah cantikmu berada tepat di depan wajahku, serta mata indahmu yang terus menatapku? Sangat disayangkan bukan, jika aku tidak menatapnya balik?"

Semburat merah mulai menghiasi pipinya. Grace mengedarkan pandangannya seolah menghindari tatapan Ansell yang penuh rayu. Namun, pandangannya kembali berhenti di wajah tampan milik suaminya. Ada binar dan senyum tertahan di wajahnya yang cantik, membuat Ansell tertawa kecil.

"Hari ini aku libur. Mau jalan?" ajaknya seraya menatap lekat mata Grace.

Perempuan itu tersenyum lalu mengangguk. Berusaha melepaskan tubuhnya yang saat ini berada di dalam pelukan suami. "Lepas dulu, mau mandi." Grace bersuara. Namun, Ansell malah semakin menatapnya.

"Mandi bareng?" tanya Ansell penuh rayu.

"Mandi sendiri-sendiri. Jangan aneh-aneh!" Bola mata Grace memutar dengan malas.

Ansell pun melepaskan pelukannya, membiarkan sang istri pergi untuk mandi. Kebetulan hari ini adalah hari minggu, sengaja Ansell akan mengajaknya untuk pergi sekadar untuk berjalan-jalan saja, mengisi waktu libur dengan menghabiskan waktunya bersama sang istri. Itung-itung masa pendekatan, karena selama ini dirinya selalu bersikap ketus kepada istrinya tersebut.

Lima belas menit berlalu, Grace pun sudah selesai, dia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan kimono berwarna biru muda, lalu pergi ke meja riasnya untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Sekilas Grace melirik ke arah Ansell, laki-laki itu masih berdiam diri di atas kasur dengan wajah bantalnya.

"Katanya mau mandi, kok masih diam?" tanya Grace. Mendengar itu Ansell pun beranjak mengambil handuk dan segera pergi mandi.

"Bajunya terlalu ketat, loh, itu." Ansell yang baru saja selesai mandi itu berkomentar, ketika melihat baju sang istri terlihat sangat ketat di tubuhnya.

"Dulu nggak seketat ini, deh. Aku gemukan, ya?" tanya Grace, padahal ia merasa baju itu sangat cocok dikenakannya.

Ansell bingung. Dia tahu betul jika perempuan adalah pesies paling rumit, apalagi bertanya perihal barat badan. Jika dirinya mengatakan tidak, maka dia akan marah, katanya harus berpendapat dengan jujur. Namun, jika dirinya mengatakan yang sejujurnya, dia tidak akan terima—marah. Kejadian seperti ini terlalu umum, maka dari itu kenapa laki-laki selalu salah di mata perempuan.

"Berat badan ibu hamil suka naik. Wajar aja kalo setiap baju yang dikenakan akan terlihat sangat sempit. Terlebih lagi, perut kamu sudah mulai terlihat." Ansell menjawabnya.

Grace mengangguk, jawaban dari Ansell memang benar. Dirinya pun sadar, beberapa minggu terakhir ini ia hobby makan bahkan sampai melebihi batas porsinya, belum lagi mengemil di tengah malam.

"Ganti, ya. Jangan pakai baju itu, nanti pengap," saran Ansell, yang diangguki sang istri.

***

Hiruk-pikuk pengunjung semakin ramai memadati pusat pembelajaan kota. Kebetulan hari ini, Ansell mengajaknya pergi menonton bioskop di sebuah mall terdekat. Beberapa antrean memanjang hampir memenuhi bagian ticket box, dan sekarang Ansell sedang membeli tiket terlebih dulu, tak lupa laki-laki itu pun membeli new caramel bucket popcorn dan juga dua buah minuman iced milo.

Setelah selesai memesan, keduanya pergi ke ruangan yang bertuliskan Cinemas 1 karena film akan tayang beberapa menit lagi. Rasanya seperti mereka sedang pergi berkencan, terlebih lagi saat ini Ansell menggunakan pakaian casual. Siapa saja yang melihat mereka, mungkin akan mengira jika mereka adalah sepasang kekasih.

Hari ini keduanya akan menonton film horor yang berjudul Kuyang The Movie, Grace mau pun Ansell memiliki hobby yang sama. Yakni, menonton film horor, akan tetapi Grace berbeda dengan Ansell, perempuan itu akan menutup matanya ketika film yang ditontonnya sedang menampilkan scene hantunya, belum lagi ditambah suara yang menegangkan, menurutnya suara khas film horor Indonesia itu lebih berasa, seakan dirinya juga ikut bermain di film tersebut.

Film yang berdurasi 84 menit itu selesai mereka tonton, film yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat karena menyajikan beberapa adegan yang menyeramkan. Terkadang Ansell tertawa kecil melihat wajah sang istri yang begitu tegang dibuatnya, tak hanya itu Grace terkadang menenggelamkan wajahnya di pundak sang suami karena takut.

"Aku mau ke toilet sebentar," ucap Grace kepada suaminya. Ansell pun mengangguk.

Lama Ansell menunggu. Namun, Grace tak kunjung kembali. Beberapa kali ia mengirim pesan dan juga menghubungi Grace, tetapi perempuan itu tak juga membalas dan mengangkatnya. Hampir setengah jam Grace di toilet, akhirnya Ansell pun menyusulnya. Ansell hanya takut jika Grace mengalami kram pada perutnya, maka dari itu Ansell memilih untuk menyusulnya saja.

Setelah tiba di depan toilet. Langkah Ansell terhenti, dia melihat istrinya menangis kala berhadapan dengan seorang laki-laki yang tampak tidak asing baginya. Grace menunduk, sedangkan laki-laki di depannya itu terus berbicara sesekali ia mencoba menggenggam tangan sang istri. Seolah dirinya tengah menjelaskan sesuatu, tetapi Grace seperti enggan mendengarnya.

Ansell mendekat, lalu ia menarik tangan Grace hingga posisi perempuan itu berada tepat di belakangnya. Ansell menatap laki-laki itu dengan tatapan yang mengintimidasi, apa yang sudah laki-laki itu lakukan sehingga membuat istrinya menangis.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Ansell sinis.

"Bukan urusanmu," ujar laki-laki itu bernada santai.

"Tentu urusanku. Kau membuatnya menangis, Dean!" Ansell semakin menatapnya dengan tajam. Dia adalah Dean—mantan kekasih dari istrinya.

Ansell menatap Grace yang masih setia menudukkan kepalanya, perempuan itu terus saja menangis. "Grace?" panggilnya.

"Aku mau pulang, Ansell." Perempuan itu semakin melirih.

Tanpa berlama-lama Ansell pun menarik tangan sang istri pergi dari hadapan mantannya tersebut. Sebenarnya Ansell masih ingin mengetahui apa yang menjadi penyebab Grace menangis, tetapi perempuan itu malah memintanya untuk segera pulang. Setiap kali Ansell menatap Dean, emosinya selalu memuncak detik itu juga.

"Sepertinya peringatanku kemarin tidak membuatmu takut? Ck! Kali ini aku tidak akan tinggal diam, Dean!" Ansell memperingati laki-laki itu dengan tegas, sebelum dirinya benar-benar pergi dari tempat ramai tersebut.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang