[21] - Retak!

23.1K 1.4K 5
                                    

Ansell memasang raut wajah marahnya, menatap kepergian Dean bersama Tssalisa. Kasus ini telah dimenangkan pihak terlapor, karena bukti yang mereka miliki cukup kuat, hingga di persidangan kedua ini Ansell kalah telak untuk yang kedua kalinya. Entah, bagaimana bisa Dean mengumpulkan semua bukti dengan sangat rinci, hingga yang menjadi tersangka utamanya adalah sopir truk.

Tssalisa sekarang sudah sepenuhnya bebas, tidak perlu takut dengan ancaman Ansell jika suatu saat nanti laki-laki itu akan menjebloskannya ke penjara, karena menurut semua bukti dan kesaksian para saksi menyatakan jika Tssalisa tidak bersalah sama sekali, namanya kembali bersih. Namun, Ansell masih curiga, jika Dean sudah memanipulasikan seluruh buktinya, tapi bagaimana bisa?

Benar apa kata Erlangga, pria itu akan melakukan segala cara untuk memenangkan kasusnya.

Ansell semakin dibutakan dendamnya, dia tidak membenci Tssalisa hanya karena Ansell gagal membuktikan kesalahannya, tetapi laki-laki itu justru semakin dendam kepada Dean. Selama ini Ansell diam, tetapi kenapa dengan tidak sengajanya Dean terus mengusik kehidupannya? Apakah itu pertanda jika sudah saatnya Ansell membalaskan dendamnya?

Sebelum Tssalisa menyalip sebuah mobil truk, diduga sang sopir sudah dalam keadaan mengantuk dan mengendarai mobilnya sedikit ugal-ugalan, hingga ia tidak bisa mengendalikan kemudinya dengan benar. Maka dari itu, mengapa semua bukti mengarah kepada sopir, akhir dari persidangan kedua ini sang sopir truk ditetapkan sebagai pelaku utama dari kecelakaan yang telah menyebabkan Willy Kyle—seorang pebisnis terkenal meninggal dunia di tempat kejadian.

"Kau tidak perlu semarah ini, lagi pula pelaku utamanya sudah tertangkap," ujar Erlangga yang berusaha menenangkan kliennya, sekaligus temannya itu.

"Aku tahu. Hanya saja, aku semakin muak dengan Dean."

"Hanya karena Dean memenangkan kasus ini?"

"Karena Dean selalu menjadi pengusik dalam kehidupanku."

Erlangga hanya diam. Laki-laki itu tidak berniat untuk menjawabnya lagi, sekarang yang harus dirinya lakukan adalah membawa Ansell dari sini. Karena sidang kedua telah selesai begitu pun dengan kasusnya semua sudah diusut tuntas dan menetapkan sopir truk sebagai tersangka, dengan hukuman selama enam tahun penjara dan denda paling banyak 12 juta rupiah. 

Kini, Erlangga mengajak Ansell untuk pergi ke kantornya. Beberapa menit yang lalu, Gio menelponnya mengatakan jika ada tamu yang ingin bertemua dengan Ansell secara pribadi, tetapi laki-laki itu tidak mengatakan siapa orangnya. Membuat Erlangga dan Ansell penasaran.

Hanya butuh waktu sekitar setengah jam untuk tiba di kantornya. Ansell melangkah masuk diikuti Erlangga, keduanya akan menemui Gio yang saat ini tengah berada di lobby. "Siapa?" tanya Ansell to the point.

"Dia ada di ruanganmu," jawabnya.

"Kau membiarkannya masuk?" Ansell tampak kesal, karena Gio membiarkan sembarang orang masuk ke ruangan pribadinya.

"Tidak ada pilihan lain," imbuhnya.

***

Seorang perempuan yang kini tengah berada di ruangan telivisi seraya menikmati beberapa camilan itu terlihat santai. Di rumah sebesar ini hanya ada dirinya dan satu orang pembantu. Pagi-pagi sekali Ansell meminta izin untuk pergi ke kantor lebih awal, karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, katanya. Padahal kenyataannya Ansell pergi ke persidangan untuk menuntaskan kasusnya, Ansell dan Erlangga menyiapkan semua berkasnya dengan mantap, tetapi tetap saja buktinya tak cukup kuat untuk memenangkan kasus tersebut.

Sampai saat ini pun Ansell masih belum membuka mulut perihal siapa yang menjadi lawannya di persidangan. Saat ini, Grace seperti orang bodoh yang tidak tahu-menahu soal apa pun, padahal kasus ini masih santer dibicarakan di sosial media. Namun, entahlah … semenjak dirinya menikah moodnya turun secara signifikan, bahkan hanya untuk sekadar memainkan gawainya saja terasa malas.

Tak hanya Ansell, kedua orang tuanya Grace pun sepakat untuk tidak memberitahu siapa yang sudah menggugat kakaknya. Di satu sisi lain, kasus sang kakak memang tidak terlalu penting baginya, mau di penjara atau tidaknya itu tidak masalah, tetapi yang menjadi beban pikirannya adalah kondisi sang ayah.

Asik menikmati camilannya, tiba-tiba ponsel Grace berdering menandakan satu panggilan masuk dari kontak yang bertuliskan 'Bunda' segera ia menjawab telepon tersebut. "Hallo," ujarnya kepada seseorang di balik telepon tersebut.

"Grace, ayah masuk rumah sakit."

"Ayah sakit apa?" Grace terkejut bukan main, ketika ia mendengar kabar sang ayah masuk rumah sakit.

"Kata dokter, ayah terlalu banyak pikiran membuat asam lambungnya semakin meningkat."

Grace terdiam, dia sangat yakin jika sang ayah terlalu memikirkan permasalahan Tssalisa, hingga pada akhirnya membuat sang ayah harus dirawat di rumah sakit. "Apa kasus Tssalisa belum selesai juga?" tanyanya.

"Sudah, Grace. Tssalisa dinyatakan tidak bersalah, Dean memenangkan kasusnya," ujar Rani.

Grace menarik napasnya—tenang. Jika Tssalisa dinyatakan tidak bersalah, itu berarti perusahaan sang ayah akan baik-baik saja, jauh dari berbagai berita miring tentang perusahaannya. Grace sedikit lega, karena apa yang dirinya takuti sudah tidak berlaku lagi.

Dirasa sudah tidak ada lagi topik pembicaraan, Grace mematikan teleponnya. Sepersekian detik ia kembali mengotak-atik ponselnya, berniat untuk menelpon sang suami, tetapi sayang nomornya tidak aktif. Tidak mungkin jika ia pergi ke Bogor tanpa sepengetahuan Ansell, jadi perempuan itu memutuskan untuk pergi ke kantornya saja.

Untuk yang pertama kalinya Grace menginjakkan kaki di perusahan Kyle sebagai istri dari direktur utama, yakni Ansell Manuel Kyle. Kini, siapa yang tidak kenal Grace? Perempuan yang beberapa minggu lalu dinikahi oleh direktur perusahaan ternama itu. Bahkan, hampir seluruh karyawannya tahu, jika Grace adalah istrinya Ansell.

Jadi, tak heran ketika Grace melangkah masuk, banyak karyawan yang menyapa dan melempar senyum kepadanya. Grace merasa canggung, tidak biasa dengan keadaannya yang sekarang, dia dihormati layaknya mereka menghormati Ansell, padahal jika harus berkata jujur Grace tidak nyaman dengan statusnya saat ini. Terlebih lagi ketika dirinya tiba di perusahaan, banyak pasang mata yang menatap ke arahnya.

"Bisa bertemu dengan Pak Ansell?" tanya Grace kepada bagian resepsionis.

"Bisa, Bu. Mari saya antar. Silakan," ujarnya seraya memberi jalan agar Grace melangkah lebih dulu.

Ruangan pribadi Ansell berada di lantai delapan. Untuk tiba di sana, Grace harus menggunakan lift, karena tidak mungkin jika dirinya berjalan menggunakan tangga darurat. Hanya butuh beberapa menit, kini Grace sudah berada di lantai delapan. Ditunjukannya ruangan pribadi Ansell, lalu seorang resepsionis itu kembali ke lantai dasar.

Tanpa basa-basi, Grace pun membuka pintu ruangannya. Setelah membukanya bukannya masuk, Grace malah mematung di tempat. Seolah tidak percaya akan pemandangan yang ada di hadapannya saat ini. Seorang wanita memeluk erat tubuh suaminya, ada rasa sesak yang tak biasa. Saat itu juga, Grace menutup kembali pintunya, perempuan itu mengurungkan niatnya untuk bertemu sang suami.

Grace terdiam di depan pintu, tanpa ia sadari dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Salah satu dari mereka menghentikan langkahnya, ketika ia melihat seorang perempuan yang berdiri tepat di ambang pintu. Pikirnya, kenapa perempuan itu tidak masuk atau pergi saja?

"Grace?" Erlangga yang tahu betul wajah istri dari temannya itu mendekat.

"Sedang apa?"

"Kenapa tidak masuk?" Dua pertanyaan sekaligus Erlangga lontarkan tanpa jeda.

"Aku?" Grace menunjuk dirinya sendiri, lalu ia tersenyum canggung.

"Tidak apa-apa. Aku akan segera pergi," ujarnya, lalu ia pun meninggalkan keduanya, tanpa bertemu dengan Ansell.

"Grace ada di depan, kau tidak membiarkannya ma—" Erlangga menjeda ucapannya, ketika ia melihat seorang perempuan yang tengah memeluk Ansell, pun dengan Gio langkahnya terhenti ketika melihat dua sejoli itu sedang berpelukan.

Lebih, tepatnya hanya perempuan itu yang memeluk.

"Grace?"

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang