[18] - Minyak panas!

25.6K 1.5K 17
                                    

Gio dan Erlangga menatap wajah Ansell yang terlihat jelas jika dirinya tengah menahan rasa kesal. Entah, kenapa semenjak ponselnya berdering, raut wajahnya langsung berubah. Perubahan mood Ansell cukup menonjol, apalagi sedari tadi laki-laki itu terus menggerutu. Beberapa saat kemudian, Ansell pun beranjak. Mengambil jasnya lalu menautkannya di lengan kiri.

"Mau ke mana?" tanya Erlangga.

"Pulang. Dia menginginkan sesuatu," ujar Ansell kepada dua temannya.

"Biasa, istri kalau lagi ngidam maunya dimanja." Erlangga bersuara.

"Widih, jadi bapak, nih, Ansell!" celetuk Gio.

"Kapan kau akan menyusul? Masih ingat permintaan Bunda tahun lalu?" tanya Erlangga.

"Sepertinya diulang tahunnya yang sekarang, Bunda minta kado seorang menantu." Ansell berbisik kepada Gio, yang saat ini tengah meneguk minumannnya.

"Doain. Biar secepatnya bisa kasih Bunda mantu," ujar Gio penuh harapan.

Ketiganya bisa bersikap jauh lebih santai, pun sebaliknya. Karena mereka bisa menempatkan diri diposisi mana pun, entah itu sebagai teman ke teman, atau bawahan ke atasan.

Lain halnya dengan Ansell yang kini tengah mengendarai mobilnya. Laki-laki itu tampak memikirkan segala ucapan yang keluar dari mulut Erlangga dan Gio. Apa yang mereka katakan, tentu saja tidak benar. Secepat inikah? Bahkan, Ansell saja sama sekali tidak mencintai perempuan itu. Namun, jika benar. Malam itu sudah merubah segalanya.

Ansell menepikan mobilnya, laki-laki yang memakai kemeja putih serta dasi berwarna senada dengan jasnya itu turun dari mobilnya. Melangkah masuk dan mendapati seorang perempuan yang tengah bersandar di kursi ruang tamu.

"Katakan," ucap Ansell dengan tiba-tiba. Membuat perempuan itu sedikit terkejut.

Grace menatap kepulangan suaminya tersebut, laki-laki di hadapannya ini benar-benar sangat tampan. Apalagi ketika ia tengah berbicara serius, meskipun sangat terasa aura dinginnya, tetapi Grace mulai terbiasa dan … mulai menyukainya.

Kini, Ansell mendekat ke arah Grace, tiba-tiba perempuan itu duduk mendekat ke arahnya. Jika sebelumnya Grace tidak ingin duduk berdekatan dengan Ansell, justru kini malah sebaliknya, perempuan itu seperti tidak mau jauh-jauh dari sang suami. Selalu ingin menempel ke mana pun Ansell pergi. "Jangan seperti ini," ucap Ansell berusaha menjauh.

"Risi! Terlihat murahan!" ketusnya.

Mendengar itu semua, Grace menjauh dari Ansell. Seketika rasa mual dan pusingnya kembali ia rasakan, segera Grace berlari kecil ke arah kamar mandi. Namun, tubuhnya terlalu lemas. Dia terdiam, tiba-tiba air matanya menetes, ada rasa sakit yang luar biasa ketika Ansell berkata demikian, lagi pula dirinya heran. Kenapa ia selalu ingin berdekatan dengan laki-laki itu?

Ansell mengulurkan tangannya, melihat sang istri berjongkok lemas seraya menahan rasa mual. "Bangun, aku antar ke kamar mandi."

"Tidak perlu," ucapnya dengan suara yang sedikit parau.

Ansell ikut berjongkok, memandang wajah pucat sang istri yang terlihat tak berdaya itu. "Kau marah? Ck!" tanyanya tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Menurutmu, apa aku tidak boleh marah? Aku tahu, aku bukan wanita yang kau cintai. Namun, apa mulutmu pantas mengatakan jika aku terlihat seperti wanita murahan? Hanya karena aku duduk berdekatan denganmu, dengan suamiku?" Grace memandang wajah Ansell lamat-lamat, seketika air matanya kembali menetes.

Grace merobek ujung baju bagian lengannya, memperlihatkan pundaknya yang mulus. Lalu, perempuan itu tersenyum. "Apa aku sudah terlihat seperti perempuan yang kau katakan?" tanyanya getir.

"Perkataanmu terlalu menusuk. Tidak bisakah bersikap lembut sekali saja? Tidak bisa memperlakukanku layaknya seorang istri? Kenapa kau terus-menerus bersikap dingin?"

Ansell diam, Grace pun kembali merobek bajunya. Namun, di sela-sela kegiatannya tangan Ansell berhasil menahannya. Ansell tidak lagi membiarkan Grace merobek ujung bajunya. Sikap Grace hari ini benar-benar berbeda, apa benar jika perkataannya terlalu berlebihan?

"Oke, aku minta maaf." Ansell bermonolog, tetapi Grace hanya diam.

"Kau mau apa sekarang?"

"Aku mau cimol," ujar Grace datar. Dia menyeka air matanya, lalu menatap sang suami, berharap tidak ada kata penolakannya darinya. Semudah itu Grace memaafkannya?

Ansell mengerutkan dahinya. "Cimol?"

Ansell tahu betul jenis makanan tersebut. Namun, kenapa Grace tidak mengatakannya langsung di pesan tadi? Mungkin, Ansell bisa membeli terlebih dulu sebelum dirinya pulang ke rumah.

"Baik. Kau tunggu di sini, aku akan mencarinya, jangan lupa untuk mengganti pakaianmu."

"Tidak mau. Aku hanya ingin memakan cimol buatanmu," ujarnya.

"Grace jangan bercanda! Aku tidak bisa."

"Ansell!" Grace menatap Ansel dengan puppy eyes-nya.

"Grace! Apa tidak ada yang lain? Jangan menyulitkanku."

"Tidak ada yang lain." Grace menekan setiap kata yang keluar.

Ansell menarik napasnya dengan gusar, menatap sebal ke arah Grace, selalu saja meminta yang aneh-aneh. Padahal apa bedanya jika membelinya langsung? Mau tak mau Ansell mengiakannya. Kini, keduanya pun pergi ke dapur, tentunya Grace akan menjadi pemandu meski dirinya masih merasakan mual.

"Ansell, lihat aku!" Grace memanggil sang suami yang terlihat tengah sibuk memainkan gawainya. "Ansell?" ujarnya lagi. Namun, laki-laki itu masih enggan untuk menatapnya.

"Ansell!" Kini, suaranya meninggi satu oktaf. Kesal? Tentu saja. Sedari tadi ia perhatikan laki-laki itu tampak santai seolah tidak ada orang di sana. "Ansell, lihat aku," lirihnya, karena sudah mulai capek.

Ansell pun menoleh. "Apa?"

Perempuan itu memang sangat sensitif akhir-akhir ini, mudah marah dan juga mudah menangis. Jika seperti ini tentu saja Ansell harus ekstra sabar menghadapinya. Apalagi ketika Grace meminta dimasakan yang membuat Ansell kesal setengah mati. "Inikan bahannya udah jadi, goreng di minyak yang masih dingin, nanti apinya kecilin." Grace memberitahu.

"Jika bisa memasak sendiri, kenapa harus menyuruhku?" ujar Ansell yang masih kesal.

"Lagi pula, di minyak dingin atau panas apa bedanya!" gerutunya.

Grace meninggalkan Ansell, membiarkan sang suami berkutat dengan peralatan dapur. Sedangkan, Ansell hanya mendengkus, jika tahu akan begini, lebih baik dirinya tidak pulang saja. Dua hari terakhir ini Grace selalu membuat darahnya meninggi, jika dia bukan perempuan. Mungkin Ansell sudah memukulnya sekeras mungkin.

Laki-laki itu tak mengindahkan perkataan sang istri, Ansell memasukan bahannya ke dalam minyak yang panas. Hingga beberapa detik kemudian Ansell dibuat terkejut ketika cipratan minyak mengenai wajahnya, Ansell mundur beberapa langkah, matanya melihat jika cimol yang sedang ia goreng itu meletus, hingga menimbulkan cipratan minyak yang begitu panas.

"Haish, sial! Apalagi ini!" Ansell kembali menggerutu.

Ansell berlari mengambil sebuah jas hujan dan juga helm. Dipakainya benda tersebut untuk menghindari cipratan minyak panas. Sesekali Ansell melompat karena cimol yang ia goreng itu terus meletus-letus.

Sepuluh menit kemudian Grace menghampiri Ansell, perempuan itu terbahak-bahak ketika melihat sang suami mengenakan jas hujan dan juga helm di dalam rumah. Nge-joke sekali!

"Tidak perlu tertawa!" sentaknya tak terima. Ansell melepaskan semua benda tersebut. Meninggalkan Grace yang masih asik tertawa karenanya.

Ansell menggelengkan kepalanya. "Lagi pula kenapa harus capek-capek membuatkannya cimol? Ck! Buang-buang waktu saja!"

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang