[38] - Nestapa lara

18K 1.2K 32
                                    

Seorang perempuan berlari menuju kamarnya. Laki-laki itu pun mengikuti langkahnya. Waktu yang seharusnya ia habiskan bersama justru hancur berantakan. Jika tahu akan berakhir seperti ini, mungkin dirinya tidak akan mengajak istrinya pergi. Namun, siapa yang tahu.

Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Lalu, kembali menangis, masih tidak percaya dengan semua ucapan Dean—mantan kekasihnya tersebut. Jika semua itu memang benar, dia sudah jatuh cinta kepada laki-laki yang salah.

Ansell mendekat. Mengelus puncak kepala Grace dengan lembut. "Tidak mau bicara denganku?" Ansell bertanya. Namun, Grace masih enggan menjawabnya.

"Grace? Sebenarnya apa yang membuatmu menangis seperti ini?"

"Aku ingin sendiri," imbuhnya.

"Kau marah?"

"Keluar Ansell, kumohon." Suaranya terdengar serak.

Mau tak mau Ansell pun meninggakan sang istri sendirian, perempuan itu mungkin membutuhkan ketenangan. Maka dari itu, Ansell memilih untuk mengalah, soal pertanyaannya. Bisa ia tanyakan jika keadaan perempuan itu sudah membaik.

***

Remang cahaya bulan mulai menyusup dari jendela kamar. Saat ini, perempuan itu terdiam menatap langit malam yang gelap, taburan bintang silih berkedip dengan begitu indahnya. Desiran angin malam menerpa setiap helai rambutnya yang hitam, riuh terdengar suara jangkrik yang saling menyahut antara satu dengan yang lainnya, menambah kesan sunyi pada hari yang kian gulita.

Gelapnya malam kian menyiksa raga, mata lebar itu menatap langit dengan sendu. Hatinya kembali patah untuk yang kesekian kalinya, tombak rasa itu kian menusuknya lebih dalam. Di sini dia terdiam rapuh, seolah hatinya tercipta untuk tersakiti. Beberapa kali ia mencoba berdamai dengan luka, tetapi luka itu kian menyiksanya, lagi dan lagi.

Dibalik sikapnya yang manis, selalu terselip belati yang siap menusuknya secara perlahan. Setelah dirinya dibawa ke tempat yang tinggi lalu dijatuhkannya begitu saja. Mengapa? Apakah semua laki-laki itu handal perihal menyakiti?

Perempuan itu tersenyum getir. Menyeka air matanya, tak ada gunanya dia menangis seperti ini. Tidak akan merubah takdir yang sudah Tuhan gariskan untuknya, dia berteriak seraya menjambak rambutnya dengan frustrasi. Ternyata ini yang menjadikan alasan kenapa laki-laki itu tetap menikahinya, meskipun dia tahu jika perempuan yang dinikahinya hanyalah pengantin pengganti.

"Grace!" Ansell berteriak, ketika matanya tak sengaja melihat sang istri yang saat ini tengah berada di balkon kamarnya, sesekali perempuan itu memukuli perutnya.

"Sebenarnya, apa yang Dean katakan?" Ansell bertanya. Perempuan itu menatapnya sekilas. Lalu, kembali menatap gelapnya langit malam.

"Semesta sering kali bercanda, tetapi candaannya tidak bisa membuatku tertawa. Aku berada di tengah laki-laki yang memporak-porandakan dendamnya, dengan tidak sadarnya aku jatuh cinta kepada laki-laki yang menginginkan aku mati. Aku bodoh, bukan?" Perempuan itu tersenyum getir.

Perempuan itu menggenggam tangan kekar milik suaminya. Menatap lamat-lamat, lalu air matanya kembali menetes. "Aku mencintaimu tanpa alasan apa pun, aku bersedia menjadi istrimu sekalipun kau terus memberiku luka. Sekarang aku sudah mengetahui semuanya, bodohnya aku masih tetap mencintaimu, Ansell."

"Aku tidak mengerti. Katakan saja apa maksudmu." Ansell mengeratkan genggaman sang istri.

Grace menarik kedua tangan Ansell lalu dilingkarkan di lehernya. "Sudahi dendammu. Jangan membuatku terus tersiksa dengan perlakuan manismu yang penuh dusta itu, Ansell."

Seketika Ansell menarik tangannya dengan kasar. Menatap Grace dengan tajam. Lalu, laki-laki itu tersenyum. "Jadi, Dean sudah memberitahumu? Baguslah, aku sudah sangat lelah jika harus pura-pura mencintaimu," ujar Ansell seraya terkekeh kecil.

"Jadi, semua yang Dean katakan itu benar?" Ansell pun mengangguk sebagai jawaban.

"Lalu, bagaimana dengan calon anakmu? Apa kau menginginkannya mati juga?"

"Aku tidak akan keberatan jika harus kehilangannya."

"Brengsek!" hardiknya. Bagaimana mungkin laki-laki itu menginginkan darah dagingnya ikut mati bersamanya?

Detik itu juga tangan Grace tertarik untuk menampar suaminya. Ucapan Ansell sudah melampaui batas, dengan entengnya dia berkata demikian, membuatnya semakin murka. Untuk yang kesekian kalinya keadaan berubah hanya dalam sekejap mata. Laki-laki yang kemarin malam masih bersikap manis itu kini sudah menunjukan sikap aslinya.

"Aku mau kita cerai!"

Ansell menyunggingkan ujung bibirnya, lalu tangannya mencengkeram pipi sang istri. Menatapnya dengan tajam lalu ia berkata, "Kau kira semudah itu aku melepaskanmu?"

"Karena kau sudah tahu semuanya. Maka akan keberi tahu kau satu hal, Grace." Ansell berbisik, membuat bulu kuduk Grace meremang.

"Aku akan membuatmu jauh lebih menderita daripada Carla! Lebih kejam dari apa yang Dean lakukan kepadanya!" pekiknya. Lalu, laki-laki itu melepaskan cengkeraman tanganya dan pergi.

Ternyata laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu sama sekali tidak mempunyai sisi kelembutan, semua perlakuannya penuh kebohongan. Perempuan itu menatap lirih kepergian suaminya. Hatinya bertanya, benarkah dia mencintai laki-laki kejam itu?

Malam ini, Ansell tidur di kamar tamu. Sepertinya laki-laki itu sudah menghentikan sandiwaranya, bersikap baik padahal itu hanyalah topeng semata. Tak hanya itu, dari tatapannya saja Grace bisa merasakan sorot mata penuh kebencian, semuanya telah usai. Kini, hanya ada luka dan air mata yang senantiasa mengisi harinya.

Pada gelapnya malam ia titipkan segala rasa yang bercampur menjadi satu di malam ini, rasa marah, kecewa, benci, dan juga cinta. Biarkan semua mengalir dengan semestinya. Dia tidak ingin lagi berangan jika semesta terus menjatuhkannya. Mungkin saat ini, dunia tengah menertawakannya, bagaimana bisa ia melabuhkan hatinya kepada dua orang laki-laki yang amat brengsek.

Grace meraih gawainya. Lalu, perempuan itu mengetikkan sebuah pesan singkat kepada sang kakak. Namun, belum saja terkirim seseorang merampas ponselnya dengan kasar. "Ck! Kau ingin kakakmu menjemputmu, Grace?" Ansell menyeringai. Sedangkan, Grace menatap Ansell takut.

"Untuk apa? Menghindariku?" tanyanya.

"Biarkan aku pulang, Ansell. Kumohon, semua dendammu kepada Dean tidak ada hubungannya denganku!" raungnya memecah kesunyian malam.

"Memang, tapi kaulah wanita yang Dean cintai!" pekiknya.

Grace melihat Ansell seperti bukan Ansell yang ia kenal sebelumnya. Laki-laki itu tampak menyeramkan, membuat Grace enggan menatapnya. Jika sebelumnya Ansell menatap dirinya dengan sorotan mata yang teduh, tidak untuk sekarang. Ansell menatapnya bak musuh yang akan memangsa lawannya.

"Melampiaskan dendamku bukan menjadi alasan yang utama. Awalnya yang ingin menikah dengan Tssalisa itu ayahku, karena waktu itu Riana mengkhianatiku maka aku ingin melampiaskan segala rasa sakitku dengan menikahi Tssalisa. Namun, ternyata kakakmu melarikan dari sebelum ijab qabul dilangsungkan. Lalu, dengan pintarnya kau berinisiatif sendiri untuk menjadi penganti pengganti." Ansell tersenyum.

"Kau tahu, Grace? Menikahimu seperti memancing ikan tanpa umpan. Aku memiliki dendam kepada Dean, yang ternyata adalah kekasihmu. Bukankah itu semua mempermudah rencanaku? Dengan membuatmu hancur dan menderita, maka Dean akan terpuruk, sama halnya denganku dulu!"

"Menyenangkan bukan?"

Kini, wajah Ansell mendekat ke arah wajah sang istri. Laki-laki itu mencium sekilas bibir tipisnya, lalu tersenyun penuh kemenangan. "Tidak perlu takut. Bagaimanapun juga, aku adalah laki-laki yang kau cintai bukan?"

"Mencintaimu adalah penyesalan terbesarku!" Bersamaan dengan kalimat yang terucap, air matanya kembali jatuh. Hatinya hancur seketika.

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang