Now Playing : Little Mix - Your Love
Hari sudah siang. Felix sudah jenuh berada di kantornya. Mungkin ia akan mengajak Roxanne makan siang bersama jika saja teman-temannya dengan tiba-tba tidak menghubunginya tadi. menyebalkan. Mau apalagi mereka.
Tiba-tiba, seseorang membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk. Well, Felix sudah bisa mengetahui siapa orang itu. Bukan hanya seorang, tapi semua teman-temannya sudah tiba di sana. Padahal baru saja Felix sedang menenangkan pikiran jenuhnya –menatapi bangunan-bangunan tinggi di luar jendela.
Felix bisa melihat mereka semua memasuki ruangannya dari pantulan jendela besarnya. Dennis membanting pantatnya pada sofa –seperti biasa. Edric dan Justin mengambil minuman di lemari beserta gelasnya. Sementara arthur, dengan senyumnya, duduk santai di sofa.
"Jadi, bagaimana keputusanmu, Tuan Jullian?" tanya Arthur.
Felix menghela napasnya, membalikkan badannya, dan berjalan ke sofa tempat mereka semua duduk.
"Aku tidak bisa." Jawab Felix sambil menuangkan minuman pada gelas kosongnya.
Jawaban Felix membuat semua teman-temannya mencondongkan tubuhnya lebih ke depan dan menatap Felix dengan tatapan bertanya seolah meminta penejelasan lebih lanjut.
"Well, sebenarnya aku menceritakan hal ini pada Roxanne. dia memaklumi kalian yang masih berpikir seperti itu. dia menyadari kesalahannya dan juga berkata ia mempercayaiku. Aku rasa itu semua sudah cukup. Kami masih memiliki banyak waktu untuk memulai segalanya." Jelas Felix.
"Aku sempat mengira ia akan meninggalkanmu karena kau sudah memberitahunya tentang hal gila ini." Ucap Arthur.
"dan lagipula disini Felix yang tidak akan sanggup menjauh dari Roxanne. dia sudah seperti budaknya." Balas Edric yang kemudian tertawa bersama Arthur dan melakuka high-five.
"Kau beruntung sekali, dude. Roxanne berhati malaikat, kau tahu. Kalian sangat beruntung tidak mendapat masalah apapun karena tidak terjerat masa lalu yang aneh, kau tahu." Kekeh Dennis kemudian. Hal itu membuat Edric menyemburkan minumannya dan menatap Dennis horor.
"Kenapa kau jadi membahas dirimu?" sindir edric.
"Aku harus meletakkan kaca di depan wajahmu, ya?" balas Dennis.
Justin yang melihat pertengkaran kedua temannya hanya memutar kedua matanya dengan jengah. "Kalian berdua, berhentilah."
"Felix," panggil Justin, kemudian tersenyum. "Kau mengambil keputusan yang tepat." Lanjutnya.
Felix tertawa. Ia tahu Justin akan mengatakan hal itu. namun, lain hal dengan ketiga temannya. Arthur, dennis, dan Edric menatap Justin dengan tatapan tak percaya mereka. Justin hanya mengedikkan bahunya pada mereka seolah tak tahu apa yang baru saja terjadi.
Felix menegak minumnya. "Aku tidak bodoh seperti kalian." Ucapnya.
"Rasanya aneh jika Justin ingin memberi ujian gila ini pada Roxanne, sementara dia tidak pernah tahu tentang hubungan kami beberapa waktu yang lalu, kan? Secara tidak langsung dia malah memberiku dan Roxanne ujian gila." Jelas Felix yang diselingi oleh tawanya.
"What the F*ck!" umpat Dennis pelan. "Dan aku ikut di dalam permainan gila Justin." Katanya, kemudian menoleh pada Justin yang kini tertawa pada dirinya. "Kau memang gila." Umpatnya lagi.
Sementara Edric dan Arthur hanya tertawa karena merasa dipermainkan dalam hal gila yang sebenarnya sangat konyol. Mereka bahkan menikmati umpatan demi umpatan dari dennis yang ditujukan untuk Justin. Begitulah Dennis yang berlebihan.
*****
Roxanne baru saja makan siang bersama keluarganya, minus kedua kakak kembarnya, yang entah sejak kapan Victorina sudah memiliki rumah sendiri. Kini, mereka sedang berada di taman belakang, berkumpul bersama. Agathe, ibunya, sedang memotong buah-buahan
"Kalian baik-baik saja, kan?" tanya ayahnya.
Roxanne menoleh pada ayahnya, tersenyum. "Aku dan Felix? Kami baik-baik saja, Dad. ada apa?"
Agathe berdeham. "Siapa yang akan menyiapkan pernikahan kalian nanti?" tanyanya kemudian.
"Mom, hm, kami masih belum membahasnya. Tapi, biarkan kami sedikit lebih alma lagi untuk mengenal satu sama lain. Well, aku sadar selama ini aku tidak pernah mengenal Felix dalam beberapa hal. Kami akan menjalaninya lebih dulu." Jelas Roxanne seraya tersenyum dan mengambil potongan buah yang sudah ada di piring.
"Rupanya putri dad yang satu ini sudah dewasa, ya?" kekeh Adrien.
"Ish, memang sebelum ini aku belum dewasa?"
Adrien tertawa melihat Roxanne dengan bibirnya yang dimajukan seperti anak kecil yang manja. Sementara Roxanne masih sibuk dengan tingkah merajuknya hingga tidak menyadari perubahan raut wajah pada Agathe. Bagi siapapun yang melihatnya saat ini, wajahnya menyiratkan kemisteriusan yang dalam. Tapi ternyata, hal itu merupakan sinyal pada Adrien yang langsung ditanggapinya dengan anggukan.
"Sudah berapa kali kalian melakukannya?" tanya Agathe tiba-tiba. Roxanne menoleh pada ibunya.
"Hah?"
"Kalian sudah berapa kali melakukannya?" tanya Agathe ulang dengan memainkan kedua alisnya.
Awalnya, Roxanne masih belum paham dengan apa yang ditanyakan ibunya. Namun, ia langsung sadar ketika kedua orang taunya malah tertawa. Tentu saja hal itu. Astaga, Roxanne hanya bisa tersenyum dengan malu. Ayolah, ia tidak bisa berbohong dengan mom dan dadnya. Tidak jika dalam situasi seperti ini –bertiga saja tanpa saudara-saudaranya.
"Kalian malah ingin segera memberiku cucu sebelum mengatakan sumpah di depan Tuhan?" goda ibunya. Lagi.
Roxanne membelalakkan matanya. Tiba-tiba ia teringat jika saat itu mereka tidak menggunakan pengaman. Saat itu juga ia membuka ponselnya, melihat jadwal kapan ia mengalami masa ovulasinya. Kemudian, Roxanne bernapas lega saat menyadari jika saat itu mereka berhubungan tepat saat Roxanne tidak mengalami masa ovulasinya.
Adrien dan Agathe yang melihat tingkah aneh Roxanne pun hanya mengernyit. "Ada apa?" tanya Adrien.
Roxanne mendongak menatap kedua orang tuanya bergantian. "Oh, itu. Saat itu kami melakukannya bukan saat masa suburku." Jawabnya asal, mencengir dengan polosnya.
"Tapi, tetap saja, kan? Kemungkinan kecil kau bisa hamil. Setidaknya minumlah pil pencegah kehamilan." Ucap Agathe.
"Apa masih belum terlambat, Mom?"
"Sudah minum saja. Mom akan ambilkan pilnya dulu." Jawab Agathe, kemudian meninggalkan Roxanne dan Adrien untuk mengambil pil pencegah kehamilan untuk Roxanne.
Adrien tertawa. Hal itu membuat Roxanne menatap ayahnya dengan raut kebingungannya. "Dad?"
"Kalian ini ada-ada saja. Seharusnya kau mengatakan pada ibumu dari kemarin atau membawanya bersama Felix jika Felix lupa memakai kondomnya." kekeh Adrien. Roxanne menatap ngeri ayahnya yang sepertinya tertular virus felix –berbicara tanpa disaring.
Tak lama, Agathe kembali dengan pil yang ia maksud dan segelas air putih. "Ini, minumlah."
Roxanne menerimanya, meminumnya, dan meletakkan gelas itu pada meja. "Terima kasih, Mom."
"Iya. Lain kali, kalian harus berhati-hati. Atau setidaknya percepatlah pernikahan kalian itu," gerutu Agathe. Roxanne hanya tersenyum malu-malu menanggapinya.
"Katakan pada kami, siapa yang memulainya duluan? Apa Felix menyakitimu? Berapa lama kalian melakukannya?"
Tiba-tiba saja Adrien kembali menggoda Roxanne –memberi pertanyaan bertubi-tubi. Pertanyaan itu sangat memalukan. Ayolah, hal itu justru membuat Roxanne semakin malu karena otaknya kembali memutar kejadian malam itu. Ibunya pun bukannya membantunya, atau melakukan apapun agar menenangkannya, ia justru tergelak seolah sedang memprovokasi
"Daaaddd!" seru Roxanne dan berlalu meninggalkan orang tuanya. Ia tidak bisa menahan rasa malunya di sana.
Felix harus bertanggung jawab!
To be continued
********
Follow my instagram:
iamvee29
aviorfw
And don't forget to tap the ⭐️ and comment as much as you can📩
Much love,
VieVie💥