Itu adalah pertemuan pertama mereka. Dan sejak saat itu, dia sudah merasa. Dia sudah berfirasat. Bahwa ada hal - hal yang akan terjadi di antara mereka berdua.
"Kau Maria?"
"Maria Wenberg?"
Begitu dia melihat tage name yang ada di seragam gadis itu, Grey langsung bertanya.
Dia tak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis itu dengan cara seperti ini. Di saat dirinya sudah putus asa dan ingin menghentikan usahanya mencari siswi ini, Tuhan secara mengejutkan menunjukkan Kuasanya.
Dan perempuan di depannya ini....
Grey bahkan tak berkedip. Saking terpananya.
Rambut panjang yang lurus, kulit pucat, mata emas yang indah, garis wajah yang khas, bulu mata yang lentik, bibir merah delima. Serta....
Gestur yang begitu anggun. Secara keseluruhan gadis ini....
Cantik sekali.
Maria tentunya cukup terkejut saat lelaki di depannya, yang baru pertama kali ia temui tiba - tiba mengetahui namanya. Tapi keterkejutannya itu tak berlamgsung lama saat dirinya sadar bahwa terdapat tage name dari seragam yang ia kenakan sekarang.
Belum sempat Maria mengangguk sebagai jawaban, seseorang tiba - tiba memanggilnya dari belakang.
"Maria."
Baik Maria maupun Grey menoleh dan mendapati Maxwell menuju ke arahnya.
Grey tentu saja cukup terkejut saat lelaki yang sedang berjalan menuju ke arahnya ialah teman sekelasnya. Anak pendiam yang duduk di pojokan yang seolah sengaja menyendiri dari hiruk pikuk suasana kelas.
Kalau tak salah namanya ialah Maxwell Fringer dan ternyata mereka...
Grey menatap Maxwell serta Maria bergantian. Dan atensinya kembali kepada pria yang sudah mendekat.
"Kalian saling kenal?" Tanya Grey. Jika Maxwell tiba - tiba memanggil gadis ini dan datang ke asrama wanita seperti ini, jelas mereka sudah saling kenal.
Tetapi jika mereka saling kenal, mengapa Maxwell seolah diam saja saat Miss Xena menanyakan perihal Maria? Dengan begitu dirinya juga tak perlu repot - repot mengantarkan surat peringatan ini sendirian kan?
Maxwell melirik Grey sejenak. Lalu sebelah alisnya terangkat.
"Siapa?"
Grey tercenung. Lalu mengerjap. 'Si... Siapa?' Beonya dalam hati seolah tak percaya bahwa anak bernama Maxwell ini menanyakan hal seperti ini. Jelas - jelas mereka berada di kelas yang sama.
'Kita satu kelas." Jawab Grey pada akhirnya.
"Ahh, kita sekelas? Maaf." Ujar Maxwell, tanpa mengucapkan kalimat panjang lainnya, dia lalu menatap Maria yang masih diam di tempat.
Grey yang ada di antara mereka kembali tercenung. Lalu mengerjap. Bukan lagi karena Maxwell ternyata mengenal gadis bernama Maria, melainkan karena pria itu bahkan benar - benar tak mengenalinya sebagai teman sekelas.
Wuah.....
"Akhirnya kau datang juga Maria." Ujar Maxwell.
Maria langsung memalingkan wajah. Mendengkus enggan menatap Maxwell.
"Maaf, aku harus pergi." Kalimat itu bukan ditujukan kepada Maxwell, melainkan kepada Grey yang masih tercenung di tempat.
Maria membungkuk hormat sebagai salam perpisahan sebelum kemudian dia melangkah hendak berbalik pergi menuju asramanya. Namun Grey yang sudah kembali dari fokusnya buru - buru mengejar.
"Maria tunggu!" Grey kemudian mengambil sesuatu dari saku pakaiannya lalu menyerahkannya kepada Maria.
"Ini untuk mu."
Kening Maria berkerut menatap amplop putih yang pria asing di depannya berikan.
"Ahh.... Maaf! Kau pasti terkejut. Aku Grey, ketua kelas x B. Wali kelas memintaku untuk mengantarkan surat peringatan ini untukmu."
"Maria Wenberg." Ujar Grey menjelaskan bahwa tak ada maksud apapun.
Maria yang langsung mengerti seketika menerima surat itu, "Terimakasih." Balasnya. Dia sejenak melirik Maxwell yang masih berdiri di sana sebelum kemudian mendongak menatap Grey.
"Apa aku akan dikeluarkan?"
Grey tercenung. Tetapi kemudian dia menghela nafas dan berkata apa adanya, "Kau masuk daftar siswa yang mendapat peringatan. Jika sampai besok kau tidak ke kelas, maka akademi akan mengeluarkanmu. Namun sebelum itu mereka akan menyeretmu ke ruang..." Grey agak berat ketika mengatakannya, "Ruang hukuman. Kau tahu apa itu bukan?"
Ya, sebelum masuk ke akademi, seluruh siswa sudah mendapat informasi terkait apa saja yang ada ke dalam akademi Black Militer ini. Termasuk informasi tentang ruang hukuman dengan berbagai tingkat pelanggaran.
Ruang yang pastinya menjadi momok bagi para murid di akademi termasuk juga orang yang sudah resmi menjadi ppasukan Black Military.
Maria mengangguk, "Ya aku tahu. Terimakasih Grey." Balasnya. Tidak ada ekspresi kecemasan di raut wajahnya. Seolah Maria memang sudah siap menghadapi segala konsekuensi yang terjadi.
Grey melihatnya. Dan merasa bahwa gadis seperti Maria sama sekali bukan tipe - tipe gadis pembangkang sebenarnya. Hanya saja mungkin ada sesuatu yang membuat gadis ini untuk beberapa hari tak menghadiri kelas akademi.
Sebagai anak yang sejak lama telah dididik untuk bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan serta loyal kepada apapun itu, dengan tulus Grey akan membantu.
"Jika ada sesuatu, kau bisa tanyakan padaku." Grey berkata ramah, "Sebisa mungkin aku akan membantumu."
Maria tersenyum lalu mengangguk. Dan entah apalagi yang diperbincangkan kedua orang itu di sana, Maxwell memperhatikan.
Sejak awal dia tahu. Dia sudah berfirasat bahwa akan ada sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua.
***
Maria untuk pertama kali mengikuti pelajaran. Grey bersyukur. Kelasnya sudah tidak ada yamg kosomg lagi. Dan gadis itu tentunya tidak jadi dikeluarkan, dan beruntung belum memdapat hukuman.
Grey tak pernah membayangkan bila seorang perempuan akan dimasukkan ke dalam ruang hukuman yang pasti akan sangat menyakitkan.
Tak hanya mental, tapi juga fisik.
Dan saat itulah, sejak pertama kali mereka bertemu, dia sudah jatuh hati kepada Maria.
Cinta pada pandangan pertama. Apalagi rasa sukanya itu bertambah besar ketika dia tak sengaja melihat Maria yang terlihay acuh, tetapi sebenarnya gadis yang lembut dan perhatian.
Maria diam - diam membereskan hal yang diperbuat oleh siswa - siswi yang lain.
Tanpa mengoceh panjang lebar, Maria membuang sampah - sampah hasil perbuatan temannya. Menolong burung yang jatuh, mengobati kaki kucing dan berbagai hal lainnya yang membuat Grey kagum.
Dia.....
Grey melihat Maria yang tersenyum membalas candaan teman sekelasnya.
Dia.... Benar - benar suka.
Grey ikut tersenyum sendiri melihat Maria. Dan tak jauh di sana, Maxwell memperhatikan.
Selalu.
***
"Hey kau! Bantu aku!" Leon berdiri di depan bangku Maxwell.
Maxwell mendongak menatap bocah yang setiap harinya tak lepas dari permen favoritnya.
Tanpa perlu Maxwell bicara, Leon seolah bisa menerjahkan apa yang hendak dikatakan pria itu.
Dia pasti akan bertanya membantu apakan.
"Temanku mutah - mutah. Bisa kau pinjamkan jaketmu! Dia kedinginan." Leon menunjuk si kribo yang menggigil kedinginan.
Di sini, siswa yang memakai jaket kebetulan hanya Maxwell seorang.
Maxwell diam sejenak. Lalu menatap Sebastian yang benar - benar terlihat menggigil.
Kenapa tidak kembali ke asrama saja. Tidur dan diselimuti.
"Tidak bisa ke asrama. Dia tidak mau. Kalau membolos lagi dia akan kena hukuman." Jawab Leon seolah bisa menerjemahkan pikiran Maxwell.
Maxwell masih diam. Dia mendongak. Melihat ke sekeliling. Siswa siswi yang lain entah kenapa juga menatapnya.
Benar - benar...
Lalu dia menunduk. Seperti enggan melepaskan jaketnya. Begitu berat sekali melepasnya.
Bukannya tidak mau. Tapi lebih tepatnya....
Sial.
Maxwell menggertakkan rahang. Pada akhirnya dia membuka resleting jaketnya. Mulai dari kerah yang sedari dulu sengaja menutupi mulutnya.
Dan begitu jaket itu terlepas, semua orang terkesiap. Mereka ternganga.
Begitu terkejut bahwa...
Leon yang di depannya juga ikut terkejut sampai melongo.
"Sial."
Bahwa lelaki di depannya itu sangat bersinar.
"Tak ku sangka kita punya permata di kelas ini." Para wanita seketika berteriak histeris saking terpesonanya.
"Kau... Tampan sekali."
***