"Maria Wenberg."
Panggilan pertama tak ada jawaban.
"Maria Wenberg."
Panggilan kedua masih tak ada jawaban.
"Maria Wenberg."
Dan panggilan ketiga tak ada jawaban juga.
Lagi - lagi gadis bernama Maria ini tak muncul di kelas. Benar - benar...
Miss Xena menggertakkan giginya. Menutup buku absensi kemudian meletakkannya ke atas meja setengah membantingnya membuat para siswa - siswi di depannya tersentak.
Hah... Baru mulai tahun ajaran baru ini sudah ada beberapa siswa yang sama sekali tidak muncul di kelas. Dan salah satunya ialah gadis ini.
Maria Wenberg.
Dia adalah satu - satunya perempuan yang sering absen.
Sebenarnya mereka ini niat bersekolah di akademi atau tidak?
Hal ini benar - benar membuatnya pusing. Miris sekaligus marah.
Sebagai pengajar yang berpangkat letnan di Black Militer, dia tentunya sangat membenci orang - orang yang tidak disiplin. Apalagi anak - anak ajaran baru yang masih piyik yang baru pertama kali berada di akademi tetapi sudah tak mematuhi aturan.
Anak seperti ini bagaimana bisa menjadi pasukan Black Militer.
Duh, anak jaman sekarang benar - benar keterlaluan.
Miss Xena menghela nafas. Menyentuh keningnya yang berdenyut pening. Lalu sedetik kemudian perempuan itu mengatur ekspresinya kembali menjadi datar dan tegas. Postur tubuhnya pun kembali kepada mode tegap saat dia mulai kembali bicara.
"Dengar! Siapapun yang mengenal anak bernama Robin, Sebastian dan Maria, beritahu mereka jika dalam tiga hari mereka tidak mengikuti akademi lagi, maka ketiga anak itu akan dikeluarkan."
"Namun sebelum itu, bagi mereka yang melanggar aturan, tentunya harus merasakan sanksi." Jeda sejenak mata Miss Xena menyimpit. Nada suaranya terdengar serius, "Mereka akan dimasukkan ke ruang hukuman."
Suara terkesiap dari para murid kembali terdengar. Bagi para siswa Black Militer, dikeluarkan dari akademi bukan sesuatu yang dikhawatirkan, melainkan proses sebelum dikeluarkannya itulah yang menjadi momok menakutkan.
Semua siswa dan siswi di sini juga tahu akan apa yang dimaksud dengan ruang hukuman. Ruang hukuman adalah tempat yang digunakan khusus untuk para peserta didik dan anggota pasukan Black Militer laninnya apabila melanggar alias membangkang setiap peraturan dari akademi.
Di ruang hukuman terbagi dalam beberapa tingkat berdasangkar tingkat pelanggaran mereka.
Sebuah ruangan di pelosok akademi yang menjadi momok menakutkan bagi para peserta didik.
Tempat yang merupakan ruang penyiksaan. Tak hanya fisik, tetapi juga mental.
Jika pelanggaran yang dilakukan peserta didik tergolong biasa, mereka hanya akan mendapat hukuman kurungan. Namun jika itu pelanggaran kelas berat yang artinya juga dilakukan tak hanya sekali dua kali namun berkali - kali, maka sanksi yang ada bisa dimasukkan ke dalam ruang hukuman level empat.
Dan konon di ruangan itu terdapat para Daemon.
Memasuki tempat itu hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Selamat ataupun mati.
Untuk para murid yang baru menerima pendidikan tentu saja itu bukan hal yang mudah diatasi. Apalagi jika harus berhadapan dengan Daemon. Yang lebih mengerikan jika terdapat jenis Daemon tingkat tinggi.
"Kalian tentunya tak mau itu terjadi kan?" Miss Xena menyipit, dia menatap lurus semua siswa yang ada di depannya, "Oleh karena itu jangan coba - coba melanggar aturan. Mengerti!"
"Siap Miss." Semua anak sontak berdiri kemudian memasang gestur siap ala militer. Setelahnya mereka kembali duduk di kursi masing - masing memulai pelajaran.
"Kau, Grey! Ketua kelas di sini yang bertanggung jawab mengatur anggotamu." Miss Xena menyodorkan beberapa lembar surat, "Berikan surat
ini kepada tiga nama yang tadi ku sebutkan!"
"Siap Miss." Grey berdiri. Lelaki itu kemudian melangkah menuju Miss Xena dan mengambil tiga buah surat di tangannya.
Surat peringatan.
Grey tertegun sejenak. Keningnya mengernyit.
'Bagaiaman ia memberikan surat ini? Jika bahkan dia belum pernah bertemu dengan tiga anak itu.'
***
"Sini, biar aku berikan surat itu." Leon muda mendekat. Dia langsung memungut salah satu di antara ketiga surat di tangan Grey, "Sebastian, aku kenal dia." Imbuhnya tanpa menunggu jawaban dari Grey, dia langsung membawa surat itu dan berpaling pergi meninggalkan sang ketua kelas yang tercenung di tempat.
"Ohh, i.. iya. Terimakasih." Grey menghela nafas. Syukurlah kalau begitu. Setidaknya ada yang mengenal satu di antara anak ini. Pekerjaannya jadi tidak repot.
Haaa... Nasib menjadi ketua kelas di tahun ajaran baru. Mereka bahkan baru seminggu ini belajar di akademi.
Sekali lagi Grey menghela nafas. Dia menyimpan surat itu di tasnya kemudian segera pergi meninggalkan kelas.
Nanti dia akan mencari info mengenai dua siswa ini.
Sementara itu, di kursi paling belakang pojok seseorang yang sedari tadi duduk dengan menundukkan wajahnya di antara rambut serta jaket yang kerahnya menutupi leher sampai dagu, perlahan membuka mata. Dia melirik Grey yang tengah memasukkan surat ke dalam tas lalu melangkah keluar kelas.
Dia Maxwell Fringer muda.
***
"Ahh, Robin Guzalt. Aku tahu anak itu."
Setelah menelusuri asrama laki - laki, akhirnya dia mendapat info tentang siswa yang bernama Robin Guzalt. Mencari murid laki - laki tentunya cukup muda ketimbang harus mencari siswi perempuan.
Dia hanya tinggal menelusuri asrama pria dan mencari daftar nama siswa yang tinggal di asrama itu, hanya dalam waktu kurang dari satu hari bis ketemu.
Apalagi ternyata Robin Guzalt tinggal di lantai asrama yang sama dengannya dan anak itu ternyata cukup terkenal.
Selain dia adalah adik salah satu master di sini, Robin juga berpenampilan mencolok dan yang pasti sudah terkenal bikin ulah. Dan ternyata selama ini Robin berada di kamar asramanya tidur. Malas menerima pelajaran.
"Kau Robin Guzalt." Grey menunduk. Berdiri di depan Robin yang masih bergelung di ranjang.
Teman satu kamarnya bahkan tidak berani menatap Robin dan memilih berada di belakang Grey.
Dalam batinnya was - was. Grey berani mengganggu Robin, maka bisa - bisa celaka.
Robin tidak akan segan - segan memukulnya.
"Aishhh... Berisik!" Robin tak mengindahkan. Dia menggertakkan rahang dan memilih berpaling malas membuka mata.
Grey di depannya masih terdiam. Memperhatikan anak bernama Robin yang kondisinya benar - benar...
Urakan.
Tato di seluruh tubuh serta tindik di sana - sini. Padahal dia masih tergolong anak - anak.
Dua belas tahun usianya. Sama seperti dirinya.
"Kau Robin, aku Grey. Ketua kelas x b. Aku ke sini untuk menyampaikan surat peringatan dari akademi. Supaya kau ma~."
"Aisshhh... Bangsat. Berisik banget." Robin seketika bangun dan menghantamkan tinju ke arah Grey.
Anak yang sekamar dengan Robin sontak membeliak dan gemetar takut bahwa Robin mengamuk lagi dan menghajar siswa bernama Grey itu.
Bisa - bisa Grey bonyok.
Lihat kan, sudah dia duga kalau Robin akan marah karena diganggu tidurnya.
Ohh mya, anak malang di depannya ini pasti....
Ehh.... Anak itu tercenung. Dia mengerjap saat sadar bahwa tinju yang Robin layangkan pada Grey, dengan mudah Grey tangkis. Bahkan pria itu sama sekali tidak bergerak untuk menangkis tinju Robin.
Robin juga terkejut ada anak yang bisa menangkis tinjunya.
Rahang Robin mengeras. Dia menggertakkan giginya. Tak mau menyerah. Dia akan menghajar bocah sialan yang mengganggu tidurnya.
Robin dengan cepat kembali melanyangkan tinju dari tangan kirinya. Bergerak cepat secepat kilat, namun....
Krek.
Anak di depannya ternyata jauh lebih cepat. Bahkan Grey dengan tenang dan seolah tanpa banyak tenaga menangkis tinju Robin fan dengan gerakan yang tak terlihat, dia memutar tangannya kemudian bergerak membanting tubuh Robin dan dengan mengejutkan Grey sudah mencekeram kerah Robin. Mencekiknya.
"Kau, jangan berulah denganku!" Peringat Grey dengan mata menyimpit tajam.
***