Sudah dua hari berlalu Maria tak sadarkan diri. Masih terbaring di rumah sakit dengan beberapa luka jahitan yang kini semakin banyak memenuhi tubuhnya.
Kulit putihnya juga memucat pun terdapat lebam - lebam merah kebiruan bahkan juga ada yang menghitam. Luka lama yang masih belum sembuh. Secara keseluruhan, kondisi Maria sangat mengenaskan. Beruntung gadis itu masih hidup sekarang.
'Dasar keras kepala.'
Maxwell begumam. Lelaki itu berdiri di sebelah ranjang kamar perawatan Maria. Dia menatap adik tirinya yang masih terbaring tak sadarkan diri dengan infus memenuhi tangannya. Bunyi detektor yang menandakan bahwa jantung gadis itu masih berdetak membuatnya cukup merasakan lega.
Maria benar - benar keras kepala. Sejak dulu gadis ini benar - benar kepala batu. Selalu saja bersikap sembrono.
Belum ada empat bulan berlalu tubuhnya terluka karena serangan Daemon tingkat tinggi, gadis itu juga dengan keras kepalanya mengikuti ujian dan harus bergerak menyusuri sungai, memanjat tebing hingga membuat jahitannya yang masih belum mengering terbuka. Lalu sekarang, belum sembuh dari lukanya itu Maria juga dengan kekeras kepalaannya ikut ujian The Duel lalu bertarung mati - matian untuk memenangkan pertandingan. Bahkan saat di arena pertandingan tadi, Maria terlihat tak peduli dengan kondisi tubuhnya dan berusaha sekeras mungkin untuk menahan kesakitannya.
Rasanya pasti sangat sakit. Sekujur tubuh gadis ini pasti rasanya seperti disayat - sayat, tulangnya seperti dipatahkan dan dihancurkan.
Benar - benar....
Maxwell meringis. Selama pertandingan tadi, ia bisa melihat bagaimana Maria menahan kesakitannya.
Sebuah keajaiban bahwa setelah luka berkali - kali dan babak belur begini gadis itu masih bisa bertahan. Dan besyukur Maria masih bisa hidup.
"Kau benar - benar sangat keras kepala Maria." Maxwell mendekat. Menyentuh kening Maria yang berbalut perban.
"Kau benar - benar ingin menjadi pasukan inti ya?"
"Jangan terlalu berusaha." Jeda sejenak, Maxwell menunduk menatap Maria dalam, "Jika itu membuatmu dalam bahaya, aku akan menghentikannya."
Suara gemerisik di luar pintu membuat Maxwell sigap mundur dan menghilang di sudut jendela tepat ketika pintu ruang perawatan Maria terbuka.
Dua orang siswi datang menjenguk Maria dengan sekantong buah - buahan serta makanan bergizi seperti roti, keju dan susu. Satu di antara siswi tersebut menangis histeris mendekati Maria yang masih terbaring di ranjang tak sadarkan diri.
"Huwaaa.... Maria, sadarlah! Kenapa kau belum bangun?" Untuk kesekian kalinya Sabin menangis tersedu meratapi temannya yang lagi - lagi harus dilarikan ke rumah sakit.
Belum ada seminggu, dua temannya sudah sama - sama babak belur. Pertama Cecil, lalu sekarang Maria. Bahkan sudah dua hari berlalu sahabatnya ini belum kunjung ada tanda - tanda siuman.
Jangan - jangan Maria mati?
Tidak, tidak boleh. Maria harua selamat. Harus.
"Maria, cepatlah sadar! Jangan tinggalkan aku! Huwaaa....."
Benar - benar berisik.
Sherly di sampingnya sampai harus mengorek telinganya karena suara cempreng Sabin dibarengi tangisan menyayat hati. Takutnya air mata Sabin itu bisa membuat banjir ruangan ini.
"Sabin, tenanglah! Maria pasti akan selamat. Jika begini kau malah membuat ketidak sadaran Maria berlangsung lama." Tegur Sherly yang berjalan tertatih menyingkirkan tangan Sabin yang secara tak sadar mengguncang - guncang tubuh Maria yang koma.
"Eeeh... Ehhh iya." Sabin tersadar lalu segera mundur. Ia mengusap air matanya yang masih mengucur pun dengan ingus di hidungnya.
"A... Aku hanya khawatir." Sabin terbata. Sesekali menyeruput ingusnya yang juga tanpa sadar keluar karena tangisannya. Dia menatap Maria yang masih tak bergerak sama sekali dengan luka di sekujur tubuhnya, lalu tatapannya beralih pada Sherly yang berdiri di sampingnya masih dengan piayama khas rumah sakit serta tangan perempuan itu yang di gips. Kening Sherly juga diperban. Cara jalan Sherly juga tertatih seperti orang pincang.
"Dua temanku sama - sama terluka parah, masuk rumah sakit. Huwaaaaa.... Bagaimana aku tidak khawatir. Huwaaaa!!!"
Sekali lagi Sabin menjerit pilu. Sherly di sampingnya terpaksa mundur menutupi telinganya yang seketika berdenging akibat teriakan Sabin.
Pelan - pelan Sherly mengusap punggung Sabin menenangkan, "Ssssttt.... Jangan menangis lagi Sabin! Jika kau menjerit seperti ini pasti membuat kebisingan di sini."
"Hiks.... Aku tak bisa berhenti menangis. Hiks.... Siapa tahu Maria juga bisa bangun karena ini. Hiks... Lagipula hanya ada kita di sini. Hiks... Maria, celatlah bangun! Huwaaa...."
Sherly meringis. Dia hanya mengangguk - angguk dan berusaha menenangkan tangisan Sabin yang semakin menjadi.
Anak ini benar - benar....
"Sudah... Sudah! Setidaknya kecilkan suaramu Sabin!" Bisik Sherly. Lagipula.... Sherly melirik jendela kaca di belakangnya.
'Sepertinya bukan hanya ada mereka saja di ruangan ini.' Gumam Sherly dalam hati.
Ya, Maxwell masih berada di sini. Saat Sherly dan Sabin masuk, dengan sigap Maxwell menghilang. Atau lebih tepatnya merubah dirinya menjadi serangga kecil yang bertengger di samping jendela. Mengamati kondisi Maria dalam diam.
***
Sepeninggal Sabin dan Sherly, Maxwell kembali mendekat ke ranjang Maria dan hendak mengubah dirinya kembali menjadi manusia. Namun belum sempat keinginannya itu terlaksana, lagi - lagi seseorang masuk ke kamar Maria membuat Maxwell mundur kembali.
Dia....
Bibir Maxwell menipis.
Lagi - lagi bocah itu.
Grey.
Dan dengan terpaksa Maxwell terbang meninggalkan kamar Maria. Tak mau bahwa keberadaannya disadari oleh laki - laki itu.
Bagaimanapun Grey adalah siswa unggulan. Dan kekuatan pria itu juga tidak bisa diremehkan. Dia pasti bisa mendeteksi ada orang lain di ruangan ini.
Grey benar - benar.....
***
"Eh... Eh... Apa ini? Grey mau mencium Maria?" Ucapan Sebastian membuat jantung Maxwell seketika berdenyut seolah seperti disentak listrik.
Tanpa pikir panjang Maxwell meraih teropong yang Sebastian pegang dan melihat apa yang temannya lihat. Memastikan bahwa perkataan kompor temannya itu hanyalah sebuah tipuan.
Tapi kali ini ternyata perkataan si kribo ini bukan kompor, melainkan kenyataan.....
Hmmm....
Sigap. Maxwell segera melesat meninggalkan kedua temannya yang bahkan belum sempat berkedip untuk menyadari bahwa Maxwell sudah menghilang.
Sebastian mengerjap, sementara Leon menelengkan kepala dungu.
"Maxwell kebelet kencing ya?"
****
"Maria jangan banyak bergerak!" Grey bergerak cemas saat dilihatnya Maria tampak hendak bangkit dari ranjangnya.
"Ingat perkataan miss Shila tadi."
"Ahh...." Maria meringis, "Aku hanya ingin bersandar. Lelah sekali berbaring seperti ini Grey." Ucapnya. Ya, setelah dua hari tak sadarkan diri dan berbaring terlentang seperti ini. Rasanya punggungnya terasa kaku. Dia hanya ingin merenggangkan punggungnya sebentar.
"Aku bantu, hati - hati!" Grey dengan penuh kehatian - hatian setengah membungkuk di depan Maria. Lelaki itu memutar knock ranjang agar kepala ranjang rumah sakit itu sedikit terangkat sehingga Maria bisa setengah berbaring sambil menyangga punggungnya di sana. Lalu dengan pelan Grey membantu Maria untuk menyamankan posisinya.
Dan tentu saja, jika dilihat dari jauh posisi mereka ini tampak seperti Grey tengah memeluk Maria dan merekapun berciuman mesra.
Namun tentu saja itu hanya salah paham.
"Maria."
Maxwell yang segera masuk sambil membanting pintu seketika tercenung. Pun dengan Maria dan Grey yang terkejut melihat kedatangan Maxwell yang tiba - tiba.
Benar - benar membuat kaget saja.
"Max... well." Timpal Maria lirih.
Maxwell yang masih berdiri di ambang pintu seketika terdiam. Dia memperhatikan Maria sejenak kemudian dengan tenang menutup pintu lalu mendekat.
"Kau sudah sadar." Bukan sebuah pertanyaan. Namun pernyataan.
"Syukurlah kalau begitu." Maxwell lalu melirik laki - laki yang masih duduk di samping ranjang Maria.
Grey tampak tersenyum menyapa kedatangan Maxwell. Namun sapaannya itu tak mendapat balasan. Malah gumaman dingin yang terdengar.
"Bisakah kau tinggalkan kami!" Atensi Maxwell kembali pada Maria, "Aku ingin bicara dengan adikku." Ucapnya penuh penekanan.
***