Suasana mansion mewah keluarga Guzalt diliputi duka. Para kolega, sanak keluarga dan pihak akademi Black Militer turut hadir mengikuti upacara pemakaman Robin Guzalt. Mereka turut berbela sungkawa atas kematian putera kedua keluarga Guzalt secara mendadak. Dan para siswa - siswi di kelas yang sama dengan Robin Guzalt juga turut datang.
Peti jenazah pemuda sembilan belas tahun itu diturunkan ke liang lahat. Semua sontak menunduk, membaca doa demi doa dengan kidmat mengantarkan jenazah Robin ke peristirahatan terakhirnya.
Harry Guzalt dan Brenda Guzalt berdiri di depan makam. Membawa foto Robin yang tersenyum lebar dengan rambut punknya itu. Tak ada tangisan maupun raut sedih, yang ada mereka hanya terdiam. Seolah tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Di samping Harry Guzalt, berdiri pemuda tinggi tegap dengan seragam militer hitam berbintang lima menghiasi kemejanya. Topi ala.militer hitam berpangkat tinggi juga ia kenakan. Sosoknya terlihat mirip dengan Robin, hanya saja Justin memiliki paras yang lebih bagus, tegas dan dewasa.
Dan Justin juga merupakan salah satu master dalam Black Militer. Dan pada saat kejadian, Justin tidak sedang berada di akademi menyaksikan pertandingan itu.
Seperti kedua orangtuanya, Justin hanya terdiam. Tak menampilkan riak apapun di wajahnya. Dia hanya berdiri tegap lalu menaburkan bunga untuk mendiang adik tirinya, Robin.
Dan saat ini di akademi Black Militer, meski tak terlalui tampak suasana kehilangan menyelimuti, namun ujian the Duel yang hari ini harusnya dilangsungkan menjasi ditunda selama satu hari.
Bagaimanapun kematian salah satu kerabat master Black Militer menjadikan kegiatan dalam akademi sedikit terhambat. Apalagi kematian Robin masih mebimbulkan tanda tanya. Dan perlu diselidiki lebih jauh siapa yang sengaja memasukkan serangga pengendali ke tubuh anak itu. Dan siapa yang mempunyai serangga yang bahkan sudah dikatakan musnah.
"Cecil, bagaimana keadaanmu?" Sabin duduk di dekat ranjang. Menjenguk sahabatnya yang masih mendapat perawatan di klinik akademi.
"Aku sudah tidak apa - apa." Jawab Sherly. Dia setengah duduk dengan menyandarkan punggungnya ke kabin ranjang.
Sabin tahu bahwa Sherly masih belum baik - baik saja mengingat pukulan Robin Guzalt kemarin benar - benar menyakitkan. Bahkan bisa dibilang seharusnya yang kehilangan nyawanya ialah Cecil. Tetapi sungguh mengejutkan bahwa Robinlah yang tewas.
"Aku membakanmu bubur. Makanlah!" Sabin menyodorkan bubur ayam yang masih hangat dan mengepul menyuarkan aroma lezat.
Sherly tersenyum berterimakasih. Jeda sejenak sebelum dia memakan buburnya, Sherly mendongak menatap Sabin.
"Apakah hari ini pemakaman Robin?"
Sabin mengangguk, "Ya. Kemarin keluarganya langsung menjempuit jenazahnya. Dan hari ini dimakamkan di pemakamam umum."
Sherly diam sejenak. Lalu menghela nafas.
"Aku tak menyangka dia meninggal."
Sabin mengangguk, "Aku juga."
"Semuanya juga tak menyangka. Padahal kau tahu, saat dibawa ke ruang perawatan Robin masih sadar dan sempat berbicara lho. Tapi secara mengejutkan malamnya pria itu meninggal."
Sabin mendekat. Lalu berbisik, "Ada yany mengatakan kalau Robin memang sengaja dibunuh."
"Kau tahu tidak kalau ternyata ada serangga pengendali di tubuh Robin." Sabin mulai bercerita apa yang dia dengar dari gosip yany beredar.
Kehebohan adanya serangga pengendali di tubuh Robin seketika tersebar. Dan semua siswa bertanya - tanya mengenai mengapa serangga langka tersebut tiba - tiba ada si tubuh anak itu.
"Jangan - jangan selama ini, tingkah Robin yang seperti berandal karena dihinggapi serangga itu." Sabin berspekulasi. Bergidik sendiri jika itu memang benar adanya.
Sherly tak berkomentar apapun. Itu bagus bila orang mengira bahwa selama ini ada serangga pengendali di tubuh Robin, sehingga setidaknya pelakuan buruk anak itu bisa dispekulasikan karena pengaruh serangga. Jadi para siswa dan siswi menjadi tidak terlalu membenci Robin dan memberikan doa untuk Robin yang telah berpulang.
Saat mereka tengah mengobrol di ruangan itu, seseorang datang membuka pintu kamar Sherly yang sontak menghentikan obrolan itu.
Sherly tertegun. Pun juga Sabin yang langsung mengunci mulutnya saat secara tak disangka Leon Hassel datang menjenguknya.
Untuk sejenak Leon terdiam. Lelaki itu tampak tidak tahu harus bicara apa sebelum kemudian dia melengos.
"Ya ampun aku salah kamar." Katanya. Namun meski begitu Leon masih berdiri di sana. "Tidak tahunya ini kamarmu ya."
Entah kenapa Leon menjadi kikuk sendiri saat dua orang perempuan di ruangan itu masih belum mengatakan apapun malah hanya menatapinya dengan sorot bengong.
Tak mau terus mendapat pandangan seperti itu, Leon yang mengutuk dirinya sendiri karena datang ke kamar ini tanpa mengajak siapapun langsung mengangkat dagunya angkuh.
"Hee cebol, mumpung aku di sini aku ingin melihat apa keadaanmu baik - baik saja?" Tanya Leon.
Sherly mendengkus. Mulut pria ini benar - benar terlalu licin.
"Ku pikir kau koma." Imbuhnya sekali lagi. Leon langsung ingin menepuk bibirnya sendiri karena mengatakan hal tak berdasar seperti itu. Padahal dia tadi ingin mengatakan, 'Syukurlah kalau kau baik - baik saja.'
"Apa kau ingin melihatku koma, Leon?"
"Tidak." Leon langsung menjawab. Dia lalu menyandarkan tubuhnya ke pintu kemudian bersendekap, "Kau lebih baik bergerak agar aku dapat terus menindasmu."
Sherly meringis. Anak ini benar - benar ya....
"Leon, kau bilang salah kamar kan? Tetapi kenapa kau tidak keluar - keluar daritadi?" Tanya Sherly setengah mendesis. Benar - benar ingin sekali menendang pria itu keluar.
"Aku ingin keluar. Tapi...." Leon tampak ingin mencari alasan, "Tapi aku ingin menonton lebih lama penderitaanmu."
Sabin yang duduk di sebelah Sherly seketika menahan nafas. Dia menunduk tak berani menimpali pembicaraan yang menakutkan ini. Sementara Sherly mendengkus. Kesal tapi juga merasa konyol.
Pria bernama Leon ini memany benar - benar kekanakan.
"Aku tidak menderita." Balas Sherly.
Alis Leon terangkat, "Ohh ya? Siapa yang kemarin yang dipukul sampai batuk darah."
"Beruntung kau masih hidup."
Ya, dia beruntung masih hidup. Sementara anak lainnya telah tewas karena dirinya.
***
Tak berselang lama sepeninggal Sabin dan Leon. Sherly masih berada di kamarnya, duduk termenung di ranjang itu. Sebelah tangannya memutar - mutar sebuah gantungan kunci.
Gantungan kunci dari sosok yang semalam kembali berusaha membunuhnya.
Gantungan ini terjatuh saat dirinya berusaha mengejar sosok tersebut dan juga....
Suara ketokan pintu sontak membuat Sherly menyembunyikan gantungan ith di bawah bantalnya. Dia menoleh saat melihat Zavier masuk membawakan buah - buahan, susu dan snack favoritnya.
"Zavier, kau tak perlu repot - repot seperti ini." Ujar Sherly. Tiga bungkusan besar berada di tangan anak ini.
Dia sangat senang tentu saja. Tetapi dia juga harus tetap menjaga image bukan?
"Ah, ini bukan apa - apa Cecil." Zavier mendekat. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal kemudian duduk di samping Sherly.
Zavier sejenak menatap Sherly lalu menghela nafas, "Syukurlah kau tidak apa - apa Cecil. Sesuai dugaanku."
Kening Sherly sontak berkerut.
"Maksudnya sesuai dugaan?"
Ahh... Zavier sontak mengangkat kepalanya. Seperti biasa dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saat dirinya mulai gugup terhadap lawan bicaranya, "Kemarin aku melihat pertandingamu, dan aku bilang kau pasti menang."
Zavier meringis, "Tapi anak - anak tidak percaya padaku. Malah mengatakan kau akan babak belur. Terluka parah bahkan dengan jahatnya ada yang berkata kau akan mati."
Sherly menyimak.
"Padahal kau kan kuat."
Mata Sherly melebar.
"Kenapa kau menyimpulkan bahwa aku kuat?"
Zavier meringis. Dia menelengkan kepala sejenak, "Ya, sudah lama saat bertemu denganmu aku merasa kalau kau bukan perempuan biasa. Hehe."
***