Sherly yang penasaran tak kuasa untuk menggeser tubuhnya, melihat seperti apa sosok jenderal Aiden itu. Dan sedetik kemudian setelah dia berhasil melihat dengan jelas rupa laki - laki itu, manik kelamnya sontak membeliak lebar, bibirnya ternganga dipenuhi oleh keterkejutan luar biasa. Bahkan jantungnya nyaris copot sekarang.
'Dia... bukankah dia.... Aiden?'
Seniornya dulu dan juga mantan kekasihnya?
Sherly menelan ludahnya. Keringat dingin tiba - tiba mengalir dari keningnya, tubuhnya kaku seketika.
Gawat!
Sherly segera menggeser kembali tubuhnya. Berlindung di balik punggung temannya yang lebih tinggi darinya. Sebisa mungkin menutupi dirinya dari mata sosok jenderal agung yang menjadi perbincangan para siswa akademi. Bisa gawat jika lelaki itu melihatnya berada dalam barisan ini dan menjadi murid akademi ini.
Sial, sial. Sialan.
Dia benar - benar tegang sekarang. Jauh lebih tegang ketimbang harus menghadapi pembully maupun menghadapi rintangan demi rintangan ala kemiliteran. Ini benar - benar situasi tak terduga sekaligus menakutkan.
Jangan sampai pria itu melihatnya.
Sherly mengepalkan kedua tangannya, menggigit bibirnya tegang. Ia menunduk dalam tidak mau menatap ke depan saat mata lelaki itu dirasa memindai seluruh pasukan yang berbaris. Suara laki - laki itu juga mulai terdengar menyebutkan satu persatu nama siswa - siswi akademi dan sialnya para murid yang dipanggil namanya itu harus menjawab dengan lantang serta menujukan gerakan hormat ala kemiliteran.
Oh ya ampun, ya ampun. Benar - benar gawat. Bagaimana jika laki - laki itu melihatnya? bagaimana jika penyamarannya terbongkar? Bagaimana jika laki - laki itu masih mengingatnya?
Mata Sherly sontak mengerjap beberapa kali ketika pertanyaan terakhir itu terlintas di benaknya.
Eh... mengingatnya?
Ya, kekhawatirannya itu sangat besar jika pria itu mengingatnya. Namun tidak jika lelaki itu telah melupakannya.
Ini sudah bertahun - tahun berlalu. Mereka juga tidak pernah bertemu lagi dan bertegur sapa. Hubungannya dengan pria itu juga sangat singkat bahkan pria itu tiba - tiba meninggalkan Universitas Grand sebelum kelulusannya datang. Seingatnya, Aiden hanya kuliah selama kurang dari tiga tahun di sana. Dan dirinya tidaklah sespesial itu untuk menjadi wanita yang harus diingat sepanjang waktu terlebih oleh pria semacam Aiden Gerland atau nama belakang asli pria itu ternyata ialah Aiden Cassanov.
Pantas saja pria itu dulu begitu mencolok di Universitas Grand. Meskipun dia mencoba berpenampilan biasa saja, tapi tetap saja auranya tidak bisa menutupi tampilannya. Aiden sang idola kampus Grand ternyata adalah orang dari Distrik 4 tempatnya orang - orang bangsawan serta berkekuatan super. Dan yang lebih mencengangkan ialah pria itu menjadi jenderal agung di sini.
Sebutan jenderal, itu berarti dia adalah orang berpengaruh di Distrik 4 bukan?
Gawat bila Aiden mengenalinya dan identitasnya terbongkar. Dirinya bisa dihukum..... mati.
Wajah Sherly sontak memucat. Dia kemudian tanpa sadar menggeleng - gelengkan kepalanya mengenyahkan pikiran - pikiran buruk dan negatif.
Tidak, tidak, semoga pria itu tidak mengingatnya. Semoga Aiden tidak mengenalinya. Ya, Aiden pasti sudah tidak mengingatnya. Ini sudah sangat lama, lama..... Sekali.
Dia dulu masih remaja kuliahan dan sekarang dia sudah dua puluh enam tahun, sudah menjadi wanita dewasa. Pasti Aiden tidak akan mengenalinya. Ya, pasti.
Sherly kini tanpa sadar menggigit ujung jarinya gugup. Tapi sialnya, wajahnya ketika remaja sampai dewasa tidak ada perubahan sama sekali. Dia sanksi bahwa Aiden tidak mengingatnya sedikit saja.
Untuk pertama kali Sherly meruntuki wajah baby facenya.
Sial.
"Cecil August."
Tidak ada jawaban.
"Cecil August."
Masih tidak ada jawaban.
Di sana, mata Aiden menyimpit. Pria itu mengerutkan kening membaca daftar nama yang ada di dalam kertas absensi. Memastikan bahwa nama yang ia panggil tidak salah satu huruf serta ejaannya sekalipun. Pria itu kembali mendongak, memindai barisan siswa - siswi Black Militer. Manik emasnya menatap seksama, dan rahangnya mulai mengeras ketika nama siswi yang dipanggil tidak kunjung menyahut.
"Cecil August, apakah dia ada di sini atau sudah mati?" Panggilnya sekali lagi. Suaranya kini terdengar dingin mendesis membuat para murid seketika menegang.
Sherly yang terlampau sibuk dalam lamunan serta kecemasannya sampai lupa bahwa namanya kini sudah berganti menjadi Cecil August, bukan lagi Sherly August Helbor. Sehingga ketika dirinya dipanggil, ia sama sekali tak menggubris sampai kemudian sebuah batu kecil dilempar ke arahnya dan mengenai pundaknya.
Gadis itu sontak mengaduh. Ia berjengit kaget dan menoleh ke arah sosok yang melemparinya batu.
Dia adalah Zavier.
'Absen.' Ujar Zavier melalui gerak bibirnya. Dan detik itulah Sherly baru sadar akan kelalainnya.
Wanita itu kemudian segera memasang sikap tegak sembari membuka suaranya, "Maafkan saya jenderal! Cecil August hadir." Jawabnya dengan lantang dan penuh penghormatan.
Netra serupa cahaya matahari itu seketika tertuju ke arah sumber suara. Tak perlu diberitahu di barisan mana siswi bernama Cecil August itu berada, Aiden sudah bisa menemukannya lantaran hanya dengan sebuah suara, pendengarannya yang tajam sudah bisa mendeteksi dimana keberadaan siswi itu.
Mata Aiden menyimpit menatap dua barisan di depannya. Tepatnya kepada barisan paling belakang tempat dimana Sherly berdiri.
Dia tentu saja tidak bisa melihat rupa siswi tuna rungu dadakan itu lantaran terhalangi oleh tubuh tinggi orang di depannya. Yang bisa Aiden lihat saat ini hanyalah rambut hitam gadis itu.
"Kau, maju!"
Haah?
Mata Sherly sontak melebar dan jantungnya seakan meledak mendapati perintah itu.
Ohh, ya Tuhan! Ya Tuhan! Bagaimana ini?
Sherly menelan ludah gugup. Dia merasakan kali ini tatapan para siswa terasa tertuju padanya. Termasuk Trinity dan kawan - kawannya yang kini menoleh dengan senyum mengejek ke arahnya.
Wajahnya langsung memucat. Di saat seperti ini dirinya tidak bisa berpikir apapun. Pada akhirnya dia menunduk dalam, menutupi garis wajahnya dengan poni serta rambut pendeknya membentuk seperti tirai jendela, hati - hati ia bergeser lalu melangkah maju dengan penuh kegugupan.
Sabin yang melihat sahabatnya tampak ketakutan merasa kasian. Siapa yang tak takut, jika seorang jenderal Aiden sudah memerintahkan sesuatu dengan ekspresi serta nada dingin seperti itu... berarti itu adalah sebuah peringatan.
Peringatan untuk siswa dan siswi yang tak boleh lengah. Dan tadi, Cecil memang melakukan tindakan ceroboh dengan tidak menjawab panggilan selama dua kali.
Sementara itu Sherly yang tengah berjalan pelan ke depan terus meruntuki kebodohannya. Saat ini dirinya bukannya gugup karena sekarang menjadi pusat perhatian, melainkan dia takut bila pria ini mengenalinya.
'Semoga dia tidak ingat! Semoga tidak ketahuan!' Doa Sherly dalam hati.
Dan ketika dirinya telah sampai ke depan, Sherly merasakan udara terasa begitu dingin mencekam dan dia tidak berani untuk mengangkat kepalanya.
Di sana, Aiden harus menunduk untuk melihat salah satu pasukan Black Militer yang ceroboh. Dan dirinya harus menurunkan pandangannya lebih dalam lagi karena selain tinggi siswi ini hanya sebatas pundaknya, gadis itu juga tampak menunduk begitu dalam seolah tengah menyembunyikan wajahnya.
"Apakah wajahku ada di bawah? Angkat kepalamu!"
Sherly tersentak. Tetapi dia enggan mendongak, "Ma... maaf Jenderal, saya sakit mata. Takut menular." jawab Sherly dengan lancar.
Sebelah alis Aiden terangkat. Pria itu kemudian menipiskan bibirnya sebelum kemudian berkata, "Penyakit seperti itu tidak akan menulariku dan aku tidak akan mengulangi perintah untuk kedua kalinya. Jadi lakukan atau...."
Sherly menelan ludahnya gugup dan perlahan dia terpaksa mendongak sembari terus berdoa dalam hati serta mengatur jantungnya yang berdetak gila.
Semoga dia lupa! Semoga dia tidak mengenaliku! Semoga penyamaranku tidak ketahuan! Ya Tuhan bantu aku untuk kali ini saja ku mohon kabulkanlah! Aku janji tidak akan meminta sesuatu selama satu tahun dari mu, Tuhan!
Dan ketika dirinya mengangkat kepala, seseorang datang mengalihkan atensi Aiden. Pria itu menoleh saat rekannya_ letnan Benja datang membisikkan sebuah info terbaru terkait pembunuhan wali kota Van Rusdell kala itu.
Sherly seketika menghela nafas lega.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan ke sana." Timpal Aiden. Dia kemudian menyuruh rekannya untuk menggantikan dirinya menangani para murid akademi. Tetapi sebelum dirinya berbalik pergi, dia sempat melirik ke arah anak di depannya kemudian berkata.
"Atur barisan lagi! Murid yang paling pendek berada di barisan depan."
Apa?
Perintah tiba - tiba itu tentu saja membuat Sherly terkejut. Ini buruk.
***