Bukan Ambigu 36

230 29 1
                                    

Fine

Hampir setiap hari, Siena mendengarkan curahan hati Siva yang sejujurnya melukai hatinya. Meski di setiap Siva menceritakan kebahagiaannya tentang Raga, Siena berusaha menanggapinya dengan suka cita, senyum yang sangat terlihat munafik jika seseorang bisa peka.

Namun, tidak sekarang, Siva berlari memeluk Siena dengan senyum secerah mentari, membuat gadis itu sudah menebak akan ada kebahagiaan Siva yang melukai hatinya kembali.

"Tau nggak, Raga ngajak gue ke pesta ultah Kevin bareng? Gue terlalu seneng Sie, gue jadi lupa caranya bernapas. Omegot, gue jadi alay gini gara-gara Raga." Siva mengibaskan tangannya di hadapan wajahnya yang terasa panas.

Siena kembali terdiam, dari semua cerita Siva akhir-akhir ini, baru kali ini Siena merasa sulit tersenyum untuk kebahagiaan sahabatnya. Gadis itu bahkan merasa sesak.

"Pokoknya nanti malem lo harus bantuin gue dandan dan milih gaun paling super duper keren, ok?" kata Siva penuh tatapan memohon.

"Iya, Va, apa sih yang nggak buat lo," jawab Siena langsung dapat pelukan sekilas Siva.

"Lo emang sahabat terbaik. Gue duluan ya, muakh!" Siva meninggalkan Siena di ruang olahraga sendirian.

Gue nggak sebaik itu, Va, karena gue udah lancang mencintai Raga milik lo. Batin Siena.

Siena terduduk dengan busur yang masih dia pegang, matanya menatap lantai kosong, hatinya terasa ngilu, menjerit tanpa suara. Menyuarakan rasa sakit yang menghujamnya, Siena sudah berjanji untuk tidak lagi menyukai Raga, tetapi semakin mencoba semakin merasa kesulitan, bahkan Siena merasa cinta itu tumbuh terlalu besar dalam dadanya.

Siena sudah memutuskan, biarkan hatinya merasakan sakit dan cinta bersamaan tanpa harus orang lain tahu. Siena tidak mau Raga tahu tentang perasaannya, luka atau pun cinta yang Raga sebabkan, biarkan Siena menyimpannya sendiri.

Meski, kadang ada waktu di mana Siena merasa tidak mampu berdiri sendirian, ingin menyerukan perasaannya seperti gadis lain, tetapi Siena lebih memilih bungkam dengan rahasianya, demi perasaan Siva dan Raga.

Siena belum mengerti apa yang ada di pikiran Raga saat ini, mungkinkah Raga sudah mulai menyukai Siva? Gadis itu senang jika itu benar, karena rasa sakitnya membuahkan hasil, meski Siena tidak tahu kapan bisa seperti Raga, lupa akan apa yang telah terjadi di antara mereka, seolah Siena yang paling terbelenggu.

Jujur saja, Siena sedikit kecewa karena Raga begitu cepat melupakannya, dan mengikat Siena seperti sekarang dengan perasaan sepihaknya.

Gadis itu mencoba bangkit meski kakinya terasa lemas. Setelah menghela napas panjang, Siena merapikan peralatannya, lalu keluar dari ruang olahraga. Berjalan menuju lantai dua, saat hendak melangkah ke anak tangga, mata Siena menangkap dua sosok yang tak asing untuknya tengah mengobrol. Gadis itu tidak bisa mendengar obrolan mereka, hanya saja Siena bisa melihat ekspresi senang di wajah keduanya.

Bibirnya melengkung ketika melihat sahabatnya tertawa ringan, sebelum kecupan kecil mendarat di pipi Raga, senyum Siena redup seketika.

Matanya menatap wajah Raga yang tersenyum kecil, rasanya mulut Siena terasa kelu, telinganya seperti tak bisa mendengar apa pun lagi, sunyi. Tubuhnya terasa kaku dengan rasa sakit yang berkali-kali menghujamnya.

Bukan AmbiguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang