Bukan Ambigu 29

289 44 7
                                    

"KAK SIE KENAPA NOLAK KAK RAGA? KAK SIE JAHAT!" teriak Samuel lalu menendang pintu kamar Siena yang dikunci, setelah itu Siena tidak mendengar lagi suara anak itu.

Gadis itu terisak, terduduk di dekat jendela. Siena sempat melihat cowok yang baru saja dia tolak pulang, mendengar suara motornya saja hatinya berdenyut sakit, apalagi melihat wujud Raga, rasanya hatinya begitu perih dengan lubang menganga.

Salahkah jika sekarang Siena mengakui perasaannya? Dia mungkin seperti merebut Raga dari Siva, karena setelah menolak cowok itu—Siena baru menyadari betapa sakitnya membohongi perasaannya sendiri.

Ia merasa sakit menolak Raga, jelas bukan tanpa alasan, Siena merasa nyaman di dekat Raga. Meski saat bertemu mereka selalu beradu mulut, karena Siena tidak tau harus bersikap seperti apa di hadapan Raga.

Siena bukan gadis yang mudah bersikap manis seperti gadis lain. Ia tidak mudah untuk bersikap baik pada semua orang. Siena juga tidak pandai untuk berpura-pura manis, yang dia tunjukan adalah sisi kebenaran, meski sekarang dia sedang bersandiwara.

Siena sadar ucapannya sangat tidak pantas, tahu pasti Raga akan membencinya setelah ini. Siena melakukan itu semua untuk Siva, agar sahabatnya bisa mengejar Raga tanpa ada dirinya sebagai pagar. Siena ingin agar Raga menjauh, meski sekarang mungkin Siena menyesali ucapannya.

Gadis itu memukul dadanya berkali-kali, menahan isakan yang terasa sesak di dada. Siena baru menyadari, bahwa cinta tidak bisa dia rasakan saat tumbuh, tetapi cinta baru akan terasa besarnya saat merasa cinta itu pergi, dan ternyata sudah tumbuh besar tanpa disadari.

Kini Siena tengah merasakan cinta yang tumbuh tanpa sepengetahuannya. Namun, dia malah mengorbankan semua itu untuk sahabatnya, menerima luka demi kebahagiaan orang lain, rela tersiksa demi tawa sahabatnya, dan menahan sakit demi kesetiaan. Siena sudah memutuskan untuk merelakan cintanya, yang baru dia sadari hanya dengan beberapa detik penolakannya.

"Sie, buka pintunya sayang, Mama mau bicara! Ayo sayang, jangan gini!" seru Rina membujuk.

Siena hanya menahan sakit di dadanya akibat menahan isakan, dan rasa sakit dari luka yang dia buat sendiri.

Maaf Ga, Maaf, kamu terlalu baik, nggak pantas buat aku, aku jahat, maaf.

_________

Kepulan asap kembali mengudara, hilang terbawa angin. Tatapan cowok itu kosong, ada air yang keluar dari sudut matanya. Raga terkekeh geli sambil mengelap air matanya, tidak menyangka dia lemah dalam perasaan, mungkin akibat kehilangan mamanya dulu. Jika dalam pertempuran, mungkin dia ahilnya. Raga merasa bodoh, menangisi orang yang tidak bisa dia tebak jalan pikirnya.

"Sandi bener, harusnya gue siapin mental," kekeh Raga mengingat ucapan Siena, meski terdengar tidak nyata di telinganya. Namun, pada akhirnya Raga harus sadar kalau ucapan itu keluar dari bibir Siena. Meski menyakitkan, Raga sudah terlanjur mendengarnya.

Rizal mendekati putranya yang tengah duduk di balkon. Rizal melihat satu bungkus rokok dan puntung rokok berserakan, mungkinkah ada masalah? Pikirnya.

"Ada masalah apa? Sampai bikin kamu ngerokok lagi?" tanya Rizal tanpa menatap Raga.

"Lagi pengin aja Pa."

Rizal terkekeh sebelum menjawab, " Papa kenal kamu, Ga, setiap ada masalah pasti ngerokok lagi kaya kesetanan, kamu 'kan udah lama nggak ngerokok."

"Lagi ngidam aja, Pa," jawab Raga masih terus mengepulkan asap ke udara.

"Tadi kamu keluar belom begini, kenapa, Ga? Jangan bikin Papa nggak guna di sini!" ucap Rizal yang kali ini menatap Raga dari samping.

Bukan AmbiguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang