Jilid 113

1.5K 28 0
                                    

Waktu dibawa ke dalam kuil, Hui-houw-to, melihat dipekarangan kuil tersebut menggeletak beberapa sosok mayat. Dia lihat dari pakaiannya yang penuh tambalan, jelas beberapa sosok mayat itu adalah pengemis-pengemis yang sudah mati mungkin cukup lama.

Mayat mereka malang melintang tidak teratur. Tubuh merekapun berlumuran darah. Mungkin sebelum menemui kematiannya, pengemis-pengemis itu sudah terluka parah!

Dan pengemis-pengemis itu rupanya kawan-kawan pengemis yang baru saja mati, yang membawa Hui-houw-to ke kuil ini. Dia di antaranya tentu terdapat pengemis yang hendak bicara dengan Hui-houw-to. Entah yang mana.

Hui-houw-to juga dapat menerkanya orang yang telah membinasakan semua pengemis-pengemis itu pasti adalah orang tua itu dengan ke dua orang kawannya.

Hui-houw-to dilempar ke dalam kuil tempat sembahyang, di sebelah sudut. Hui-hauw-to terbanting dan menyebabkan ia kesakitan, namun ia dalam keadaan tak berdaya, iapun dalam keadaan tertotok.

Di dalam hati Hui-houw-to menduga-duga entah siapa ke tiga orang ini, yang pasti tentu mereka itu menghendaki Giok-sie juga. Dan ada satu orang lagi yang mereka tunggu, yaitu sie-te atau adik keempat.

Entah siapa adik keempat itu? Dan apa langkah yang akan mereka lanjutkan seterusnya, setelah surat itu terjatuh ke dalam tangan mereka?

Hui-houw-to tidak bisa menjawab semua pertanyaan yang mengaduk pikirannya, sedangkan si tua telah menghampiri Hui-houw-to, bilang:

"Karena tadi kau telah bicara jujur, maka kami mau mengampuni jiwamu. Kami tengah menunggu kedatangan sie-te kami. Jika ia setuju kau dibiarkan hidup, kami akan mengampuni kau!

"Tapi jika sie-te tidak bersedia mengampuni kau, maka terpaksa kau akan kami binasakan. Sekarang kau berdoalah, agar sie-te kami kelak setuju kau diampuni.......!" Setelah berkata begitu orang tua tersebut tertawa bergelak-gelak, suara tertawanya nyaring sekali.

Sedangkan wanita cantik berbaju merah dan tangannya terdiri dari besi yang keras itu, sudah menoleh. Panggilnya: "Toako, kemari kau!"

Cepat-cepat orang tua itu menghampiri wanita cantik baju merah tersebut.

"Ada apa, Jie-moay? Ada perkembangan baru?" Tanya orang tua itu.

Wanita baju merah itu menggeleng.

"Kami ingin merundingkan sesuatu dengan kau, Toako! Tapi jangan di dekat orang itu, karena jika bisa mendengar pembicaraan kita, siapa tahu ia memiliki nasib baik dan akhirnya tidak mampus. Bukankah kelak ia bisa saja banyak bicara?!"

Orang tua itu tertawa. Ia ikut si wanita pergi menjauhi, mereka bertiga duduk saling berhadapan, tampak mereka sibuk sekali merundingkan sesuatu.

Tidak jarang terlihat orang tua itu bersikeras, entah apa yang di pertentangkannya, tidak jarang juga orang yang berpakaian sebagai perwira kerajaan itu sudah mencak-mencak. Tapi Hui-hauw-to tetap saja tidak berhasil mendengar apa yang mereka katakan dan ucapkan satu dengan yang lain.

Cuma akhirnya tampak si perwira kerajaan sudah melompat berdiri dengan muka merah padam:

"Aku tidak setuju. Walau bagaimana barang itu harus diserahkan pada Hong-siang!" Suaranya kali ini keras sekali.

Dengan demikian Hui-houw-to dapat menerkanya, tentu barang yang dimaksudkan si perwira kerajaan itu adalah Giok-sie. Dan mereka rupanya tengah memperdebatkan barang itu akan menjadi milik siapa dan akan dipergunakan untuk apa.

Orang tua itu tampak menggerak-gerak tangan mengucapkan sesuatu. Walaupun muka si perwira kerajaan masih merah padam, tapi dia duduk kembali.

Melihat si perwira kerajaan itu, Hui-houw-to jadi berpikir lagi. Entah berapa tinggi kepandaian si perwira kerajaan itu?

Pendekar Aneh Seruling SaktiOnde histórias criam vida. Descubra agora