Jilid 97

1.6K 30 2
                                    

Waktu matahari tengah memancarkan sinarnya yang sangat terik, tampak seorang pendeta tengah melangkah dengan tindakan kaki yang satu-satu di lapangan rumput yang luas itu. Pendeta itu sangat sabar sekali, karena dilihat dari cara melangkahnya saja begitu tenang dan sabar dia melangkah satu-satu.

Ketika pendeta tersebut mengangkat kepalanya, tampak jelas di bawah terik matahari, keringat yang memenuhi mukanya. Dia menghapusnya.

Dan dia seorang pendeta yang kepalanya gundul dengan usia enampuluh tahun lebih. Dia memelihara kumis dan jenggot yang panjang dan sebagian besar telah memutih.

Dia mengenakan jubah kependetaannya yang berwarna putih bersih. Diapun mengenakan sepatu yang tipis.

Setelah menghapus keringatnya, pendeta itu melanjutkan jalannya lagi. Dia melangkah perlahan-lahan.

Sikap pendeta itu memang lemah lembut dan sabar sekali. Namun melihat pada matanya yang bersinar tajam ketika dia mengangkat kepalanya mengawasi matahari yang tengah bersinar terik itu, tentunya seorang pendeta yang patut membaca liam-keng, juga dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, sin-kang yang mahir sekali.

Tengah si hweshio melangkah begitu, tiba-tiba dikejauhan dia melihat sesosok tubuh yang menggeletak diam tidak bergerak. Cepat-cepat si pendeta mempercepat langkahnya yang jadi lebar.

Malah akhirnya ia menjejakkan ke dua kakinya di tanah dan tubuhnya itu melesat ringan sekali. Hanya beberapa kali lompatan saja, dia sudah bisa tiba di samping sisi sosok tubuh itu.

Gin-kangnya menakjubkan sekali. Karena jarak yang kurang lebih belasan tombak itu cuma beberapa kali lompatan saja telah berhasil dicapainya dengan mudah.

Hweshio itu melihat sekarang bahwa sosok tubuh yang menggeletak tidak bergerak itu adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih. Laki-laki itu rebah diam tidak bergerak.

"Siancay! Siancay!" Bilang pendeta itu sambil merangkapkan sepasang tangannya memuji kebesaran Buddha. Dia berjongkok dan memeriksa tubuh orang itu.

"Omitohud!" Memuji lagi pendeta itu.

Dia memperoleh kenyataan orang itu terluka di dalam yang cukup parah.

Dia merogoh saku jubahnya mengeluarkan beberapa butir pil pulungan. dimasukkan ke dalam mulut lelaki itu.

Kemudian dia menguruti sekujur tubuh lelaki tersebut. Dan akhirnya terdengar suara lelaki itu yang mengeluh serta membuka matanya.

Lelaki yang menggeletak, dalam keadaan terluka parah itu di atas rumput tersebut tidak lain dari Hui-houw-to. Dia memang terluka dalam yang parah sekali. Justeru waktu dia membuka matanya, dia merasakan pandangan matanya masih gelap dan juga berkunang-kunang.

"Omitohud! Omitohud!" Memuji lagi pendeta itu.

Hui-houw-to seketika teringat sesuatu. Dia telah melompat untuk berdiri.

Namun tenaganya seperti lenyap. Dia masih lemah sekali. Dia juga telah terdiam hampir terpelanting lagi.

Untung saja hweshio itu cepat memegang sepasang lengannya, membantuinya buat direbahkan kembali.

"Jangan terlalu banyak bergerak dulu, Siecu!" Kata si Hweshio. "Kesehatan siecu belum lagi pulih keseluruhannya.......!"

Hui-houw-to menghela napas, segera dia teringat kejadian yang menimpa dirinya, di tangan Giok-tiauw Sian-lie dan laki-laki berbaju hitam itu. Dia menghela napas, tampaknya dia sangat berduka.

"Habis! Habislah semua!" Mengeluh Hui-houw-to dengan suara yang agak serak.

"Kenapa?" tanya hweshio itu, "Apakah siecu telah mengalami suatu kesulitan.....?"

Pendekar Aneh Seruling SaktiWhere stories live. Discover now