18+ lagi
÷÷÷
Calista menggeliat dalam pelukan Steven. Membuka matanya perlahan. Kemudian menutup mulutnya yang terbuka karena menguap menggunakan telapak tangannya.
Lengan Steven masih melingkar di pinggang mulusnya. Pria itu belum bangun. Calista memerhatikan wajah damai Steven ketika tidur. Merapatkan bibir, kemudian senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam.
Setelah itu Calista mengangkat sebelah tangannya mendekat pada wajah Steven. Menyentuh kening Steven dengan jari-jarinya. Turun perlahan menuju hidung dan berhenti pada bibir pria itu. Calista mengecup bibir Steven singkat setelahnya.
"Morning kiss," ucap Calista ketika Steven membuka mata sambil tersenyum.
Steven mengerang pelan sambil mendekap tubuh polos Calista, semakin erat. Ia menenggelamkan kepala Calista di lehernya. Rambut perempuan itu ia cium. Tubuh keduanya yang sama-sama polos saling menempel di dalam selimut.
Adegan saling peluk romantis mereka tiba-tiba terganggu oleh bunyi perut Calista. Bunyinya cukup keras. Calista meringis malu karena yakin kalau Steven menyadarinya.
Steven yang mendengar itu jadi menatapnya aneh, kemudian terkekeh. "Kau lapar?"
Calista mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya menggemaskan.
Steven lebih dulu mengecup bibir Calista sebelum bangkit dan berkata, "Kita sarapan di bawah."
÷÷÷
Angin laut berembus kencang hingga membuat rambut Calista yang terurai beterbangan dan berantakan. Calista menutup mata menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya. Ia menengadah sambil lanjut berjalan bersisian dengan Steven di sampingnya yang menggenggam tangannya.
Membuka mata, Calista menjatuhkan pandangan pada kapal-kapal mewah yang berjejer di tepian laut. Semua yacht mewah itu pasti milik para petinggi di kota ini. Calista penasaran bagaimana rasanya berada dalam yacht mewah tersebut.
"Tuan," panggil seorang pria paruh baya kepada Steven sambil mendekat ke arah mereka berdua.
"Kapal milik Anda sudah siap," lanjut pria itu memberi tahu.
Calista menoleh pada Steven tidak mengerti. "Kapal apa, Steve?"
"Kapal pesiar, Nona," jawab pria itu.
"Milikmu, Steve?" tanya Calista tidak percaya.
"Iy---"
Steven berdeham untuk memotong ucapan pria itu. Kemudian menjawab pertanyaan Calista, "Bukan. Aku menyewanya."
"Untuk ... apa?"
"Untuk membuatmu senang."
Calista sedikit tidak suka kalau Steven membuang-buang uang untuk menyewa yacht mewah hanya agar membuat Calista senang. Daripada uangnya dipakai untuk hal tidak berguna seperti menyewa kapal, lebih baik disumbangkan ke panti asuhan, kan?
"Aku tahu kau kaya, tapi---"
"Diam dan mari menuju kapal," ajak Steven menarik tubuh Calista agar mengikutinya.
÷÷÷
Hari semakin sore.
Sementara luxury yacht yang Steven dan Calista naiki masih berada di tengan lautan.
Calista yang baru berganti mengenakan bikini itu menyusul Steven yang sudah berada di dalam kolam di ujung kapal.
Sebelum menceburkan diri ke dalam kolam renang, Calista lebih dulu menikmati melihat matahari yang akan tenggelam di sebelah barat sana, tidak mau melewatkan pemandangan sunset yang indah itu begitu saja.
Steven juga mendapatkan pemandangan yang tak kalah indah dari matahari tenggelam. Jauh lebih indah malahan. Di hadapannya, di ujung kolam yang lumayan jauh dari tempat pria itu berada, Calista berdiri tegap. Cahaya matahari yang kemerah-merahan mengenai seluruh tubuh Calista. Semakin menambah keindahan paras cantik perempuan itu.
Beberapa saat kemudian Calista baru menyadari kalau Steven tengah menatapnya. Calista berdecak keras pura-pura kesal. Kemudian tersenyum dan selanjutnya turun menceburkan diri ke kolam.
Baik Steven ataupun Calista menuju ke tengah. Saling mendekat. Saat sudah tidak ada jarak, keduanya menyatukan kening dan hidung, tersenyum dan saling tatap.
Saat akan mencium Calista, perempuan itu malah menjauh dan mencipratkan air ke arah Steven, lalu tertawa dengan mulut terbuka lebar.
"Jangan bermain-main denganku, Cale," ucap Steven tersenyum sambil berusaha meraih tubuh Calista untuk ia tangkap.
Calista sebisa mungkin menghindar seraya terus mengarahkan air ke wajah Steven. Dan baru tertangkap saat ia sudah terpojok di sudut kolam.
Steven memeluk perut Calista erat dari belakang. Meletakkan dagunya di atas pundak perempuan itu, lalu mengendus-endus pipi kanannya.
"Kau senang?" tanya Steven berbisik.
"Asal bersamamu, aku selalu senang."
"Kau sudah pandai menggombal ya, sekarang."
"Siapa dulu yang mengajarkan?" ujar Calista.
"Yang jelas bukan aku," sahut Steven terkekeh.
Calista mencibir, "Bukan kau apanya?"
"Kau masih kedinginan?" Steven semakin mengeratkan pelukannya saat menyadari Calista menggigil.
"Anginnya terlalu kencang."
"Mau ke dalam?"
"Hm." Calista mengangguk.
Setelahnya Steven mengangkat tubuh Calista tanpa diminta oleh perempuan itu. Calista terkejut tapi tetap membiarkan tubuhnya digendong keluar kolam menuju ke dalam.
Steven ternyata langsung membawa Calista ke dalam sebuah kamar.
"Aku masih basah, Steve. Nanti kasurnya kotor."
Steven tidak mendengarkan ucapan Calista dan malah membaringkan tubuh basah Calista di atas kasur tersebut.
Menyadari tatapan mata Steven kepadanya yang penuh gairah, Calista bertanya, "Kita tidak akan melakukannya di sini, kan?"
Tidak menjawab. Steven justru ikut naik ke atas ranjang untuk mengurung tubuh Calista. Pria yang hanya mengenakan celana pendek itu mendekatkan tubuhnya pada tubuh Calista yang ada di bawahnya. Menghujani tubuh Calista dengan ciuman.
Calista merapatkan bibirnya agar tidak mengeluarkan desahan saat bibir Steven menjelajahi tubuhnya. Steven memang gila! Bagaimana kalau ada yang melihat mereka? Di atas kapal bukan hanya ada mereka berdua, ada beberapa orang lainnya yang mengemudikan kapal tersebut. Dan parahnya kamar yang mereka tempati terbuka---setidaknya Steven harus menutup dulu gordennya.
"Gordennya--- hhh, tutup dulu, Steve." Calista susah payah mengatakan kalimat itu di tengah serangan Steven yang bertubi-tubi.
"Nanti ada yang melihat--- awh!" pekik Calista saat Steven menggigit pinggangnya.
Steven mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyuman. "Tidak akan ada yang melihat. Mereka tidak ada yang berani ke sini."
"Iya, tapi setidaknya tutup dulu gordennya," pinta Calista.
"No." Steven menggelengkan kepala. "Aku ingin tahu sensasi rasanya saat bercinta di tempat terbuka."
Mata Calista melebar namun bibirnya tersungging samar, "Kau gila, ya?"
Berikutnya Steven mengunci mulut Calista dengan memberikan ciuman agar perempuan itu tidak lanjut berbicara.
Masih berciuman. Steven memperdalam ciuman tersebut. Melahap rakus bibir pucat milik istrinya. Tangan Steven tidak diam. Tangannya bergerak untuk melepaskan underwear Calista. Saat sudah lepas, ia membuangnya asal.
Calista menahan napasnya sejenak saat tubuh polosnya diterpa angin malam. Desiran angin laut membuatnya menggigil. Dinginnya menusuk dan memasuki setiap pori-pori tubuhnya.
Mengetahui itu, Steven lebih mendekatkan tubuhnya. Dada keduanya menempel.
"Masih kedinginan?"
"Hm, ya."
"Sebentar lagi kau tidak akan merasa kedinginan."
Calista hanya diam. Memerhatikan Steven yang kini menegakkan badannya. Pipinya tiba-tiba memanas saat melihat tubuh Steven yang kini sama polosnya seperti dirinya.
Steven mendekatkan bibirnya pada telinga Calista, berbisik,
"I will fill you. I wanna feel you."
Calista menegang dengan mata membulat sempurna sebelum akhirnya Steven memulai aksinya hingga Calista mengeluarkan desahan seksinya.
÷÷÷
Ada yang mengganggu pikiran Calista.
Entah karena dirinya yang terlalu overthinking atau bagaimana. Tapi jujur, Calista tidak bisa untuk tidak memikirkan hal tersebut.
Ada yang beda.
Sebenarnya Calista sudah menyadarinya dari lama, tapi ia tidak mau ambil pusing. Namun tetap saja, pada akhirnya Calista jadi memikirkan hal itu---ingin memastikan saja. Semoga apa yang sempat terbesit di pikirannya tidak benar.
Tidak!
Jangan sampai benar!
Calista termenung di atas sofa untuk waktu yang lumayan lama. Hari ini ia malas berbuat apa-apa. Badannya lelah semua. Steven menyerangnya semalaman. Berjam-jam.
Bukan hanya badannya yang lelah, tapi juga otaknya. Beban pikirannya kini bertambah. Memikirkan prasangka negatif yang sangat ingin ia buang jauh-jauh, namun tidak bisa. Belum bisa.
Bagaimana ini?
Calista tidak bisa tenang sebelum memastikan. Sebelum yakin bahwa apa yang ia prasangkakan tidaklah benar.
Ia harus membagi beban pikirannya kepada siapa? Siapa yang layak untuk ia mintai pertolongan?
Calista menoleh ke kanan-kiri dengan waspada. Memastikan tidak ada siapa-siapa di ruang tengah rumah Steven. Untung saja Steven sedang keluar untuk---entahlah, Calista tadi lupa menanyakannya karena Steven terlihat buru-buru. Tapi yang jelas bukan untuk ke kantor, karena baik dirinya ataupun Steven memang belum saatnya untuk kembali bekerja setelah pernikahan mereka. Steven pemilik perusahan tersebut, jadi ia bisa sesuka hati menentukan kapan pun ia dan Calista mulai untuk bekerja lagi.
Setelah dirasa aman, Calista mencari kontak seseorang di ponselnya. Menelepon orang tersebut.
"Halo, Will. Bisakah kita bertemu?"
-
btw aku penasaran bangettt
gimana sih ceritanya kalian bisa nemu cerita gak jelas ini? wkwk
pengen tau aja :v