18+
-
"Kau mengundang William?"
"Eumm, yah."
"Kau tahu kan, kalau aku tidak suka?"
"Karena kau tidak suka, bukan berarti aku ikut tidak suka dan tidak mengundang dia."
"Batalkan. Aku tidak mau melihat wajahnya."
Calista menyipitkan matanya dan mengerutkan kening. Tidak paham dengan jalan pikiran pria yang tengah berdiri sambil menunduk menatapnya ini.
"Tidak bisa," balas Calista enteng seraya mengangkat bahu tidak peduli.
Steven membungkukkan badannya untuk lebih dekat dengan Calista yang sedang duduk dan sibuk pada ponselnya. Kedua tangan pria itu bertumpu pada sofa---berada di sebelah kanan dan kiri tubuh Calista.
"Jangan buat aku mengulangi perintahku, Cale," ujar Steven serius.
Calista mendongak malas. Meletakkan ponselnya lalu mendesah pelan. "Apa yang kau khawatirkan, Steve? tanyanya.
"Kau takut William mengacaukan pernikahan kita lalu membawaku kabur, begitu?" lanjut Calista. "Kau tahu kan, kalau itu sangat tidak mungkin terjadi. Sesuka apa pun William kepadaku, dia tidak mungkin segila itu sampai-sampai menghancurkan pesta kita. William bukan ancaman bagi hubungan kita. Paham? Jadi, berhenti memaksaku untuk melupakan William begitu saja, karena William telah banyak membantuku di masa lalu."
Calista mengangkat jari telunjuknya, "Satu lagi. Aku memang menuruti perintahmu untuk menjaga jarak dengan dia, tapi tidak untuk melupakan dia seolah-olah dia tidak pernah hadir dalam hidupku. William, temanku, oke?"
Steven menjauh sambil mengangkat kedua tangannya ke atas, "Terserah," pungkasnya kemudian berlalu meninggalkan Calista.
Calista terpekur di tempatnya. Menatap punggung lebar Steven yang kini menjauh lalu menghilang. Belum menikah saja mereka berdua sudah sering bertengkar karena pola pikir mereka berdua berseberangan. Bagaimana kalau sudah menikah? Apakah akan ada adu mulut di setiap harinya?
÷÷÷
D-Day.
Wedding Venue, New York, USA | 10.35 AM.
Apa yang lebih mendebarkan selain berjalan di atas karpet merah menuju altar---di mana mempelai pria berdiri dengan tegap menunggu di sana---untuk kemudian sama-sama mengucapkan janji suci di depan ribuan tamu undangan?
Apa yang lebih membuat gugup dari itu?
Sumpah demi apa pun, sekarang ini adalah saat-saat paling mendebarkan sepanjang hidup Calista.
Calista berjalan pelan. Bersama pamannya yang berjalan di sampingnya dengan lengan yang ia peluk. Pamannya menjadi pengganti ayahnya untuk mengantarkannya menuju ke depan. Tubuhnya yang terbalut gaun putih serta riasan wajahnya yang flawless itu membuat semua pasang mata menatapnya. Kagum. Calista terlihat berbeda. Lebih cantik dan dewasa. Auranya memancarkan energi positif yang membuat orang-orang terdekatnya ikut merasa bahagia.
Di tempatnya berdiri, Steven tidak sedetik pun mengalihkan pandangannya dari Calista. Sejak Calista terlihat, pria itu tidak bisa melepas tatapannya, matanya menuju satu titik yang kini juga menjadi perhatian semua orang, yaitu Calista.
"Aku ... gugup," ucap Calista pelan saat sudah berada di dekat Steven.
Kemudian gadis itu berbalik menghadap para hadirin, berdiri persis di samping Steven.
Untuk menghilangkan kegugupan Calista, Steven menggenggam tangan Calista, meremasnya pelan. "Don't be nervous, Princess, I'm with you."
Calista menggigit bibir bawahnya. Menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Mengusir kegugupan.
"Lihatlah, semua pasang mata menatapmu takjub, mereka kagum pada kecantikanmu," beri tahu Steven menghadap depan lalu melirik ke arah Calista lagi.
Bibir merah Calista terangkat sedikit. "Juga kagum pada ketampananmu."
"I know."
Acara inti dimulai. Suasana hening karena semuanya memerhatikan ke depan, pada altar, di mana akan dilaksanakan upacara suci perkawinan.
Selesai menjawab pertanyaan Imam, keduanya berhadap-hadapan. Berjabat tangan kanan. Imam meletakkan stola di atas jabatan tangan keduanya. Berikutnya mereka berdua akan mengucapkan janji masing-masing.
Steven memulai,
"Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, dan para saksi. Saya, Steven Bennet, dengan niat yang suci dan ikhlas hati memilihmu, Calista Lim, menjadi istri saya, pendamping hidup saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidup saya."
Calista membalas,
"Di hadapan Tuhan, Imam, para orang tua, dan para saksi. Saya, Calista Lim, dengan niat yang suci dan ikhlas hati memilihmu, Steven Bennet, untuk menjadi suami saya, pasangan hidup saya. Saya berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit, dengan segala kekurangan dan kelebihanmu. Saya akan selalu mencintai dan menghormatimu sepanjang hidup saya."
Setelah penerimaan kesepakatan perkawinan, Imam melakukan pemberkatan, setelah itu memerciki kedua cincin yang dibawa oleh Stephanie di atas baki menggunakan air suci sebelum mempersilakan kedua mempelai untuk secara bergantian mengambil cincin tersebut dan memasangkannya.
Cincin telah terpasang pada jari keduanya. Steven dan Calista saling pandang seraya mengembangkan senyuman. Tatapan keduanya sama-sama dalam. Berikutnya mereka berdua mendekatkan wajah untuk melakukan ciuman.
Tepuk tangan riuh dari tamu undangan terdengar. Kedua orang tua Steven yang berada di tempat paling dekat dengan altar tersenyum bahagia dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan nenek Calista sedari awal upacara sudah menumpahkan cairan beningnya, terharu.
÷÷÷
"Selamat."
"Selamat kalian berdua."
"Cepat berikan aku momongan."
Steven dan Calista hanya menanggapi ucapan Nenek dengan kekehan.
"Sini, aku ingin memeluk putri baruku," kata Jessica lalu memeluk Calista penuh sayang.
"Semoga bahagia, Cale," ucap Roxanne seraya memeluk saudarinya.
"Pada akhirnya kau menikah juga kan, Steve? Dulu kau sesumbar tidak mau menikah sampai waktu yang lama, tapi yang terjadi justru sebaliknya."
Steven menanggapi ucapan Nathan dengan senyum tipis, lalu mengedik.
"Omong-omong, selamat, Bro. Aku bangga karena ternyata kau tidak mengidap gamophobia seperti yang aku kira sebelumnya," kekeh Nathan seraya merangkul sahabatnya itu.
"Sialan," balas Steven ikut terkekeh.
Selanjutnya, Nuel bersama Lalice menghampiri mereka, diikuti oleh William di belakang.
Eskpresi Steven yang mulanya bahagia itu berubah jadi masam. Calista menyadari perubahan itu, tapi ia memilih diam dan tersenyum kepada mereka.
"Jangan lupa untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Nuel setelah kalian," ceplos Lalice.
"Wow, kapan?" tanya Calista pura-pura menanggapi dengan serius.
"Secepatnya, ya, kan?" balas gadis itu mendongak pada Nuel dan mengangkat alisnya.
Nuel tidak menanggapi.
"Hei, Cale, selamat," ucap William mengulurkan tangannya.
"Terima kasih," balas Calista menerima uluran tangan William.
"Selamat, Steve." William ganti mengulurkan tangannya pada Steven.
Steven hanya melihat tangan William yang terulur tanpa ada niatan menyambut.
"Steve," bisik Calista, menyuruh Steven untuk menerima jabatan tangan dari William.
Bukannya menurut, Steven justru berkata kepada William, "Padahal aku sudah menyuruh Calista agar tidak mengundangmu. Kau tahu? Wajahmu merusak pemandangan di pesta pernikahanku."
"Sayangnya Calista tetap mengundangku." William menarik tangannya lalu mengangkat bahu.
"Because I'm ... special for Calista?" lanjut William menyunggingkan senyum.
Steven diam sejenak seraya menjatuhkan tatapan dingin kepada William. Setelahnya ia berkata, "Bukan, tapi karena kau adalah figuran yang hanya jadi pelengkap dalam cerita kami berdua."
"Dan kau villainnya?" tantang William.
"Di banyak cerita, villain selalu berakhir kalah dan menyedihkan," lanjutnya.
"Tidak juga. Masih banyak cerita yang tokoh jahatnya berakhir menang dan bahagia. Lagi pula, kita tidak sedang berada dalam cerita fiksi. Kita berada di dunia nyata."
William tersenyum miring dan menyahut, "Secara tidak langsung kau mengakui bahwa dirimu adalah tokoh jahatnya."
Tatapan mata Steven menajam pada William.
Calista yang tidak tahan melihat perselisihan di antara mereka berdua segera menengahi. "Emm, aku dan Steven akan segera kembali," pamit Calista kemudian menarik lengan Steven untuk turun dan menuju salah satu ruangan.
"Jangan membuat kekacauan di pesta pernikahan kita, Steve." Calista membuka suara saat sudah berada di dalam sebuah ruangan.
"Seharusnya kalimat itu kau ucapkan kepada William."
"Kau yang memulainya."
"Itu karena dia selalu memerhatikanmu. Dan aku tidak suka itu."
"For God's Sake. Semua orang memerhatikan kita berdua, memerhatikan aku dan juga dirimu."
"William hanya memerhatikanmu," kilah Steven.
"Iya, oke. Lalu, kau cemburu hanya karena dia memerhatikanku?"
"Dia terang-terangan menyukaimu, Cale."
"Terus kenapa? Selama aku tidak balik menyukainya, seharusnya tidak jadi masalah, bukan?"
"Kau tidak mengerti."
"Aku memang tidak mengerti jalan pikiranmu, Steve. Tapi, tolong, jangan kekanak-kanakan hanya karena William menyukaiku. Tidak perlu khawatir aku akan menyukainya juga, karena itu tidak mungkin. Aku hanya menyukaimu," jelas Calista.
Steven memejamkan mata sebentar lalu mengangguk kecil. "Baiklah. Aku minta maaf."
Tersenyum, Calista mengangkat sebelah tangannya kemudian ia tempelkan pada pipi Steven. Ia elus-elus.
"Ini adalah hari bahagia kita."
"Hmm."
Steven bergerak mendekat untuk mencumbu Calista, namun gadis itu menahan. "Kenapa?"
"Nanti kita terlihat berantakan. Tidak sabarkah menunggu nanti saat acara sudah selesai?" goda Calista kemudian berlalu keluar.
÷÷÷
Baccarat Hotel & Residences, New York, USA | 07.50 PM
"Are we married yet?" tanya Calista setelah mendudukkan dirinya di atas kasur hotel.
Steven yang baru saja menanggalkan jasnya menyisakan kemeja yang kancingnya telah terbuka itu mendekat pada Calista. Menunduk. "Rasanya seperti mimpi, bukan?" tanyanya rendah.
"Hm, iya," balas Calista pelan. Ia merebahkan tubuhnya namun tetap mengunci tatapan Steven.
Steven terlihat seksi dengan kemeja terbuka memperlihatkan perut dan dadanya. Tatapan Calista sayu. Jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya. Oksigen di sekitarnya seolah habis karena suasana tiba-tiba terasa pengap. Apakah memang seperti ini suasana pada saat malam pertama?
Calista menggigit bibir bawahnya, tanpa sadar ia menciptakan aura seduktif, membuat Steven menatap wajahnya lamat-lamat. Lumayan lama.
Tapi, kenapa Steven tidak segera menyerang Calista? Padahal gadis itu sudah sangat menginginkannya.
"Aku mandi dulu," kata Steven.
Calista membuang napas kasar, sedikit kecewa.
"Tunggu, ya." Pria itu mencium dahi Calista sebelum akhirnya berjalan menuju kamar mandi.
Calista jadi senyum-senyum sendiri sambil menggigiti ujung bantal. Merasa gemas.
÷÷÷
Steven keluar dari kamar mandi, lalu mendapati keadaan kamar sudah temaram. Hanya satu lampu yang berada di atas meja yang menyala.
Dengan hanya berbalut handuk di pinggangnya, Steven mendekat pada ranjang. Calista di atas sana. Memainkan ponsel. Belum menyadari bahwa Steven sudah selesai mandi dan kini menuju ke arahnya.
"Huh? Sudah selesai?" tanya Calista ketika Steven menaiki ranjang.
"Giliranku untuk mandi kalau begitu--- eh?!"
Calista yang sudah bangkit dan ingin turun dari ranjang itu ditarik oleh Steven hingga kembali duduk. Perutnya dipeluk oleh Steven dari belakang, ia duduk di pangkuan pria itu.
"Tidak perlu," bisik Steven, membuat bulu kuduk Calista meremang.
"Tapi, aku kotor."
"Tidak masalah. Kau masih wangi."
Steven menciumi leher dan rahang Calista. Tangannya yang satu masih memeluk perut gadis itu, sementara tangan satunya mencoba melepaskan atasan milik Calista. Karena perlakuan Steven, Calista mendesah, namun sebisa mungkin ia tahan.
"Jangan ditahan. Mendesahlah. Aku ingin mendengarkan suara desahanmu yang merdu."
Atasan Calista berhasil Steven lepas, menyisakan bra warna hitamnya. Steven membalik tubuh Calista agar menghadap pada dirinya. Calista memposisikan tubuhnya di depan Steven senyaman mungkin. Duduk di atas paha Steven dengan kedua kaki melingkar pada pinggang pria itu. Kini mereka bisa melihat wajah masing-masing yang merona.
"Keluarkan saja suaramu," pinta Steven kemudian membuat tanda di atas dada Calista. Tangannya mengelus-elus punggung halus Calista, lalu berhenti pada kaitan bra, melepaskan kaitan tersebut.
Calista mendongak dan mendesah. Ia memejam. Menikmati setiap sentuhan, elusan, dan ciuman yang Steven berikan.
Steven meraih dagu Calista untuk ia dekatkan pada wajahnya. Ia memiringkan kepala, lalu mengecup bibir tipis milik gadisnya. Melumat pelan. Tangannya masih aktif bergerak, membuat Calista mendesis di tengah-tengah ciuman mereka.
Berhenti sejenak. Keduanya menghirup udara banyak-banyak dengan dada naik turun. Lagi, Calista menatap Steven dengan mata sayunya. Darah Steven berdesir hangat. Gairahnya semakin memuncak melihat pemandangan indah di hadapannya.
Calista memasang wajah memelas, meminta Steven memulai lagi, Calista ingin lebih. Namun Steven tak kunjung bergerak juga, tak kunjung kembali menyentuhnya. Ia masih menikmati melihat wajah serta tubuh Calista yang terlihat sangat jelas meskipun cahaya di dalam kamar remang-remang.
Karena Steven hanya diam, Calista bergerak, memulai. Ia mendorong dada Steven agar berbaring di bawahnya.
Calista mencium bibir Steven agak lama. Turun ke rahang, lalu ke lehernya, menciptakan kissmark. Setelah puas pada leher dan pundak Steven, Calista turun untuk mengecupi dada dan perut pria itu. Reaksi Steven hanya memejam sembari mengerang tertahan. Ada sensasi luar biasa saat bibir basah Calista menjelajahi tubuhnya, menghisap kulitnya, membuat banyak tanda merah di sana.
Berikutnya Steven membalik tubuh mereka. Ia berada di atas dan Calista di bawah. Ia kembali memimpin. Steven mencium bibir Calista lagi. Kali ini melumatnya rakus. Lidahnya melesak masuk pada mulut Calista, melilitkan lidah mereka berdua dan saling bertukar saliva.
Calista mendesah saat tangan Steven mengelus paha bagian dalamnya. Menyingkap roknya ke atas. Tangannya semakin naik, lalu berhenti di sana. Desahan gadis itu semakin keras, membuat Steven semakin bersemangat.
"Kau siap, Cale?" tanya Steven dengan suara serak. Menatap Calista penuh damba. Memandangnya penuh cinta.
Calista mengangguk pelan. Lalu menutup matanya saat Steven melepaskan handuk yang semula melilit pada pinggang pria itu.
Kedua tangan Calista meremas seprai kasur kuat-kuat. Ia takut sekaligus deg-degan.
"Kau bisa mencakar punggungku untuk melampiaskan rasa sakitmu nanti, Cale," ujar Steven sebelum memulai aksinya menuju inti.
Calista mengangguk lalu memeluk Steven. Setelah itu bibirnya terbuka, dadanya membusung ke atas dan kepalanya mendongak. Benar, ia mencakar Steven dengan kuku-kukunya yang panjang---belum sempat ia potong. Punggung Steven tergores cukup parah dan mengeluarkan darah karena cakaran dari wanita itu.
Desahan Calista memenuhi kamar, menjadi nada paling merdu yang pernah Steven dengar.
-
ada yang mau ucapin selamat atas pernikahan stevcal? :-