kasih tau kalo ada typo yaa
happy reading
÷÷÷
Nathan tidak datang.
Padahal Roxanne sudah menunggunya, menantinya, lama. Dia juga sudah menghubungi Nathan, namun tidak diangkat, sambungan berikutnya teleponnya tidak aktif. Padahal tadi Nathan bilang akan kembali ke sini setelah menyelesaikan pekerjaannya. Tapi mana? Dia tidak juga kunjung datang.
Roxanne beralih untuk menghubungi Calista. Berharap saudarinya itu sedang bersama Nathan sekarang.
"Cale," sapanya setelah panggilannya diangkat oleh Calista.
"Hai. Keadaanmu baik-baik saja, kan?"
"Nathan di mana?" Roxanne membalas dengan pertanyaan.
"Sepertinya masih berada di ruangannya."
"Boleh berikan ponselmu ke dia. Sebentar saja. Kumohon."
Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Calista menjawab, "Oke."
Roxanne menunggu dengan perasaan gelisah. Ia menggigit bibir bawahnya resah. Berjalan mondar-mandir. Baru berhenti berjalan saat terdengar suara Calista memanggil nama Nathan.
Mereka terdengar berbincang. Sayangnya Roxanne tidak bisa menangkap dengan jelas pembicaraan mereka berdua.
"Eum, Roxanne. Maaf. Nathan masih menyelesaikan pekerjaannya. Dia belum bisa berbicara denganmu."
"Sebentar saja, Cale, aku mohon." Nada suara Roxanne melemah, memelas supaya Calista kembali berbicara dengan Nathan untuk membujuk pria itu agar mau bicara dengan Roxanne.
"Nath, sebentar saja," kata Calista kepada Nathan di seberang sana.
Beberapa saat kemudian suara Nathan terdengar.
"Maaf---"
"Nath!" seru Roxanne memotong ucapan Nathan.
"Nath, aku tahu kau pasti marah besar, kau kecewa, sedih. Tapi kau menahannya, kan? Kau tidak menunjukkannya kepadaku karena kondisiku, kan? Kau berpura-pura baik-baik saja padahal aslinya tidak. Kenapa seperti itu? Kau mendiamkanku dan menghindariku. Kau juga tidak kunjung datang ke sini. Itu membuatku semakin tidak bisa tenang, Nath, kau tahu?" berondong Roxanne panjang lebar.
"Iya, aku sedih, kecewa, aku juga ingin marah, tapi itu tidak ada gunanya."
Hati Roxanne tersayat mendengar suara Nathan yang melirih, lemah. Ini semua memang salahnya. Dia ceroboh! Sangat ceroboh. Bisa-bisanya ia kecolongan. Bisa-bisanya ia mengandung anak dari lelaki lain. Bodohnya dia.
Menelan saliva, Roxanne menguatkan diri untuk tidak mengeluarkan air matanya lagi. Di satu sisi, ia pantas untuk ditinggalkan oleh Nathan. Namun di sisi lain, Roxanne tidak sanggup berpisah dari Nathan. Tidak! Ditinggalkan oleh Nathan adalah mimpi terburuk sepanjang hidupnya.
"Aku bingung ... hubungan kita akan dibawa ke mana setelah ini?"
"Jangan tinggalkan aku, Nath, kumohon. Aku tidak bisa jauh darimu. Please, jangan punya pikiran untuk berpisah dariku," pinta Roxanne.
Roxanne tahu dia memang egois, sangat. Dia meminta Nathan untuk tetap bersamanya meskipun dia telah menyakiti pria itu.
"Kau mengandung anak dari pria lain, dan kau masih mengharapkan diriku untuk tetap mempertahankanmu?"
"Kalau keberadaan bayi ini membuatmu meninggalkanku, lebih baik aku aborsi saja."
"Jangan gila, Roxanne!" sentak Nathan marah.
"Aku tidak mau memiliki anak dari pria lain. Aku hanya ingin memiliki anak darimu, Nath," sesal Roxanne.
Badannya merosot di samping ranjangnya. Tatapannya kosong ke depan. Air matanya menggenang.
"Please, ke sini. Aku membutuhkanmu," lanjut Roxanne dengan cairan yang kini meluncur bebas di pipinya.
Belum ada jawaban dari Nathan. Hal tersebut membuat Roxanne semakin bersedih. Sebelah tangannya meremas ujung selimut kuat-kuat.
"Kalau kau tidak ke sini, aku benar-benar akan berbuat nekat."
Lalu Roxanne mematikan sambungan teleponnya.
÷÷÷
Mendengar ucapan terakhir Roxanne, Nathan buru-buru bangkit. Mengembalikan ponsel Calista, lalu melangkah lebar keluar dari ruangannya---mengabaikan Calista yang bertanya apa yang sedang terjadi, dia ngin menuju ke tempat Roxanne secepatnya.
Di dalam mobil, Nathan mencoba menghubungi Roxanne, tapi tidak bisa, tidak diangkat. Dengan perasaan gelisah ia menginjak gas mobilnya, mengendarai mobil tersebut dengan kecepatan penuh.
Tak memakan waktu lama untuk sampai di apartemen Roxanne. Nathan langsung masuk begitu memasukkan kode pintu apartemen. Melangkah cepat dan meneriaki nama Roxanne.
"Roxanne!"
Kepalanya celingak-celinguk. Kakinya membawa tubuhnya melangkah ke setiap ruangan. Kamar, dapur, kamar mandi, tapi nihil. Di mana Roxanne? Jangan bilang dia benar-benar nekat pergi ke dokter kandungan untuk menggugurkan janinnya.
Atau parahnya, perempuan itu justru menyakiti dirinya sendiri.
"Roxanne!" panggil Nathan lagi.
Setelah itu terlihat Roxanne keluar dari ruangan kecil tempat penyimpanan anggur. Keadaan perempuan itu berantakan. Matanya sembab. Rambutnya acak-acakan. Langkahnya gontai. Dia mabuk. Entah berapa botol alkohol yang telah ia minum. Roxanne benar-benar nekat mencelakai dirinya sendiri dan juga janinnya.
Nathan mendekat dan meraih kedua pundak Roxanne. Berikutnya, Roxanne pingsan.
÷÷÷
"Dari ruangan Nathan lagi?"
Calista mendongak dan mendapati Steven berdiri di ambang pintu masuk ruangannya. Gadis itu berdecak sekali, lalu tidak peduli dan lanjut fokus pada tugasnya.
Steven mendekat. Mendudukkan dirinya di kursi depan meja Calista. Berhadap-hadapan dengan gadis itu.
"Setelah mengetahui kalian berdua terlalu intens hingga berpelukan tadi, aku memutuskan untuk melarangmu ke ruangan Nathan sendirian."
"Apa?!" Calista membuka mulutnya tidak percaya. "Kau sudah tidak waras, ya? Kenapa sampai separah itu sih peraturanmu? Gila."
Balasan Steven hanya mengangkat bahunya sembari menatap Calista serius.
"Lalu, saat aku ingin membahas pekerjaan dengan Nathan bagaimana? Apakah harus via daring atau aku harus membawa semua karyawan wanita di perusahaan ini untuk menemaniku ke ruangan Nathan?" ketus Calista merasa dongkol luar biasa.
"Bisa bersamaku," balas Steven enteng.
Calista ingin mengumpat, tapi ini di kantor, dan posisinya masih menjadi bawahan Steven. Jadi sebisa mungkin ia tahan.
"Andai kita sedang berada di luar kantor, sudah dari tadi aku memukul kepalamu supaya otakmu kembali normal."
"Percayalah, Cale, aku cuma tidak ingin kau dekat dengan pria lain."
"Ini Nathan, Steve, ya Tuhan."
"Sama saja."
"Padahal dulu kau tidak masalah saat aku dekat-dekat dengan Nathan. Kau tidak marah saat aku berduaan dengannya. Tapi kenapa sekarang jadi berubah seperti ini? Iya, kuakui kau memang posesif akut, tapi kenapa Nathan juga kau larang berdekatan denganku?"
"Mungkin ... karena kita pernah berpisah lumayan lama," jawab Steven terdengar ragu-ragu.
"Setelah apa yang kita lalui, aku jadi semakin takut kalau kehilangan dirimu," lanjut Steven dengan tatapan dalam pada Calista.
Calista sekarang pahan apa yang menyebabkan Steven semakin mengekangnya. Mereka berdua telah banyak melalui masalah. Konflik terus-menerus datang bagai gelombang. Mulai dari Roxanne dan Sonya yang menjebak pria itu. Berlanjut dengan putusnya mereka berdua. Lalu pribadi lain Steven muncul, menggantikan Steven yang sekarang, meskipun hanya sementara.
Pasti itu semua yang telah menjadikan Steven seperti ini; semakin takut kehilangan Calista, semakin posesif kepadanya.
Tapi tetap saja. Kenapa Nathan juga dibawa-bawa? Setidak percaya itukah Steven kepada dirinya dan Nathan?
"Tidak lagi, Cale. Aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi. Akan aku singkirkan semua hal yang berpotensi untuk kembali menghancurkan hubungan kita, meski sekecil apa pun kemungkinannya."
÷÷÷
"Nath ...," panggil Roxanne ketika sadar.
"Iya. Aku di sini."
"Kau berhak marah. Tapi kumohon jangan pernah tinggalkan aku." Roxanne geleng-geleng pelan dengan wajah memelas. Ia menggenggam telapak tangan Nathan.
"Kau sangat egois kalau begitu," balas Nathan.
"Tapi ... bodohnya aku sudah jatuh terlalu dalam kepada dirimu, aku terlalu mencintaimu. Aku juga tidak ingin meninggalkanmu. Aku ingin tetap bersamamu. Meski faktanya kau mengkhianatiku, Roxanne," lanjut Nathan.
"Aku sama sekali tidak mengkhianatimu. Aku saat itu tidak sadar karena pengaruh alkohol. Aku juga tidak ingat apa yang telah Gabriel lakukan kepadaku. Nath, percayalah, aku juga sangat mencintaimu."
"Jangan punya pikiran untuk menggugurkan janin itu."
"Tapi aku tidak menginginkannya," balas Roxanne sedih seraya geleng-geleng pelan.
"Kumohon, janin itu tidak berdosa, biarkan dia hidup. Aku ..., aku siap untuk jadi ayahnya."
Ekspresi wajah Roxanne berubah. Dia mengembus napas lega mendengar ucapan Nathan. Berikutnya dia menautkan telapak tangan mereka berdua. Tersenyum, dan dibalas senyum tipis oleh Nathan.
÷÷÷
"Di mana?"
"Toko buku," jawab Calista kepada Steven yang saat ini meneleponnya.
"Dengan?"
"Sendiri. Dengan siapa lagi?"
"Kenapa tidak mengajakku?"
"Aku tahu kau pasti sibuk."
"Kata siapa?"
"Kau masih lembur di kantor kan, sekarang?"
"Well, ya. Tapi kalau kau menyuruhku untuk menemanimu, akan kutinggalkan pekerjaanku."
Calista mengambil sebuah buku di rak terdekat, mengambil acak, lalu membalik untuk membaca sinopsisnya. Memilih untuk tidak membalas ucapan Steven.
"Hei, kau mengabaikanku?"
"Huft, aku sedang konsentrasi untuk memilih buku. Kalau tidak penting, aku tutup, ya?"
"Sepertinya akhir-akhir ini kau menjaga jarak dariku, kenapa?"
"Tidak. Aku tidak menjaga jarak."
"Kau pikir aku tidak menyadarinya?" tanya Steven.
Calista mengembalikan buku fiksi tersebut ke tempatnya sambil menggigit bibir. Apakah kentara sekali kalau ia tengah menjaga jarak dari Steven?
"Di kantor kau semakin jarang ke ruanganku. Saat aku ke ruanganmu, kau selalu tidak ada. Apakah itu hanya kebetulan? Tapi kau juga selalu pulang dari kantor lebih awal, sengaja agar tidak pulang bersamaku, kan?"
"Kau sering lembur, Steven. Apa aku harus menunggumu hingga selesai lembur? Bisa mati bosan aku," ucap Calista dengan rasa kesal yang sebisa mungkin tidak ia tunjukkan.
"Bukan hanya itu. Saat aku mengajakmu untuk keluar, kau selalu memberikan alasan tidak bisa."
Calista membuang napas lelah, "Oke. Aku memang sengaja menjaga jarak darimu."
"Kenapa?"
"Ingin menghukummu," jawab Calista.
"Menghukum? Untuk kesalahan yang mana?"
"Untuk sifat posesifmu yang semakin menjadi-jadi."
Calista mendengar suara napas Steven yang berat pada sambungannya. Diam sejenak. Baik Calista ataupun Steven belum kembali membuka suara.
Beberapa hari terakhir ini, gadis itu sengaja menghindari Steven, tidak menghubungi ataupun berinteraksi apabila tidak penting. Hal tersebut ia lakukan supaya Steven sadar kalau sifatnya itu benar-benar tidak baik dan terlalu mengekang Calista.
Calista tidak masalah bila Steven melarangnya berinteraksi secara berlebihan dengan pria lain. Tapi tentu saja, Nathan adalah pengecualian. Nathan sudah Calista anggap seperti saudaranya sendiri. Hubungan Calista dan Nathan seperti halnya hubungan Steven dan Nathan, dekat seperti saudara, tidak lebih.
"Kalau begitu, aku juga akan menghukummu."
"Hah? Karena apa?"
"Karena sudah menghindariku."
"Tidak bisa," tolak Calista.
"Kenapa tidak?"
"Karena aku tidak salah, kau yang salah!" tegasnya.
"Terlambat. Aku sudah berada di sini untuk memberimu hukuman."
"Ap---pa ...?" Calista melebarkan mata saat tahu Steven kini berjalan ke arahnya. Sejak kapan?
Saat sudah dekat, Steven meraih dagu Calista agar mendongak, "Kenapa kaget?" tanyanya dengan suara khas.
Belum sempat menjawab, Calista sudah dibawa menuju ujung rak buku, punggungnya membentur rak sementara kedua tangan Steven mengurungnya.
"Kau mau ap---"
Perkataan Calista tidak berlanjut karena Steven memotongnya dengan ciuman. Calista yang syok hanya bisa diam dengan kedua mata melebar.
Steven melumatnya lembut. Tak selang beberapa lama sebelah tangannya menyelinap masuk ke atasan Calista, mengelus-elus pinggangnya. Bibir Steven berpindah ke rahang lalu turun ke leher.
"Steve ..., kita di tempat umum, jangan gilaa ...." Calista benar-benar lemah kalau sudah diperlakukan selembut ini oleh Steven. Apalagi setelah berhari-hari menghindarinya, yang mana sudah lumayan lama ia tidak mendapat sentuhan dan ciuman dari Steven. Tapi masalahnya, mereka kini sedang berada di toko buku. Bagaimana kalau ada yang melihat mereka berdua berperilaku mesum seperti ini?
"Tidak ada yang peduli kita sedang apa. Mereka tidak akan menghentikan kita," balas Steven.
"Tapi---hhh, aku yang malu."
Steven menarik dirinya, membuat Calista bisa kembali bernapas dengan lancar. Steven meletakkan kedua tangannya di samping kanan-kiri Calista, mengurung gadis itu lagi. Tatapannya penuh arti. "Suka dengan hukuman dariku?"
Calista membuang muka dengan pipi merah merona. Mengetahui itu Steven mengulas seringai tipis.
"Kalau di sini kau malu, kita bisa lanjut di mobil saja."
-