Nathan memasuki ruang kerja Steven dengan beberapa berkas di tangannya. Air mukanya datar, entah apa yang sedang pria itu pikirkan. Mungkin ia masih terhanyut dalam kesedihan mengenai kondisi Roxanne. Hingga sekarang, Roxanne belum juga mendapatkan pendonor. Padahal pihak rumah sakit, dirinya, Steven juga Calista sudah berusaha keras mencari pendonor untuk perempuan itu.
Saat sudah berada tepat di depan meja Steven, Nathan melempar pelan berkas tersebut di atas meja Steven, membuat pria itu mendongak.
"Apa itu?" tanya Steven, melihat pada berkas dan pada Nathan bergantian.
"Sejak kapan kau berbisnis berlian ilegal dan obat-obatan terlarang?" tanya Nathan serius.
"Kau dapat ini dari mana?" Steven mengambil dokumen rahasia tersebut, membukanya.
"Itu file dari SSD-mu lalu aku print out. Katakan, sejak kapan kau bisnis barang-barang seperti itu?" ulang Nathan.
Diam sejenak. Steven kembali meletakkan berkas tersebut. Nathan menunggu jawaban dari Steven yang masih bungkam itu. Hingga akhirnya Calista masuk, membuat kedua pria itu mengalihkan atensi kepada gadis itu dengan wajah yang sama-sama datar.
Tentu saja, Calista merasa heran. Dengan ekspresi penuh tanya, gadis itu mendekat.
"Ada apa?"
"Tanyakan saja pada Steven."
"Hm?" Alis Calista terangkat. Lalu ia beralih pada Steven, meminta penjelasan.
Balasan Steven hanya mengedikkan kedua bahunya, semakin membuat Calista penasaran apa yang tengah mereka berdua bicarakan.
"Steven diam-diam berbisnis berlian ilegal dan narkoba," beri tahu Nathan pada akhirnya.
Sesaat, Calista diam. Matanya ganti memandang pada Steven lagi. Pria itu geleng-geleng pelan, membuat Calista mengerti. Ya, tentu saja ia paham. Bisnis tersebut sepertinya masih berjalan di bawah kendali kaki tangan Steven---maksudnya, Steven yang itu, bukan yang sekarang.
Calista mengembus napas pelan. Bagaimana cara ia menjelaskannya kepada Nathan? Pria itu belum tahu mengenai masalah itu, sama sekali. Dari mana ia mulai?
Berdeham, lalu Calista membuka suara, "Ceritanya panjang. Tapi, intinya, bisnis itu bukan Steven yang mengendalikan. Tepatnya, bukan Steven yang saat ini bersama kita."
"Wait, what? Kau bicara apa?"
"Steven punya alter ego."
"Hah?"
"Aku juga tidak menyangka sebelumnya. Tapi memang benar seperti itu. Steven memiliki pribadi lain yang kejam, sisi gelapnya. Eum, bukan berarti pribadi aslinya tidak kejam sih," sindir Calista sambil tersenyum samar melirik pada Steven.
"Terima kasih atas pujiannya, Cale," sahut Steven dengan nada mencibir.
"Intinya seperti itu, Nath. Kedua kepribadian itu sempat bertukar lagi, sebentar. Membuat hidupku serasa berada di neraka," geram Calista ketika mengingat hari-hari bersama jelmaan iblis itu.
"Pribadi itu memiliki ambisi untuk menjadi orang nomor satu di kota ini. Apa pun ia lakukan, termasuk menjadi ketua mafia di kota ini dan memiliki bisnis ilegal. Kau tahu bagian terparahnya? Dia mengurungku di dalam kastil terkutuk yang ia dapatkan setelah membunuh pemimpin mafia sebelumnya."
Terlihat dari wajah Nathan menunjukkan bahwa pria itu kaget sekaligus tidak percaya dengan ucapan Calista. Sulit ia percaya.
"Kenapa kau tidak memberi tahuku dari dulu, Steve?" tanya Nathan pada Steven yang hanya diam saja.
"Aku juga … tidak tahu."
"Iya, Steven juga tidak tahu sebelumnya. Kata William---"
"William?" potong Nathan dengan nada sedikit murka mendengar nama William.
Karena yang ia tahu, William adalah dalang utama dari terbunuhnya Anna, kekasih Steven yang dulu. Yang membuat Steven berlarut-larut dalam kesedihan hingga waktu yang lama. Yang membuat Steven tidak mau lagi berhubungan serius dengan wanita---sebelum mengenal Calista. William adalah musuh Steven dan tentu saja menjadi musuh Nathan.
"Bukan William yang telah membunuh Anna," ujar Steven.
"Tapi aku," tambahnya."
"Fakta apa lagi ini?" ucap Nathan pelan. Semakin sulit ia percaya.
"Iya, itu, sisi lain dari Steven yang dulu membunuh Anna. Kalian selama ini sudah salah paham tentang William. Dia memang salah karena telah berselingkuh dengan Anna hingga Anna hamil, tapi mereka berdua saling cinta," jelas Calista panjang.
Mendengar penjelasan itu, Nathan membuang napas panjang. Fakta yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya. Untung saja, dulu mereka berdua tidak jadi membunuh William. Kalau jadi, Nathan akan menanggung dosa besar karena telah membunuh orang yang tidak bersalah.
÷÷÷
"Kau tidak ada niatan untuk membubarkan komplotan mafia itu?" tanya Calista setelah Nathan keluar dari sana.
Steven mengangkat pundaknya, "Menurutku itu tidak terlalu penting untuk kuurusi."
"Mereka merugikan banyak orang."
"Selama tidak merugikan aku ataupun dirimu, aku tidak peduli."
Calista memutar bola matanya malas. Dikira dunia hanya milik mereka berdua apa?
"Anyways, ada perlu apa kau ke sini?" tanya Steven.
"Apa aku harus memiliki alasan ketika ingin datang ke ruangan kekasihku sendiri?"
Calista tersenyum miring sambil berjalan pelan memutari meja, mendekat pada Steven yang masih duduk di atas kursinya. Steven ikut tersenyum miring. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, wajahnya mendongak menatap ke arah Calista---pada tubuh dan wajah gadis itu yang selalu terlihat cantik di matanya, sangat cantik malahan.
Tiba-tiba Calista mendudukkan dirinya di atas paha Steven. Duduk menyamping dengan tangan melingkar di leher pria itu.
"Sudah lama kita tidak seintim ini," kata Calista, semakin mendekatkan tubuhnya pada tubuh Steven.
Mata rusanya menumbuk tepat pada iris hazel milik Steven. Dalam. Penuh arti. Terakhir mereka bermesraan adalah sebelum Roxanne masuk rumah sakit, sekitar dua minggu lalu.
"Kau merindukan sentuhanku?" tanya Steven dengan suara berat, terdengar sangat indah di telinga Calista.
Iya, Calista merindukan sentuhan Steven pada tubuhnya, sangat.
"Iya. Dan juga kecupan dari bibirmu," balas Calista seraya mengusap-usap bibir tipis milik pria itu.
Calista mendekatkan wajahnya pada wajah Steven, hendak menciumnya. Namun Steven menahan, membuat Calista melipat dahinya heran. "Kenapa?"
"Jangan di sini, nanti ada yang datang dan mengganggu kita. Di dalam saja." Steven melirik pada pintu yang menuju ruangan pribadinya.
Senyuman kembali terbit di bibir Calista. Berikutnya, ia merasakan tubuhnya terangkat, Steven menggendongnya. Tubuhnya dibawa Steven menuju ruangan itu, ruangan yang dulunya menjadi saksi bisu ungkapan cinta Steven kepada Calista.
Mengingat itu, Calista tertawa dalam hati. Bisa-bisanya Steven menyatakan cinta kepada Calista padahal mereka baru saja kenal. Apalagi saat itu Steven dalam keadaan mabuk, yang mana itu membuat Calista semakin sulit untuk percaya.
Tapi memang benar. Cinta datangnya tiba-tiba, tidak terduga. Juga kita tidak bisa menentukan harus jatuh cinta kepada siapa. Calista yang awalnya menolak Steven mentah-mentah, berjanji pada diri sendiri untuk tidak jatuh dalam genggaman Steven, akhirnya malah sebaliknya. Ia jatuh juga. Jatuh sedalam-dalamnya.
Steven meletakkan tubuh Calista di atas sofa. Menindihnya. Matanya tidak sedetik pun terlepas dari melihat wajah ayu di hadapannya. Lalu dengan cepat ia segera melumat bibir yang selalu ia rindukan itu. Mengecupnya atas-bawah, memperdalam, lalu menggigit.
Setelah beberapa saat, Steven menyudahi ciumannya. Napas keduanya terengah-engah karena ciuman lama tersebut. Mereka memasok oksigen sebanyak-banyaknya, dengan mata yang saling memandang.
"Touch me wherever you want," ujar Calista dengan napas tersengal-sengal.
"Anywhere?" tanya Steven.
"Ye---"
"Sampai ke dalam-dalamnya?"
"No! Hanya bagian atas, oke?"
"Kau tadi bilang bahwa aku boleh menyentuhmu di mana pun aku mau."
"Ralat. Hanya bagian atas. Kalau aku membiarkanmu menyentuhku semaumu, nanti kau keblablasan. Paham?"
Meskipun sedikit kecewa, tetapi Steven tetap mengukir senyuman. Bisa kembali menyentuh dan mencium Calista sudah merupakan anugerah terindah. Sebenarnya ia masih kecewa karena lamarannya belum dijawab sejak saat itu. Namun ia paham kalau Calista tidak mau menerima lamarannya sebelum Roxanne mendapatkan donor jantung. Calista tidak mau menikah dengan Steven sebelum Roxanne sembuh.
"I'll make you scream under my control, Cale."
-