Steven menggendong tubuh Calista ala bridal style dan membawanya ke kamar. Setelah sampai, pria itu langsung membanting tubuh Calista di atas kasur dengan kasar.
"Duh, sakit. Pelan-pelan bisa kan, Steve?" Calista meringis merasakan sakit pada punggung dan pinggangnya.
Tanggapan Steven hanya terkekeh pelan melihat ekspresi Calista. Berikutnya, Steven ikut naik ke atas kasur, mengungkung tubuh Calista menggunakan tubuhnya yang jauh lebih besar. Sebelah tangan Steven mencoba melepas kancing baju Calista. Setelah berhasil membuka, ia menatap perut dan dada Calista sejenak. Setelah itu ganti menatap wajah Calista dengan tatapan lembut.
Di bawah kungkungan tubuh Steven, Calista melemah. Ia merasakan tubuhnya memanas. Darahnya berdesir hangat. Pasokan udara di sekitarnya seolah-olah menipis. Dadanya naik-turun. Lalu ia mendesah pelan saat jari-jari Steven bergerak menyapu perut ratanya, menuju ke atas, pada dadanya.
Tangan Steven bermain-main di sana, sementara wajahnya mendekat pada ceruk leher Calista, mencium kulit leher gadis itu.
Steven berhenti sejenak, membuat Calista bisa bernapas lega dan membuka matanya. Keduanya saling pandang, lalu tersenyum kecil.
"Cantik," puji Steven membuat pipi Calista semakin memerah padam.
Steven kembali bergerak. Kini ia mendekatkan wajahnya pada wajah Calista dan menyatukan bibir keduanya. Hanya menempel sebentar. Setelah itu Steven berpindah untuk menciptakan tanda di sekitaran leher dan tulang selangka Calista.
Tentu saja, Calista tidak bisa menahan desahannya. Dan desahan seksi yang keluar dari mulut Calista semakin membuat Steven bersemangat. Kedua tangannya tidak diam. Pinggang Calista ia elus-elus menggunakan satu tangannya, sedangkan tangan satunya lagi ia satukan dengan telapak tangan Calista.
Saat sudah berhasil menciptakan banyak tanda merah pada tubuh Calista, kini tangan Steven mencoba untuk menurunkan celana jeans milik gadis itu.
Calista tahu betul apa yang ingin Steven lakukan. Oleh karena itu, Calista segera mencekal tangan Steven untuk menghentikan aksi pria itu.
"Kenapa?" tanya Steven lirih. Tampak dari raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sudah tidak bisa menahan.
Mengetahui ekspresi wajah Steven serta tatapannya yang sayu, Calista merasa kasihan. Sebenarnya, Calista juga ingin lebih. Ia juga ingin merasakan tubuh Steven. Tapi, tidak bisa. Belum saatnya.
Calista geleng-geleng pelan. "Tidak sekarang, Steve."
"Kenapa, Cale?" Nada suara dalam ucapan Steven terdengar kecewa.
"Kita belum menikah. Tidak boleh."
Calista memang kolot. Iya, benar. Gadis itu masih menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang kedua orang tuanya ajarkan saat ia masih kecil. Di saat hampir semua temannya sudah berani berkencan hingga berakhir di ranjang, Calista memilih jalannya sendiri, menjomblo, hingga lulus kuliah dan berakhir bertemu alien mesum bernama Steven yang selalu gencar menggodanya, menipiskan imannya. Tapi syukurlah, hingga detik ini Calista masih bisa menjaga dirinya.
Meskipun Calista hidup di dunia barat yang menjunjung tinggi kebebasan, namun budaya timur masih melekat pada dirinya. Yang mana mengajarkan bahwa harus memiliki ikatan suci dulu sebelum melakukan itu.
Harus menikah terlebih duhulu.
"Cukup sampai di sini, Steve."
Bibir Steven tersungging. Lalu ia berkata, "Tidak salah aku memberikan hatiku kepadamu, Cale. Kau benar-benar perempuan langka yang membuatku beruntung bisa memilikimu."
"Kau harus bersyukur," ujar Calista merasa bangga akan dirinya sendiri.
"Ya, pasti. Setelah ini temani aku ke gereja untuk memanjatkan rasa syukurku pada Tuhan."
"Tumben." Alis Calista terangkat, mengejek.
"Jangan mengejekku."
Calista tergelak melihat ekspresi wajah Steven yang menggemaskan.
"Jujur, aku juga menginginkannya, Steve. Tapi, tidak bisa, tidak boleh. Akan sangat berdosa kalau kita melakukannya sebelum menikah."
"So, then, will you marry me, Calista Lim?"
"Apa ...?" tanya Calista tidak percaya.
"Kenapa kaget begitu?"
"Aku ... aku tidak menduga akan secepat ini, Steve," balas Calista. Tiba-tiba saja, tanpa diminta, air matanya menetes.
Jempol Steven bergerak untuk menyeka cairan bening itu. "Jadi ... bagimana?"
"Aku—"
Suara pintu terbuka, bebarengan dengan teriakan seseorang, "Steve, Cale!"
Membuat keduanya menoleh pada sumber suara dalam keadaan yang masih berada di atas kasur—tubuh Steven di atas dan tubuh Calista di bawah dengan baju yang masih terbuka memperlihatkan perut serta bra berwarna pastelnya.
"Astaga, kalian sedang apa?" tanya Lalice sambil menutup matanya dan menghadap ke arah lain.
"Ketuk dulu kalau masuk kamar orang, bodoh!" Steven turun dari atas ranjang, disusul Calista setelahnya.
"Salahmu sendiri tidak mengunci pintunya lebih dulu," balas Lalice tak mau kalah.
"Duhh, itu tidak penting. Aku ke sini ingin memberi tahu kalau Roxanne dilarikan ke rumah sakit. Jantungnya kembali bermasalah."
Dan setelah mendengar kabar itu, kebahagiaan Calista meluap, hilang, digantikan oleh kesedihan.
÷÷÷
"Nath!" panggil Calista kepada Nathan yang tengah berdiri dengan gelisah di depan UGD.
"Bagaimana keadaan Roxanne?" tanya Calista khawatir.
"Buruk," singkat Nathan.
Mendengar itu, Calista memejam. Tubuhnya lemas. Steven di sampingnya memegangi pundak Calista untuk menenangkan.
"Tadi tiba-tiba saja dadanya nyeri, dia sesak napas dan berkeringat dingin. Lalu pingsan," beri tahu Nathan dengan nada pelan. Ia terlihat pucat karena terlampau khawatir dengan keadaan Roxanne dan calon bayinya.
Selang beberapa lama kemudian, dokter yang menangani Roxanne keluar.
"Keadaannya bagaimana, Dok? Dia sudah sadar? Dia baik-baik saja, kan?" berondong Nathan.
"Pasien sudah sadar."
Mereka bernapas lega.
"Dan tadi itu pasien terkena serangan jantung—salah satu gejala arteri koroner. Akan sangat berbahaya apabila tidak segera mendapat penanganan," lanjut sang dokter.
"Saya sudah pernah bilang kan, kalau nyawa pasien akan terancam apabila terkena serangan jantung saat sedang mengandung?" ujar dokter tersebut dengan wajah serius.
"Beruntungnya kali ini pasien tidak kenapa-kenapa karena segera dilarikan ke sini. Tapi, kalau pasien mengalami serangan jantung lagi, saya pun tidak bisa menduga akan seperti apa nantinya."
"Dok, saya mohon, lakukan apa pun untuk menyembuhkan Roxanne. Selamatkan Roxanne dan janinnya, Dok. Saya akan bayar berapa pun yang Dokter mau," Nathan memohon dengan tampang memelas. Sangat berharap agar Roxanne segera disembuhkan.
"Bukan masalah biayanya, tapi masalahnya ada pada pendonor yang belum didapatkan hingga saat ini. Anda pasti tahu sendiri kalau mendapatkan pendonor jantung tidak semudah mendapatkan pendonor ginjal. Jantung harus didapatkan dari orang yang baru saja meninggal—yang syaraf jantungnya masih berfungsi, dan itu sulit sekali didapatkan. Atau dari orang yang rela mengorbankan nyawa untuk pasien."
Mendengar itu, Nathan jadi semakin lemas. Ia tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri hingga tubuhnya merosot ke bawah. Punggungnya bersandar pada dinding rumah sakit, tangannya meremas rambutnya sendiri, frustasi.
Sementara tubuh Calista bergetar. Dengan lirih ia bertanya, "Kalau tidak segera mendapat donor, apa yang akan terjadi kepada Roxanne, Dok?"
"Nyawa pasien dan janinnya tidak akan selamat apabila terkena serangan jantung lagi," jelas sang dokter dengan ekspresi sedih.
Menelan saliva, Calista menarik napas panjang, lalu berkata, "Apa saya bisa mendonorkan jantung saya, Dok?"
Steven yang ada di sebelah Calista segera menarik pundaknya agar berhadapan. Ekspresi wajah pria itu tampak marah.
Sementara Nathan yang mulanya di bawah itu kini bangkit, mendekat pada mereka berdua. Nathan geleng-geleng, sangat tidak menyetujui ucapan Calista yang melantur itu.
"Kau gila?!" bentak Steven sambil menggoyang-goyangkan pundak Calista.
"Kau mau mati hah?!" tambahnya tak kalah keras dari sebelumnya.
"Tapi ... nyawa Roxanne."
"Kau ingin menyelamatkan satu nyawa menggunakan nyawa lain, apa untungnya itu?!"
"Dua nyawa, Steve. Ada janin dalam kandungan Roxanne."
"Tidak, Cale! Kau tidak boleh melakukan itu." Napas Steven memburu. Matanya tajam menatap tepat pada manik Calista yang kini berkaca-kaca.
"Kalau kau melakukannya, kau sama saja dengan membunuhku," sambung Steven dengan mata menyala merah.
"Aku juga tidak akan membiarkanmu melakukan itu, Cale," ujar Nathan.
"Aku berjanji akan segera mendapatkan donor jantung untuk Roxanne. Kumohon, kau jangan lagi memiliki pikiran bodoh seperti itu," lanjutnya.
Calista tidak bisa berpikir jernih. Saat ini, keselamatan dan kesembuhan Roxanne adalah hal yang paling penting. Ada janin di dalam kandungan perempuan itu. Calista takut, kalau tidak segera mendapatkan donor jantung, Roxanne dan janinnya akan ... meninggal.
Tidak. Itu adalah mimpi buruk.
"Tapi ...." Calista menggantung kalimatnya.
"Cale!" teriak Steven parau, membuat Calista tersentak kaget hingga genangan air di pelupuk matanya tumpah.
Berikutnya, Steven membuka tangannya dan membawa tubuh Calista yang masih bergetar dalam pelukannya. Mendekapnya erat.
Dengan nada pelan Steven memohon, "Kumohon, jangan membuatku jadi gila karena kehilangan dirimu, Cale. Kau tahu kan, aku tidak akan sanggup bila hidup tanpamu."
-
kalo ada typo bilang yaa, ngetiknya mendadak banget soalnya
kesan kalian buat part ini dong...
makasih ❤