EDITED | 03/01/21
÷÷÷
"Maaf membuatmu menunggu lama." Roxanne menghampiri Nathan ketika dia sudah selesai pemotretan.
"Tidak masalah."
"Kau mengajakku kencan siang ini, apa kau tidak bekerja?"
Nathan menggelengkan kepalanya, "Ini kan, weekend."
Roxanne mengangguk mengerti. "Enak sekali kau bisa libur di akhir pekan. Sedangkan aku setiap hari harus bekerja dan harus izin kalau keluar."
Nathan merapikan rambut emas Roxanne yang berantakan.
"Apa kau lelah dengan pekerjaanmu?"
"Tidak, justru aku menikmatinya. Hanya saja kadang aku ingin istirahat atau bersenang-senang di akhir pekan. Tapi ya sudahlah, lupakan saja."
Mata Roxanne terpaku pada tangan kanan Nathan yang diperban. "Kenapa tanganmu?" tanyanya.
Nathan hanya tersenyum dan membelai pipi Roxanne. "Hanya kecelakaan kecil."
Mendengar itu Roxanne mengangguk.
Kemudian terlihat manajer Roxanne berjalan ke arah mereka berdua dengan senyum yang merekah dibibirnya.
"Kebetulan sekali kau datang."
Nathan mengangkat sebelah alisnya heran.
"Kenapa?"
"Kami membutuhkan model pria untuk mempromosikan produk baru yaitu jam tangan perusahaan klien kami."
Nathan menatap Roxanne meminta penjelasan.
Roxanne mengangguk, "Ya, sebenarnya kami butuh model pria hari ini," tuturnya.
"Tapi kalau kau tidak mau, aku akan meminta Gabriel untuk melakukannya."
Roxanne segera mengambil ponselnya dan menelepon Gabriel. Tapi tangannya dihentikan oleh tangan Nathan.
"Tidak perlu, aku akan melakukannya."
Nathan sebenarnya tidak ingin menerimanya. Tapi daripada mantan pacar Roxanne yang kurang ajar itu yang akan menjadi modelnya, lebih baik dia menerimanya. Dia tidak ingin pria itu lancang mencium Roxanne lagi.
Entahlah, Nathan hanya tidak ingin pria lain mendekati Roxanne. Hanya dia yang boleh menyentuh gadis itu. Tapi dia juga belum bisa memastikan bagaimana perasaannya terhadap Roxanne sekarang.
Yang lebih penting adalah dia harus mengenal lebih dalam gadis itu agar Steven bisa merebut perusahaan ayah Roxanne secepatnya.
"Kau serius?" tanya Roxanne.
Nathan tersadar dari lamunannya dan mengangguk. "Ya, aku serius."
Roxanne mengangkat ujung bibirnya. "Berarti kita tidak jadi kencan?"
"Yah, apa boleh buat."
÷÷÷
Calista memasuki mobil Steven dengan wajah masam. Dia hanya ingin beristirahat di akhir pekan ini, tapi apa, pria itu malah mengajaknya keluar siang-siang begini.
"Buang wajah masammu itu, Cale," kata Stevel dengan kakehan khasnya, membuat Calista tambah memasang wajah masam.
Steven mulai menjalankan mobil hitamnya.
Calista berdecak kesal, "Aku ingin tidur panjang hari ini. Dan kau malah mengacaukannya."
"Bukankah lebih menyenangkan kalau bisa kencan denganku, Sayang?" Steven tersenyum memesona ke arah Calista. Tapi gadis itu justru membuang muka sambil bergumam tidak jelas.
"Kau ingin kita pergi kemana, Baby?"
Calista menoleh ke kiri, ke arah Steven yang tengah fokus mengemudi.
"Berhenti memanggilku dengan panggilan 'sayang' atau 'baby'. Itu benar-benar menjijikkan, kau tahu?"
Steven malah tertawa kecil mendengar ucapan Calista.
Gadisnya itu benar-benar lucu kalau sedang kesal. Apalagi kalau Calista mengerucutkan bibir merah mudanya, ia akan terlihat menggemaskan sampai-sampai Steven ingin mencium bibir gadisnya itu.
"Bagaimana kalau kupanggil Bae? Atau baby? Atau bagaimana kalau deer?"
Calista mengerutkan dahinya. "Deer?"
Steven mengangguk.
"Kenapa rusa?"
"Karena tingkahmu aktif seperti rusa. Selain itu matamu juga bening seperti mata rusa."
Calista tertawa mendengar perkataan Steven barusan. Sejak kapan pria itu jadi puitis seperti ini? Ah iya, Steven kan selalu menggoda wanita, jadi mudah saja baginya untuk memberi pujian seperti tadi.
"Hentikan gombalanmu. Itu sama sekali tidak berpengaruh padaku." Calista mengeluarkan ponsel dan headset-nya, kemudian dia memasangnya pada telinga dan mulai mendengarkan lagu kesukaannya.
Steven tersenyum melihat wajah polos Calista saat gadis itu memejamkan mata. "Aku mencintaimu, Cale," ungkapnya yang tidak didengar oleh Calista.
÷÷÷
Steven dan Calista memasuki restoran mewah yang merupakan salah satu restoran milik Steven.
Calista berdecak kagum ketika mengetahui restoran itu yang luas dan indah. Dia seakan berada di Paris karena arsitektur bangunan ini persis dengan kebanyakan bangunan di kota Paris.
Berwarna putih gading dengan ukiran khas Eropa, jangan lupakan duplikasi menara Eifel setinggi dua meter yang berdiri kokoh di tengah restoran ini.
Calista tidak mau menyia-nyiakan momen indah seperti ini. Dia segera mengambil ponselnya dan mengambil gambar menara itu.
Kemudian dia menyerahkan ponselnya pada Steven dan menyuruh pria itu untuk memfotonya.
Steven tersenyum melihat Calista sebahagia itu. Gadis itu tak pernah melepaskan senyumnya semenjak memasuki restoran ini.
"Bagaimana?" Calista segera mengambil ponselnya dari tangan Steven dan melihat fotonya. Dia tersenyum puas.
"Kau belum pernah ke Paris?"
Calista menggeleng.
"Belum, aku hanya melihatnya lewat televisi atau internet," balas Calista.
"Dari kecil aku sangat ingin kesana, tapi ... ah, lupakan!"
Steven menyeringai penuh makna, "Bagaimana kalau kita bulan madu ke sana?"
Calista segera memukul lengan Steven dengan keras sampai membuat pria itu meringis.
"Jangan mimpi!" Gadis itu segera duduk dan memesan makanannya.
Beberapa saat kemudian, pesanan datang. Steven menatap tak percaya ke arah meja yang penuh dengan makanan. Ini semua Calista yang memesan?
Dilihatnya Calista yang mulai melahap makanannya. "Kau sangat lapar, ya?"
Calista mengangguk dan terus melanjutkan makannya.
"Ini sangat lezat." Calista meminum minumannya.
Steven tidak menyangka kalau gadis di depannya ini memiliki porsi makan yang banyak.
"Porsi makanmu sebanyak ini, tapi badanmu lebih kurus dari gagang sapu."
Calista tidak memedulikan ejekan Steven terhadapnya. Dia terus saja memakan sisa makanannya yang hampir habis itu.
"Setelah ini kau mau kita ke mana?" tanya Steven ketika Calista sudah selesai makan.
Calista menggigit bibir bawahnya sambil memikirkan sesuatu.
"Terserah."
Steven mengembangkan senyumnya, sepertinya sudah saatnya dia mengenalkan Calista kepada kedua orang tuanya.
***
Calista memandang heran ke arah Steven ketika mereka turun di depan rumah mewah berwarna putih gading yang menjulang tinggi bak istana kerajaan.
"Ini rumah siapa?"
"Rumah orang tuaku," jawab Steven.
"Aku akan mengenalkanmu kepada kedua orang tuaku."
Calista mendelik mendengar ucapan Steven. Apa dia siap bertemu orang tua Steven?
Siap tidak siap tidak ada artinya, toh Steven tetap akan mengenalkannya pada orang tuanya.
"Ayo."
Calista mengekor di belakang Steven dengan perasaan gugup.
Dia menggenggam tasnya erat-erat ketika sudah memasuki rumah dan mendapati perempuan paruh baya tengah tersenyum ke arahnya.
Perempuan cantik itu menghampiri mereka berdua dengan senyuman mengembang di bibirnya.
"Steve, dia wanita yang sering kau ceritakan itu?"
Steven tersenyum dan mengangguk.
Sedangkan Calista masih menatap kagum perempuan di depannya. Sudah memiliki anak tapi masih secantik ini? Apa seluruh keluarga Steven memiliki gen tampan dan cantik?
Calista tersadar dari lamunannya dan tersenyum, kemudian dia mengulurkan tangannya.
"Namaku Calista, senang bertemu denganmu, Bibi."
Perempuan itu menyambut uluran tangan Calista dan tersenyum hangat.
"Kau cantik," pujinya.
Wajah Calista seketika memerah mendengar pujian ibu Steven.
"Panggil saja Bibi Jessy."
Calista mengangguk.
"Sayangnya ayah Steven ke luar negeri. Baru saja dia pergi setelah menerima panggilan tadi pagi."
Steven mendengus sedikit kesal, "Yah, tidak masalah. Lain kali akan kukenalkan Calista pada Ayah."
Mereka berdua duduk di ruang tamu, sedangkan Jessica-ibu Steven-berjalan menuju dapur hendak membuatkan minuman.
"Ibumu masih cantik."
Steven tersenyum miring mendengar pujian Calista.
"Maka dari itu anaknya setampan dewa Yunani."
Calista berdecak kesal dan membuang muka.
"Percaya diri sekali."
"STEVE!!!"
Terlihat seorang gadis menghampiri Steven sambil berlari lalu memeluknya.
Calista memandang tidak suka pada gadis yang lancang memeluk Steven itu.
Calista cemburu? Entahlah. Sepertinya iya.
Calista semakin panas melihat Steven justru tersenyum dan mencium kening gadis berambut biru pastel itu. Apa gadis itu adik Steven? Tidak. Steven pernah bilang kalau keluarganya hanya terdiri dari ayah, ibu, dan dirinya saja.
Dasar mata keranjang. Lelaki buaya darat! Berengsek! hinanya dalam hati.
Calista terus mengumpat dalam hati melihat pemandangan di hadapannya itu. Dia semakin yakin kalau Steven hanya mempermainkannya.
Tidak mungkin pria yang selalu mempermainkan wanita tiba-tiba berubah dan jatuh cinta pada gadis miskin sepertinya.
Kau telah tertipu, Cale!
Calista mencoba menahan emosinya dan tetap bersikap biasa saja. Tidak ada gunanya juga dia tiba-tiba marah karena Steven bermesra-mesraan dengan wanita lain. Meski mereka telah resmi berpacaran, tapi Calista tetap tidak peduli.
Toh dari awal yang memulai hubungan ini adalah Steven. Dia hanya menuruti apa keinginan neneknya. Jadi apa urusannya dia pada kehidupan lelaki berengsek di depannya ini?
Tapi entah kenapa hati Calista terasa sakit. Apa benar Steven hanya mempermainkannya? Apa benar ucapan Steven bahwa dia mencintainya itu hanya bualan?
-