26. Tersampaikan

2.5K 340 34
                                    

❤️ Rina

Kini, aku telah memarkirkan mobilku tepat di samping mobil Shinta yang ternyata sudah sampai di sini sebelum aku tiba. Bahkan, Shinta juga menunggu kami dengan berdiri persis di dekat mobilnya.

Sepertinya, Shinta memang benar-benar menunggu kedatangan kami. Karena setelah mobilku berhenti, Shinta langsung membukakan pintu samping kemudi yang ditempati oleh Ibu sejak tadi.

"Bisa pas banget, sekarang, kita parkirnya sebelahan ya, Mba," kata Shinta dengan senyum cerianya.

"Iya. Kamu udah lama sampai di sini, Dek?"

"Belum kok, Mba. Kayaknya, baru 10 atau 15 menitan aku sampai di sini," jawab Shinta sambil membantu Ibu untuk keluar dari mobil.

Aku melepas sabuk pengamanku, lalu segera keluar dari mobil dan membukakan pintu belakang untuk putri kecilku.

Elysia sudah turun, dan putri kecilku langsung melesat cepat sekali untuk menggandeng sebelah tangan Ibu yang tak memakai tongkat bantu.

"El sama Mama ya, sayang. Eyang Uti biar dituntun sama Tante aja," kata Shinta menyampaikan nasihat halusnya.

"Tapi Mama bawa bingkisan banyak, Tante. Tangan Mama penuh," jawab Elysia sambil menunjuk pada diriku yang saat ini sudah berdiri dengan kedua tangan yang memang penuh sekali dengan barang bawaan di kanan dan kiriku.

"Ya udah, El pegang tangan kiri Tante, sini. Eyang Uti biar Tante gandeng pakai tangan kanan."

Elysia menurut, dan langsung meraih tangan kiri Shinta dengan manis sekali.

Kini, kami berempat berjalan bersama memasuki Sari Laut yang sepertinya sedang sangat ramai karena ini memang masih jam makan siang.

"Rin, mau ketemu Nak Rezky langsung? Atau Ibu telepon dulu?" tanya Ibu.

"Rina titipin ke Mba kasir aja ya, Bu. Biar nanti, Mba Kasirnya yang menyampaikan sama Mas Rezky. Soalnya, Rina khawatir kalau sekarang Mas Rezky lagi sibuk. Nanti, kalau kasih secara langsung, Rina takut malah jadi ganggu."

"Oh iya, kamu bener juga, Rin. Ya udah, kalau gitu, Ibu langsung tunggu di meja aja ya."

"Nggih, Bu. Mau makan di sini, atau di gazebo belakang?"

"Di belakang aja ya, Mba. Kaya biasa. Biar silir. Sekalian aku cari udara seger juga. Soalnya, dari tadi, aku di ruangan terus. Karena pasien hari ini beneran full banget," kata Shinta sedikit bercerita.

(Silir = Sejuk)

"Oke kalau gitu. El mau langsung ikut Eyang Uti sama Tante Shinta? Atau mau ikut Mama dulu?"

"El ikut Mama dulu," jawab Elysia yang kini langsung melepaskan genggaman tangannya dari Shinta, dan beralih untuk berdiri di sampingku.

"Ya udah, Ibu sama Shinta, ke belakang dulu aja ya. Nanti, kalau sudah selesai, Rina sama El, pasti langsung nyusul ke sana."

Ibu memberikan anggukan kepala, dan segera berjalan pelan menuju area gazebo belakang dengan tetap dituntun oleh Shinta.

"El, jalan di samping Mama ya, sayang. Pelan-pelan aja. Hati-hati. Dan jangan jauh-jauh dari Mama ya, sayang. Soalnya, lagi banyak orang di sini."

Elysia mengangguk ke arahku, lalu segera menempelkan tubuhnya di sampingku.

Tak butuh waktu lama, kini aku dan Elysia sudah sampai di depan meja kasir berada.

"Permisi, Mba," sapaku pada Mba Kasir yang sampai saat ini belum kutahu pasti siapa namanya.

Mba Kasir yang selalu sibuk dengan nota, langsung berdiri setelah mendengar sapaan yang memang kutujukan untuknya.

"Halo, Mba," jawabnya dengan senyuman yang sangat ceria.

"Halo juga, Mba. Oh iya, dengan Mba siapa ya? Soalnya kemarin, kita belum sempat kenalan," kataku.

"Saya, Diba, Mba. Panggil aja, Diba," ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya, mengajakku untuk berkenalan dengannya.

Aku meletakkan semua bingkisan yang tadi kubawa ke atas meja, sebelum akhirnya aku menerima uluran tangan dari Diba. "Halo, Mba Diba. Aku, Rina."

Diba menganggukkan kepalanya, tak lupa dengan senyum cerah yang masih setia terpatri indah di wajahnya. "Diba aja, Mba. Biar kelihatan lebih muda."

Aku lekas mengangguk menyetujui permintaan Diba. Lalu setelahnya, Diba jadi menundukkan kepalanya untuk melihat Elysia. "Kalau adik yang cantik ini, namanya siapa?"

"Elysia Zivanna Almaira. Tante bisa panggil aku, El," jawab Elysia lengkap sekali setelah dirinya selesai mencium punggung tangan Diba.

"El sopan banget si. Gemesin. Namanya juga cantik banget, kaya El," puji Diba yang saat ini sedang mengusap-usap rambut panjang Elysia.

"Terimakasih, Tante Diba," jawab Elysia begitu bahagia.

"Diba, boleh nitip ini untuk Mas Rezky?" tanyaku lagi.

"Ini semua, Mba?" tanya Diba sambil menunjuk semua bingkisan yang tadi telah kuletakkan di atas meja kerjanya.

Aku langsung memberikan anggukan kepalaku untuk Diba. "Iya. Bilang aja, titipan dari Bu Widya dan Rina, Mamanya Elysia. Sampaikan juga sama Mas Rezky, kalau Rina dan Elysia mau mengucapkan terimakasih buat traktiran makan siangnya."

"Apa Mba Rina mau ketemu langsung sama Mas Rezky? Kebetulan, sekarang, Mas Rezky juga lagi ada di sini."

"Nggak usah. Nggak papa. Nitip sama kamu aja ya, Diba. Karena takutnya, Mas Rezky lagi ada pekerjaan penting sekarang, nanti aku malah jadi ganggu. Ini juga aku sama El udah ditunggu di belakang, sama Ibu dan adikku juga. Soalnya kita mau makan. Jadi, aku nitip ini semua sama kamu aja ya, Diba. Bisa?"

Diba langsung mengangguk sampai beberapa kali, "Oke, Mba. Bisa. Habis ini, langsung aku sampaikan semua titipan dari Mba Rina buat Mas Rezky."

"Terimakasih ya, Diba. Kalau gitu, aku sama El ke belakang dulu ya. Dan oya, seneng banget bisa kenalan sama kamu hari ini."

"Siap, Mba Rina. Sering-sering main ke sini lagi ya. Jelas sangat ditunggu dengan senang hati kedatangannya."

Aku langsung mengangkat jempol kananku sebagai tanda setuju, "Siap."

"Dadah, Tante Diba. El mau makan dulu ya," pamit Elysia sambil melambaikan tangan kanannya pada Diba, yang dibalas lambaian tangan juga oleh kasir cantik itu.

Ya. Semoga, Mas Rezky berkenan menerima semua bingkisan yang telah kubawa.

Supaya setelah ini, aku tak perlu merasa tak enak hati lagi, karena banyaknya traktiran yang sudah Mas Rezky berikan untukku dan putri kecil yang sangat kusayangi.

*****

Kali Kedua ✔Where stories live. Discover now