60. Saingan?

1.3K 105 17
                                    

💙 Mas Rezky

Karena Rina tetap tak kunjung membalas pesanku, dia juga tak mau menerima panggilan telepon dariku, akhirnya aku memutuskan untuk datang langsung ke butiknya supaya bisa menghilangkan semua rasa cemasku.

Sebab aku benar-benar sudah tak tahan jika harus berlama-lama diam dengan Rina. Dan aku juga ingin segera mengetahui bagaimana keadaan Rina dan Elysia, setelah kemarin aku berpisah dengan mereka berdua.

Aku sudah sampai di butik Rina, dan sekarang aku sedang berjalan ke arah meja kasir yang dijaga oleh Lia, seperti biasanya.

"Assalamu'alaikum."

Lia yang tadinya sedang sibuk menatap layar komputer yang ada di hadapannya, langsung mendongak karena mendengar ucapan salam yang kuberikan padanya.

"Wa'alaikumsalam," jawab Lia sambil bangkit berdiri dari duduknya.

Aku tersenyum, "Hai, Lia."

"Loh? Mas Rezky? Udah lumayan lama ya nggak main ke sini? Mas Rezky mau ketemu sama Mba Rina?"

Ternyata, pegawai Rina memang peka sekali dengan keadaan yang ada di sekitarnya.

Jadi kini, aku jelas langsung menganggukkan kepalaku pada Lia. "Iya. Rina ada?"

"Iya, Mas. Ada. Mba Rina ada di ruang kerjanya. Dari tadi pagi, El juga lagi ada di sini."

Wah benar-benar kebetulan yang sangat melegakan.

Karena sekali tiba, aku bisa langsung bertemu dengan Rina dan Elysia.

"Mas Rezky langsung ke ruang kerjanya Mba Rina aja," kata Lia lagi menambahkan.

"Rina lagi ada tamu nggak? Takut aku jadi ganggu."

"Ada, Mas. Orang yang pesan kaos buat seragaman di kantor. Tapi, kayaknya, sebentar lagi, udah mau selesai kok. Soalnya udah sekitar satu jam di sini."

Aku mengangguk mengerti, "Berarti, nggak papa kalau sekarang aku ke sana? Nggak bakal jadi ganggu Rina?"

"Iya, Mas, nggak papa. Mas Rezky tenang aja."

"Kalau gitu, aku ke ruang kerjanya Rina dulu ya, Lia."

"Iya, Mas. Monggo, silakan."

Aku memberikan anggukan kepala, kemudian berlalu dari hadapan Lia.

Setiap langkah yang kini sedang kulakukan menuju ruangan Rina, aku senantiasa merapalkan doa, bahwa semoga, setelah ini, semua keadaan akan tetap baik-baik saja dan bisa kembali seperti semula.

Karena sungguh, aku selalu berharap dan berdoa, bahwa semoga, aku tetap bisa bertemu dengan Rina dan juga Elysia. Bersama mereka. Dan tak ada hal yang menghalangi kasih sayang yang ingin kuberikan untuk mereka berdua.

Aku sudah hampir sampai di ruang kerja Rina berada. Dan ternyata, pintu ruangannya memang terbuka dengan lebar di kedua bagiannya. Jadi sepertinya, informasi dari Lia memang benar sekali adanya. Kalau saat ini, sedang ada tamu yang bertemu dengan Rina.

Senyum bahagiaku langsung terkembang dengan begitu sempurna. Dan bibirku tertarik otomatis tanpa bisa ditahan lagi bagaimana laju kembangannya. Karena saat ini, aku sungguhan sedang sangat bahagia, sebab akhirnya, sebentar lagi, aku akan kembali bertemu dengan Rina dan juga Elysia.

Tapi ternyata, harapan besarku tak bisa langsung jadi kenyataan. Karena yang kukira semua akan baik-baik saja, ternyata, tidak semulus itu jalan yang kudapatkan. Yang kukira bahwa jalanku mendekati Rina akan mulus tanpa hambatan, ternyata, kenyataan yang kuterima justru sangat bertolak belakang dengan harapan. Karena hari ini, aku ditunjukan dengan kenyataan sesak yang ada, bahwa mendapatkan Rina memang tak mungkin bisa semudah itu untuk dilakukan.

Langkahku langsung terhenti sebelum aku berhasil masuk ke dalam ruang kerja Rina.

Aku terpaku di depan pintu, dengan hati yang bergejolak menahan sendu.

Tanganku terkepal kuat. Karena aku merasa bahwa hari ini aku telah terlambat.

Senyum bahagiaku redup seketika. Tak bisa bertahan lama. Setelah mengetahui bahwa tamu yang Lia bicarakan sebelumnya, ternyata adalah seorang Damar yang merupakan mantan kekasih Rina semasa SMA.

Aku mengepalkan kedua tanganku.

Ingin marah, tapi apa hakku?

Ingin kesal, tapi apa itu boleh untukku?

Tanganku semakin terkepal sangat kuat saat melihat Elysia tersenyum dengan bahagianya sambil mendekat ke arah Rina. Gadis cilik yang kuharap dalam doa akan menjadi putriku, kini sedang tersenyum ke arah Damar yang sedang tertawa bersama Rina.

Dan hatiku semakin ngilu, saat melihat dua perempuan yang kuharap akan menjadi milikku, kini sedang tertawa selepas itu walau mereka tak sedang bersamaku.

Melihat hal itu, banyak sekali ruang di dalam hatiku tiba-tiba jadi terasa begitu sempit, sesak, dan sangat berhasil untuk menyakiti perasaanku. Apalagi ketika kedua mataku melihat sendiri bagaimana Rina dan Elysia bisa tertawa bahagia karena Damar, bukan karena aku.

Ya Allah.

Apa sebenarnya yang ingin Engkau tunjukan padaku?

Kenapa pemandangannya harus jadi semenyakitkan ini untukku?

Aku menarik napas perlahan, "Rina, apa sekarang pun aku harus kembali bersaing dengan Damar untuk bisa dekat dengan kamu dan juga Elysia?" gumamku pelan, dan mencoba untuk memberikan diriku kesabaran, bahwa semoga saja aku tetap bisa bertahan tanpa membuat kegaduhan.

*****

Kali Kedua ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt