89. Bijaksana

303 42 0
                                    

✨ Bu Widya

"Jeng Widya dekat sekali ya dengan menantu?"

Aku langsung menolehkan kepalaku pada Bu Yanti, pelanggan butik Rina yang baru berkenalan denganku hari ini.

Aku tersenyum bahagia, "Maksudnya, dengan Rina?"

Bu Yanti langsung menganggukkan kepalanya, "Iya, Jeng."

"Rina lebih dari sekedar menantu untuk saya, Jeng. Rina sudah seperti anak saya sendiri, darah daging saya. Bahkan Shinta, anak ragil saya, Shinta selalu bilang, kalau Rina itu anak perempuan kesayangan saya. Padahal, saya jelas mencintai mereka sama besarnya."

Aku selalu terkekeh setiap kali mendengar bualan Shinta yang berkata seperti itu. Aku tahu, Shinta tak serius setiap kali mengatakannya. Shinta tak iri juga. Shinta berkata seperti itu, karena ingin menunjukan sikap setujunya.

Bahwa aku memang sangat menyayangi menantuku seperti anak kandungku sendiri.

"Wah, berarti, Jeng Widya memang dekat sekali ya dengan Mba Rina."

Aku langsung mengangguk tanpa harus berpikir lama, "Tentu saja, Jeng. Rina anak perempuan saya. Jadi tentu saja, saya sangat dekat dengannya. Bukan hanya dengan Rina, tapi dengan semua anak saya, saya selalu berusaha untuk bisa dekat dengan mereka."

Bu Yanti tersenyum, "Ya, memang, Jeng. Kalau kita sudah bisa dekat dengan anak dan cucu, tidak ada lagi yang akan kita khawatirkan ya. Karena tanpa kita minta, mereka pasti akan langsung bisa bercerita sendiri tentang apa saja yang sedang mereka rasakan."

"Iya, Jeng. Tapi dulu. Kalau sekarang, anak-anak kita sudah besar, sudah dewasa, sudah berkeluarga. Ada kalanya mereka akan diam atau ada yang tidak mereka ceritakan pada kita. Tapi itu bukan berarti karena mereka ingin memberikan jarak, tapi memang ada beberapa hal yang harus mereka simpan untuk diri mereka sendiri tanpa kita harus mengetahuinya. Tapi kalau sesuatu itu dirasa penting, dan mereka menganggap kalau kita juga harus tahu, mereka pasti akan langsung bercerita tanpa kita harus memaksanya."

Bu Yanti tersenyum lagi, "Sepertinya, saya harus banyak belajar dari njenengan ya, Jeng, soal urusan menghadapi anak-anak."

Aku terkekeh, "Setiap Ibu pasti punya caranya sendiri untuk menyikapi sikap anak-anaknya, Jeng. Dan setiap Ibu, pasti selalu berharap yang terbaik untuk anak-anaknya. Hanya saja, menurut saya, hal paling baik yang bisa kita lakukan sekarang sebagai orangtua, adalah, jangan menyamakan masa muda kita dulu dengan anak-anak kita sekarang. Zaman sudah berubah, dan yang pasti, pengaruh pertumbuhan dan perkembangan anak-anak juga sudah berubah. Kita nggak bisa lagi menggunakan didikan kita yang dulu untuk anak zaman sekarang. Ada yang harus dilunakan. Tidak untuk dihilangkan, hanya mungkin dirubah supaya lebih sesuai dengan anak-anak sekarang."

Bu Yanti mengangguk, "Iya, Jeng. Betul. Itu yang susah. Zaman kita dulu, kalau orangtua sudah bilang tidak, ya berarti tidak. Kita akan diam dan menurut tanpa berani untuk membantah. Tapi kalau anak-anak zaman sekarang? Saat kita bilang tidak, mereka nggak bisa langsung menurut dan bilang iya. Kita harus berdebat dulu sampai mereka bisa paham dan akhirnya setuju dengan pendapat kita. Sering kali, hal-hal seperti itu yang membuat saya jadi pusing, Jeng. Rasanya, seperti sudah lelah sekali jika harus selalu memikirkan alasan yang bisa diterima agar anak-anak mau setuju dengan pendapat kita."

Aku tersenyum, "Ya namanya juga pendapat, Jeng. Ada kalanya diterima, tapi harus legowo juga kalau ditolak. Sama juga dengan anak-anak, nggak mesti apa yang kita pikir baik, juga dianggap baik oleh mereka. Kita juga sebagai orangtua jangan sampai menutup mata. Karena kadang kala, kita juga sering memaksakan kehendak kita pada anak-anak kita."

"Iya, Jeng. Anak-anak sering banget bilang seperti itu. Katanya, kita sebagai orangtua terlalu kolot, terlalu memaksakan kehendak tanpa mau untuk bertanya terlebih dahulu apa yang mereka mau. Padahal kan kita sebagai orangtua pasti mau yang terbaik untuk mereka ya, Jeng."

Aku tersenyum lagi, "Seperti apa yang saya bilang tadi, Jeng. Apa yang kita anggap baik, belum tentu dianggap baik juga oleh anak-anak kita. Jadi hal paling baik yang bisa kita lakukan, ya diskusi, bicara, dan ngobrol sama anak-anak kita. Sampaikan apa yang kita harapkan, lalu kita juga dengarkan apa yang anak kita impikan, apa yang mereka mau. Kalau sudah seperti itu, insyaAllah, kita akan jadi tahu apa sebenarnya masalah utamanya. Lalu kita jadi bisa cari jalan tengahnya. Apa keputusan paling baik yang bisa diterima oleh kita dan juga anak-anak kita. Entah kita yang harus mengalah, atau anak-anak kita yang memang harus menerima kalau pendapat kita itu bertujuan baik untuk mereka. Yang penting, semuanya harus dibicarakan terlebih dahulu, jangan langsung dipaksa. Karena nanti hasilnya akan percuma, Jeng. Kita sudah capek sampai marah-marah, tapi anak-anak bukannya nurut, malah semakin berontak."

Bu Yanti mengangguk, "Iya ya, Jeng. Njenengan benar juga. Mungkin, memang saya yang terlalu egois karena belum mau untuk mendengarkan pendapat dari anak saya. Jadi adanya berdebat terus. Saya atau anak saya, sama-sama ngotot dengan pilihan kami."

"Memangnya, kenapa, Jeng? Lagi ada masalah dengan anak?"

Bu Yanti langsung menghela napasnya, "Iya, Jeng. Sedikit. Perbedaan pendapat. Saya bilang, saya nggak setuju. Tapi anak saya kekeuh sekali dengan pilihannya. Dia bilang, kalau saya hanya terlalu berprasangka buruk dan takut dengan pendapat orang lain."

Aku mengusap pelan lengan Bu Yanti, "Coba dengarkan dulu pendapat dari anak, Jeng. Coba dengarkan dan lihat dulu bagaimana pilihannya. Jangan terlalu menekan ego dengan menganggap kalau orangtua harus selalu dituruti kemauan dan perintahnya. Karena walau bagaimana pun, anak-anak juga punya hak untuk memilih, Jeng. Dengarkan dulu, kalau pilihannya memang salah, baru kita coba untuk nasihati, diarahkan, katakan pelan-pelan kalau pilihannya itu salah. Tapi kalau ternyata pilihannya memang sudah benar, ya kita sebagai orangtua harus bisa ikut mendukung. Apalagi kalau itu sudah berurusan dengan hati anak-anak. Yang penting pilihannya baik, kita sebagai orangtua harus ikut mendukung supaya anak-anak bisa bahagia, Jeng."

Bu Yanti mengangguk lalu menangkup kedua tanganku, "Iya, Jeng. Nanti akan saya coba. Makasih ya, Jeng Widya. Ketemu njenengan, saya jadi bisa lebih terbuka pikirannya."

Kubalas genggaman tangan Bu Yanti dengan sama eratnya, "Sama-sama, Jeng. Senang rasanya kalau dari pertemuan kita hari ini bisa ada manfaatnya."

Bu Yanti tersenyum lagi, "Jadi gimana, Jeng? Coba ceritain soal anak-anak njenengan, Jeng. Karena dari yang saya lihat, sepertinya, njenengan dekat sekali dengan anak dan cucu. Saya juga jelas pengin seperti itu. Biar rukun dan kompak selalu. Coba bagi resepnya lah, Jeng. Supaya bisa saya ikutin juga."

Aku terkekeh, "Nggak ada resep apa-apa, Jeng. Saya hanya selalu mencoba untuk bisa jadi Ibu yang dekat dengan anak-anak dan cucu saya. Bagaimana pun keadaan mereka, saya selalu berusaha untuk berada di sisi mereka. Menyayangi mereka setulus hati saya. Karena sebenarnya, Jeng. Dari pengalaman saya, anak-anak itu juga bisa merasakan ketulusan kita. Jadi kalau kita tulus ikhlas menyayangi mereka, sudah pasti mereka akan membalas kasih sayang kita dengan sama besarnya juga. Bahkan, sering kali, balasan mereka justru akan lebih besar lagi."

Bu Yanti mengangguk-anggukan kepalanya, "Kalau soal Mba Rina, gimana, Jeng? Mba Rina menantu yang sangat baik ya, makanya njenengan sayang banget sama Mba Rina."

Aku tersenyum, "Tentu saja, Jeng. Bagi saya, Rina adalah menantu perempuan paling baik yang Allah berikan untuk saya. Bukan hanya karena status Rina yang memang menantu saya, jadi saya memujinya, tapi Rina memang adalah istri yang sangat setia dan anak yang sangat berbakti dengan orangtua," aku lantas menoleh pada Bu Yanti. "Jeng Yanti tahu, kalau sekarang, Rina sudah menjadi seorang janda?"

Bu Yanti mengangguk di sisiku.

Melihat anggukan Bu Yanti, hatiku langsung terenyuh dan kembali mengingat hari-hari di mana Rina ditinggalkan oleh anak laki-lakiku, oleh suaminya, Rama, untuk selama-lamanya.

Peristiwa sendu yang sangat menyayat hatiku. Juga hari-hari dan perjuangan berat yang semakin mengukuhkan Rina sebagai kesayanganku.

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang