114. Riuh - Penuh

324 41 2
                                    

❤️ Rina

"Ma, katanya, Ayah udah mau berangkat ke sini," kata Elysia yang kini sedang mendekatiku sambil menyerahkan ponselku yang sejak tadi putriku pinjam untuk menonton video mewarnai.

"Siapa, Rin?" tanya Ibu.

"Mas Rezky, Bu," jawabku setelah memangku Elysia.

Shinta yang tadinya sedang sibuk menonton TV sambil mencamil kue nastar, tiba-tiba langsung mendekat dan duduk di sebelahku. "Apa nih, kayaknya, aku ketinggalan berita terbaru."

"Ayahnya El, mau main ke sini, Tante," jawab Elysia mendahuluiku.

"Ayahnya El? Siapa?" tanya Shinta kentara sekali sedang kebingungan.

Ibu tertawa, "InsyaAllah, sebentar lagi, Mba Rina kesayanganmu mau nikah, Dek," jelas Ibu sebelum Shinta bertanya lagi.

Ya. Aku memang sudah bercerita pada Ibu tentang aku yang menerima lamaran Mas Rezky kemarin. Shinta juga sebenarnya tahu tentang berita Mas Rezky yang melamarku. Tapi Shinta tak tahu bagaimana cerita lengkap setelahnya. Berbeda dengan Ibu yang memang selalu aku ceritakan tentang setiap detail kondisiku. Apalagi tentang niat baik dari Mas Rezky, mau bagaimana pun, Ibu adalah satu-satunya orangtuaku yang masih ada. Jadi jelas, kalau Ibu harus tahu semua hal yang terjadi padaku dari mulutku sendiri. Jangan sampai dari orang lain.

Shinta langsung heboh dan menempel padaku, "Jadi, Mba Rina udah terima lamaran dari Mas Rezky?"

Aku langsung menganggukkan kepalaku.

"Alhamdulillah."

Shinta langsung memelukku dan juga Elysia yang duduk di pangkuanku, "Alhamdulillah. Selamat, Mba. Aku ikut bahagia. Beneran. Akhirnya, Mba Rina benar-benar bisa buka hati Mba lagi. Aku seneng, Mba. Happy banget. Serius."

Aku menepuk-nepuk lengan Shinta yang masih memelukku, "Makasih ya, Dek."

Shinta menganggukkan kepalanya di bahuku, "Sama-sama, Mba. Pokoknya, Mba Rina harus selalu bahagia ya, Mba."

"Aamiin," kataku dan Ibu berbarengan.

Aku menoleh ke arah Ibu, dan kami berdua jadi sama-sama tertawa dalam satu waktu.

Shinta sudah melepaskan pelukannya, dan kini jadi menangkup wajah Elysia dengan kedua tangannya. "Selamat El sayang, ponakan Tante Shinta udah mau punya Ayah sekarang."

"Terimakasih, Tante," jawab Elysia dengan bibir yang mengerucut karena pipinya masih dijepit oleh Shinta.

"Jangan ditekan sampai gitu dong, Dek. Nanti El sebel loh. Cepetan lepasin," ingat Ibu, karena Shinta memang suka greget dan gemas sendiri kalau sudah menggoda dan mencubiti pipi Elysia. Dan kalau Shinta sudah gemas begitu, lama-lama, Elysia bisa marah dan berakhir ngomel-ngomel pada Tante satu-satunya itu.

Shinta cengengesan, lalu melepaskan tangannya dari wajah Elysia. "El seneng nggak?"

Elysia langsung mengangguk semangat sekali, "Seneng dong."

"Ayahnya El baik nggak?" tanya Shinta.

Aku tersenyum bahagia. Karena sepertinya, Shinta sedang ingin mencaritahu bagaimana sikap Mas Rezky pada Elysia.

"Baik banget. Ayah baik sama El. Sama Mama juga. Ayah udah sering bantuin Mama buat jagain El."

"Oh iya? El udah pernah ke mana aja sama Ayah?"

"Dulu, di TK, Ayah yang nemenin El waktu lomba. Terus Ayah juga yang nemenin waktu El tes renang. Terus, yang nyelamatin El waktu mau tenggelam, juga Ayah."

"Iya. Tante juga masih ingat, waktu dulu, Ayahnya El lari-lari sambil gendong El di Rumah Sakit, buat nyari-nyari Tante Shinta."

Elysia kembali mengangguk dengan begitu semangatnya, "Ayah juga sering banget masakin buat El sama Mama kalau lagi main ke Sari Laut."

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang