72. Kilas Balik

524 54 10
                                    

❤️ Rina

Akhirnya, aku pun menceritakan semua peristiwa mengejutkan yang telah ditimbulkan oleh Mas Rezky. Kejadian yang telah sangat berhasil membuatku banyak bungkam, dan jadi Rina yang sangat pendiam saat sedang berhadapan dengan Mas Rezky.

- Flashback -

"Rina, kamu mau jadi istriku?"

Aku langsung tersentak dan diam seribu bahasa.

Mas Rezky tersenyum, "Rina mau jadi istrinya Mas Rezky?"

Aku masih diam.

Masih memproses di dalam otakku, apakah kata-kata yang baru saja kudengar saat ini asli atau hanya sekedar halusinasiku.

"Rina," panggilan Mas Rezky langsung berhasil menyadarkanku dari semua pikiran dalamku tentangnya.

"Kamu mau jadi istrinya Mas?" tanya Mas Rezky lagi, dengan senyum teduh yang masih setia terpatri di wajahnya sampai saat ini.

"Jadi, yang aku dengar dari tadi, asli, Mas?"

Mas Rezky justru malah tertawa setelah mendengar pertanyaan yang kuajukan padanya.

"Astaga, Rina. Jadi dari tadi, kamu kira, kalau kamu lagi ngelindur? Iya?"

Aku diam lagi.

"Ini, asli, Rina. Sungguhan."

"Atau justru Mas Rezky yang sekarang lagi ngelindur?" dan pertanyaanku sepertinya benar-benar mulai ngawur.

Mas Rezky sudah menghentikan tawanya. Dan langsung berganti memberikan senyum teduhnya. "Aku serius, Rina. Aku nggak ngelindur. Dan aku bisa pastikan, kalau aku dalam kondisi sangat sadar saat tadi aku tanya sama kamu."

Otakku mulai memutar kembali kata-kata Mas Rezky sebelumnya. Dan saat telah berhasil mengingatnya, aku kembali merasakan efek kejut yang besarnya luar biasa.

"Aku sadar, Rina. Aku benar-benar sadar, dan sangat serius dengan semua ucapanku tadi. Kalau kamu mau tahu, sebenarnya, aku udah pengin banget mengutarakan soal perasaanku ini ke kamu, sejak lama. Tapi dulu, aku selalu merasa, kalau waktunya kurang tepat. Jadi aku selalu menunda dan menundanya. Sampai akhirnya, aku malah jadi terlambat ketika kamu pacaran sama Damar, dan menikah dengan Mas Rama."

Dan aku justru jadi makin tak mengerti dengan apa yang sedang ingin Mas Rezky ungkapkan saat ini.

"Maksud Mas Rezky?"

"Aku sayang kamu, sudah sejak lama, Rina. Bukan hanya baru saja. Tapi sejak dulu, saat kita masih sama-sama remaja, saat kita bertemu semasa SMA."

Kedua mataku jelas langsung membola. Dan aku makin tak percaya, apakah yang kudengar saat ini benar dan nyata. Atau hanya ilusi semata?

Mas Rezky masih tersenyum teduh sekali padaku, "Mungkin, kamu sulit sekali percaya sama apa yang aku bilang barusan. Tapi aku serius, Rin. Aku nggak bohong. Karena aku memang sayang sama kamu, sudah selama itu. Dari dulu, sampai sekarang."

Aku makin terkejut.

Dan aku tak tahu, apakah aku harus senang, atau justru boleh terlarut dengan keterkejutanku.

"Dan aku serius, sangat serius dengan pertanyaanku tadi, Rin," ada jeda sebentar, karena Mas Rezky terlihat sedang menarik napasnya secara perlahan. "Rina, kamu mau jadi istriku?"

Aku benar-benar diam seribu bahasa. Seperti aku terperangkap dalam satu ruangan di mana aku tak bisa berkata apa-apa. Aku melihat Mas Rezky tepat ada di depan mata. Tapi sepertinya, mulut dan ragaku menganggapnya seperti tidak nyata.

Mas Rezky sungguh-sungguh memberikanku tembakan dan efek kejut yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Mas Rezky tersenyum semakin bahagia, lalu beranjak berdiri dari duduknya dengan membawa Elysia dalam gendongannya. "Kamu pasti masih terlalu kaget ya, Rin?"

Ya. Aku memang benar-benar sedang sangat terkejut sampai-sampai mulutku tak bisa berkata-kata.

"Kita istirahat, yuk. Kamu pasti sudah terlalu capek karena seharian ini jagain El di Rumah Sakit."

Aku seperti tertarik kembali ke dalam dunia nyata, setelah mendengar ucapan Mas Rezky yang membuatku jadi semakin bertanya-tanya.

"Kita?"

Mas Rezky malah terkekeh, dan langsung menganggukkan kepalanya. "Iya, kita. Aku, kamu, dan Elysia. Kita istirahat sekarang. Tidur. Karena waktu sudah cukup malam kalau kita masih terus terjaga."

"Kenapa kita, Mas? Cukup aku sama El aja. Mas Rezky harus pulang."

Setelah berkata seperti itu, aku langsung mendongak untuk menatap jam dinding yang terpasang di ruang rawat putri kecilku.

"Mumpung masih jam 9, jadi lebih baik, Mas Rezky pulang sekarang, biar sampai rumah nggak terlalu malam."

"Nggak, Rina. Aku akan tetap di sini sama kalian. Karena aku nggak mungkin pulang dan tega ninggalin kamu di sini ngurus El sendirian."

"Aku nggak papa, Mas. Nanti juga ada yang ke sini buat nemenin aku."

"Siapa? Jelas-jelas, tadi, Shinta telepon, dan bilang, kalau Shinta minta maaf karena nggak bisa ke sini buat nemenin kamu."

Aku memutar otak, mencari alasan lain yang bisa membuat Mas Rezky bisa segera pulang ke rumahnya. Dan membatalkan rencananya yang ingin tetap di sini bersamaku dan Elysia.

"Ada dokter sama perawat di sini, Mas. Jadi aku nggak sendirian."

"Jangan coba-coba cari alasan buat bisa ngusir aku, Rin."

"Aku nggak ngusir, Mas. Tapi Mas Rezky memang harus pulang dan istirahat."

"Aku memang mau istirahat, Rina. Di sini. Sama kamu dan El. Dan aku benar-benar akan tetap di sini sampai El boleh pulang. Karena aku nggak mau ninggalin kamu sendirian, Rina. Aku takut nanti kamu kerepotan dan butuh bantuan, tapi nggak ada orang yang bisa nemenin kamu di sini. Jadi, aku nggak mau pulang. Aku akan tetap ada di sini sama kalian."

Aku baru ingin kembali membuka suara, tapi Mas Rezky sudah langsung menahannya. "Jangan coba-coba buat nyuruh aku pulang lagi, Rin. Karena aku nggak mau."

"Mas ..."

Aku langsung menutup rapat mulutku.

Astaga.

Kenapa suaraku tadi jadi seperti sedang merengek pada Mas Rezky?

Mas Rezky tertawa pelan, "Kita istirahat sekarang. Ya? Aku pindahin El dulu, jadi kamu bisa tidur di sofa bed, nanti aku siapkan."

"Terus Mas Rezky?"

"Aku bisa tidur di sofa yang lagi kamu duduki."

Mataku secara otomatis langsung mengitari sofa yang sejak tadi kutempati, "Tapi ini kecil, Mas. Nanti Mas Rezky bisa pegal-pegal kalau tidur di sini."

"Nggak papa, Rina. Aku udah biasa tidur di bus. Jadi aku pindahin El dulu. Soalnya, kayaknya, sekarang, tidurnya udah pules. Habis ini, aku langsung siapin sofa bed buat kamu."

- Flashback End -

Dan begitulah, malam kemarin berakhir dengan jantungku yang terus bertalu tidak menentu karena harus tidur satu ruangan dengan Mas Rezky. Bahkan kurasa, kemarin adalah satu-satunya hari di mana aku berharap bahwa malam akan cepat berlalu dan pagi segera datang, supaya aku tak lagi harus menahan napas karena gugup sebab berbagi oksigen di satu tempat yang sama dengan Mas Rezky.

Kemarin malam, Mas Rezky benar-benar telah sangat berhasil membuat tidurku jadi gelisah dan tidak tenang!

*****

Kali Kedua ✔Where stories live. Discover now