2. Cita-Cita

7.9K 652 61
                                    

❤️ Rina

"Nanti, El pikirin lagi ya, Ma. Kalau Mama, cita-cita Mama, pengin jadi apa?"

Yang awalnya sibuk berkutat dengan bayangan kelamku sendiri, akhirnya kini, aku bisa kembali bertemu tatap dengan putri kecil yang sangat kukasihi.

"Dulu, Mama pengin jadi dokter."

"Dokter kaya Tante Shinta?"

Aku langsung menganggukan kepalaku ke arah putriku tercinta. "Iya, sayang. Dulu, Mama pengin jadi dokter kaya Tante Shinta."

Shinta, adalah adik iparku, adik perempuannya Mas Rama.

"Terus, kenapa sekarang, Mama jadi kerja di toko? Kenapa Mama nggak jadi dokter juga kaya Tante Shinta?"

Aku tersenyum, lalu mengusap lembut rambut Elysia yang kini sudah mulai memanjang sampai menyentuh punggungnya. "Soalnya, dulu, Mbah Kakung sama Mbah Uti di Purwokerto, uangnya nggak banyak. Jadi Mama nggak bisa sekolah jadi dokter."

Jawaban paling diplomatis yang kupunya. Karena menjelaskan secara lengkap apa alasannya, juga tak akan jadi hal yang membuat lega. Sebab masa lalu tak akan mungkin bisa dirubah kembali jalan ceritanya, karena masa kini yang sedang jadi kenyataan dan harus bisa kita hadapi rintangan serta perjalanan rumitnya. Apalagi soal cita-cita yang memang bisa kompleks sekali pencapaiannya. Ada banyak hal di dalamnya, yang jika dikorek pasti akan saling terhubung satu sama lainnya.

"Memangnya, sekolah jadi dokter, itu mahal ya, Ma?"

Aku tersenyum lagi. Gemas sekali dengan ekspresi Elysia yang bisa berubah jadi sangat dewasa jika sedang bercerita seperti saat ini.

"Iya, sayang. Butuh uang yang cukup banyak supaya bisa lulus jadi dokter."

"Berarti, uangnya Eyang, ada banyak ya, Ma? Soalnya sekarang, Tante Shinta bisa jadi dokter?"

Aku terkekeh lagi, lalu kembali memberikan anggukan kepalaku pada putri kecilku ini. "Iya, sayang. Alhamdulillah, uangnya Eyang, ada banyak. Karena alhamdulillah, Allah kasih rezeki yang lancar buat Eyang. Jadi Eyang bisa sekolahin Tante Shinta sampai lulus jadi dokter."

"Kalau Mama, gimana? Sekarang, uangnya Mama ada banyak nggak?"

Aku langsung terpaku, karena mendengar pertanyaan tak terduga dari putri kecilku. "Kenapa El tiba-tiba jadi tanya begitu, sayang?"

"Mama punya uang banyak nggak buat sekolah El, kalau El pengin jadi dokter?"

"El pengin jadi dokter?"

Elysia kembali memberikan anggukan kepalanya. Yang membuatku jadi langsung terpana, dengan binar mata teramat cerah yang putri kecilku punya.

"Iya, Mama. Kalau dulu Mama nggak bisa jadi dokter, nanti, kalau El sudah besar, sudah tinggi, dan udah lulus TK, El yang terusin jadi dokter. El pengin jadi dokter, biar nanti, Mama bisa bangga sama El."

MasyaAllah.

Senyum bahagiaku jelas semakin terkembang dengan begitu sempurna, terharu sekali setelah mendengar penuturan polos tapi juga teramat tulus dari putri kecilku tercinta.

"Iya, sayang. Aamiin. InsyaAllah ya. InsyaAllah, nanti, El bisa jadi dokter ya, sayang."

"Berarti, Mama punya uang banyak juga ya kaya Eyang? Jadi Mama bisa sekolahin El jadi dokter?"

"Bismillah ya, sayang. InsyaAllah, nanti, Mama semangat kerja lagi biar bisa punya banyak uang buat sekolah El. El juga bantu doa sama Allah ya, semoga Allah kasih rezeki yang lancar buat Mama, Mama dikasih sehat juga, biar El bisa sekolah jadi dokter."

Elysia langsung menganggukkan kepalanya semangat sekali. "Iya, Mama. Aamiin. Nanti, El pasti doa sama Allah yang banyak banget. Habis sholat, nanti, El doain Mama biar Allah kasih Mama uang yang banyak."

"Jangan lupa, doa baik yang banyak buat Papa juga ya, sayang."

"Iya, Mama. Doa baik buat Papa, Mbah Kakung, Mbah Uti, sama Eyang Kakung, kan?"

Aku mengangguk kembali. "Iya, sayang. El memang anak sholihah kesayangannya Mama," ucapku sambil memberikan ciuman bertubi-tubi di wajah Elysia.

Elysia langsung tertawa dengan begitu geli karena kecupan gemas dariku, "Udah, Ma. Nanti, mukanya El jadi bisa lengket-lengket."

Aku kembali tertawa dengan begitu bahagia. "Astaga, El. Berarti, El mau bilang, kalau liurnya Mama lengket ya?"

Tak mau menjawab jujur pertanyaan dariku, kini Elysia justru cengengesan ke arahku.

"Ya udah. Sekarang, El bobo ya, sayang. Soalnya, sekarang, waktunya sudah malam. Besok kan hari Rabu. Jadi El masih harus berangkat ke sekolah."

Lagi, Elysia langsung mengangguk dengan patuh sekali. "Iya, Mama. Tapi, sebelum tidur, El mau doa dulu buat Papa."

Senyumku senantiasa merekah saat melihat bagaimana cara Elysia yang kini sedang mengangkat kedua tangannya untuk berdoa.

Melihat hal itu, aku jelas langsung bersyukur di dalam hati. Karena sungguh, bagiku, sikap putriku ini manis sekali.

"Aamiin," ucap Elysia sambil mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah kecilnya.

"Sudah berdoanya?" tanyaku sambil memberikan usapan lembut di puncak kepala Elysia.

"Udah, Ma."

"Sekarang, El udah mau bobo?"

Dan Elysia kembali menganggukkan kepalanya. "Iya, Mama. Sekarang, El mau bobo. Besok, El cerita banyak lagi sama Mama. Ya?"

"Oke. Sekarang, kita bobo dulu yuk," ajakku.

Elysia tersenyum, lalu mulai merapatkan tubuhnya ke arahku. Sedangkan aku, jelas langsung memeluk tubuh kecil putriku, dan menepuk-nepuk pelan punggung sempitnya di dalam dekapanku.

Menundukan kepalaku, aku tersenyum penuh haru. Lalu mulai bergumam lagi di dalam hati, sebab mengingat suami yang paling kukasihi. "Mas Rama, anak kita sudah besar, Mas."

*****

Kali Kedua ✔Where stories live. Discover now