68. Ayah

3.2K 186 100
                                    

❤ Rina

Elysia masih tetap menangis sampai saat ini. Tangisan putri kecilku benar-benar belum mau untuk berhenti. Bahkan kini, Elysia semakin histeris dan menangis dengan kencang sekali. Padahal aku sudah berusaha untuk menenangkannya sejak tadi.

"Sudah ya, sayang. Nanti, dadanya El bisa jadi makin sesak. El udah lama banget loh nangisnya."

Tapi tak mempan.

Tak berhasil.

Karena Elysia justru menangis semakin kencang.

Jadi kini aku hanya pasrah, dan kembali menepuk-nepuk punggung Elysia. Dan berharap, bahwa semoga, putri kecilku akan bisa segera tenang dari semua tangisannya.

"Rina."

Ada seseorang yang memanggil namaku, jadi aku langsung menolehkan kepalaku.

Tapi ternyata, aku juga kembali terkejut saat melihat siapa seseorang yang baru saja memanggil namaku dengan suara lembutnya.

"Mas Rezky?" panggilku seperti tak percaya bahwa dia ada di sini.

Mas Rezky tersenyum, dan langsung mendekat padaku. "Iya, Rina. Ini aku"

Elysia yang sejak tadi menumpukan kepalanya di bahuku, jadi ikut mengangkat wajahnya untuk melihat Mas Rezky yang kini sudah berdiri tepat di hadapanku.

"Ayah," kata Elysia dengan tangisannya yang tersedu-sedu.

Mas Rezky tersenyum ke arahku, dan langsung menarik pelan tubuh Elysia dari gendonganku.

Kini, Elysia sudah masuk ke dalam rengkuhan Mas Rezky.

"Iya, sayang. Ini Ayah," ucap Mas Rezky sambil mengusap-usap punggung bergetar Elysia.

Kenapa hatiku tiba-tiba jadi langsung berdebar saat mendengar Mas Rezky menjawab ucapan Elysia dengan menyebut dirinya sendiri sebagai Ayah?

Kenapa?

Elysia langsung memeluk leher Mas Rezky dengan begitu eratnya, "El kangen Ayah," kata Elysia dengan sesenggukannya.

Dan Mas Rezky juga masih begitu setia mengusap-usap punggung Elysia, "Iya, sayang. Ini, Ayah. Jadi, El berhenti ya nangisnya."

Dan ajaib.

Sungguhan luar biasa sekali.

Karena tangisan Elysia benar-benar langsung berhenti setelah Mas Rezky datang ke sini.

Mas Rezky berjalan pelan ke arah sofa, dan langsung mendudukkan dirinya di sana, dengan Elysia yang berada di atas pangkuannya.

"Udah ya nangisnya. Ayah udah ada di sini sama El dan Mama," kata Mas Rezky yang kini beralih mengusap-usap belakang kepala Elysia.

Elysia mengangguk, dan beringsut makin masuk ke dalam pelukan Mas Rezky. "El kangen Ayah."

"Iya, sayang. Ayah juga kangen banget sama El."

Aku hanya terdiam sejak kedatangan Mas Rezky di sini. Karena jujur saja, melihat interaksi teramat manis yang sedang terjalin di antara Elysia dan Mas Rezky saat ini, membuat sudut hatiku jadi berdenyut sedikit nyeri.

Kini, tangisan Elysia benar-benar sudah mau berhenti. Dan sepertinya, sekarang, putriku tertidur di pangkuan Mas Rezky, karena sudah lelah menangis sejak tadi.

Aku menyusul Mas Rezky dengan duduk di sofa yang ada di seberangnya.

"Sejak kapan El nangis, Rin?" tanya Mas Rezky.

"Dari sejak El bangun, Mas. El udah nangis terus."

"El udah minum obat belum?"

Aku menggelengkan kepalaku dengan gerakan yang sangat lesu, "Belum, Mas. El juga belum mau makan dari tadi. Cuma mau minum jus aja. Itu juga langsung dikeluarin. Tadi, udah dicoba buat diminumin obat, tapi malah muntah-muntah."

Mas Rezky terlihat menunduk untuk melihat Elysia yang ada di pelukannya, "El bobo," ucap Mas Rezky dengan suaranya yang dipelankan.

Setelahnya, Mas Rezky kembali mengangkat wajahnya untuk bertemu tatap denganku lagi. "Biarin El tidur dulu ya. Nanti, habis sholat magrib, kita bangunin El buat makan dan minum obat."

Aku langsung mengangguk tanda setuju. "Iya, Mas."

Tapi setelah menjawab seperti itu, tiba-tiba aku langsung tersadar akan sesuatu. "Oh iya, Mas. Kok Mas Rezky bisa datang ke sini?"

"Tadi, Bu Widya telepon. Dan ngabarin, kalau katanya, El nangis terus dari tadi. Belum mau berhenti. Jadi aku langsung cepet datang ke sini."

Aku menghela napas cukup panjang. Karena ternyata, dugaanku memang benar, bahwa Ibu tetap menelepon Mas Rezky, sehingga Mas Rezky bisa ada di sini sekarang.

"Maaf ya, Mas. Maaf, karena aku jadi terus-terusan buat repot Mas Rezky."

Mas Rezky tersenyum teduh sekali ke arahku, "Rina, aku udah sering banget bilang, kalau kamu dan El itu nggak pernah buat aku jadi repot. Dan aku memang benar-benar nggak pernah merasa direpotkan sama kalian. Jadi, kamu jangan merasa nggak enak hati kaya gitu lagi ya."

"Tapi kan, Mas ..."

Aku belum selesai berbicara, tapi Mas Rezky sudah langsung memotongnya. "Nggak ada tapi-tapian, Rina. Aku nggak repot, dan nggak pernah merasa direpotkan juga. Jadi kamu nggak usah minta maaf terus sama aku. Oke?"

Aku menghela napas pasrah.

Mas Rezky tersenyum lagi padaku, "Capek?"

Aku membolakan kedua mataku, "Hah?" tanyaku malah seperti orang yang sedang linglung.

Mas Rezky terkekeh, "Sekarang, kamu pasti lagi capek banget, Rin. Udah makan belum?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Nggak sempat, Mas. Soalnya, El nangis terus dari tadi. Jadi aku cuma gendong dan coba nenangin El. Tapi ternyata, usahaku juga gagal. Nggak berhasil."

"Sekarang, kamu makan dulu ya. Soalnya, ini udah hampir petang loh, Rin. Dan kamu pasti belum makan dari tadi siang."

Ya. Aku memang belum makan, dan bahkan belum minum apa pun setelah pergi dari area kolam renang.

"Makan dan minum dulu, Rin. Dan istirahat. Biar kamu nggak ikutan sakit. Aku udah datang, dan ada di sini sama kamu. Jadi, El bisa sama aku dulu."

Aku menganggukkan kepalaku, "Makasih ya, Mas."

"Sama-sama, Rina."

Dan ya, ternyata, kedatangan Mas Rezky tak hanya sangat berhasil untuk menghentikan tangis histeris dari Elysia. Tapi juga jadi seseorang teramat baik yang begitu tulus memberikan kepeduliannya, serta membuatku jadi sadar sepenuhnya, bahwa ternyata, aku memang tetap seorang wanita yang membutuhkan dukungan kuat dari yang lainnya. Apalagi tentang Elysia, yang kini mulai paham betul dan sangat pandai menyampaikan isi hatinya.

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang