137. Tersentuh

271 40 0
                                    

❤ Rina

Mas Rezky sudah mulai menyantap nasi goreng pesanannya. Tapi Mas Rezky berkali-kali menguap, jadi acara makannya pelan sekali dan berulang kali terjeda karena tangan kanannya harus menutup mulutnya yang terbuka.

"Mas mau disuapin?" kataku.

Mas Rezky yang baru saja selesai menguap langsung menoleh ke arahku, "Sama Nana?"

Aku mengangguk mengiyakan.

"Nggak papa?" tanya Mas Rezky lagi.

Aku mengangguk lagi.

Mas Rezky langsung tersenyum, "Boleh, kalau Nana nggak keberatan," ucap Mas Rezky sambil menyodorkan piring nasi goreng yang masih tersisa setengahnya padaku.

Aku terkekeh lalu meraih piring nasi goreng dari Mas Rezky, "Sini, Mas duduknya agak majuan, tapi jangan deket banget ya?" kataku memperingati.

Mas Rezky masih tersenyum lalu memajukan duduknya dan meletakkan bantal sofa di atas pangkuannya.

Aku mulai menyuapi Mas Rezky, "Kalau masih ngantuk, habis ini, Mas tidur lagi aja. Ya? Nanti Nana bangunin sekalian sholat asar."

"Udah nggak begitu ngantuk, cuma masih capek aja. Jadi dari tadi, Mas nguap terus."

"Mas lagi sering lembur?"

Mas Rezky mengangguk, "Iya, Na. Menjelang akhir tahun, jadi alhamdulillah, banyak banget agenda piknik."

Mas Rezky sudah selesai dengan acara makannya, jadi aku langsung memberikan gelas air minum padanya. "Minum dulu, Mas."

Mas Rezky mengangguk lalu menerima uluran gelas dariku dan langsung meminum isinya sampai tandas.

"Makasih ya, Na. Mas udah kenyang," ucap Mas Rezky dengan senyuman tipis yang menurutku makin memperlihatkan kalau dirinya memang sedang sangat kelelahan.

Mas Rezky menyandarkan tubuhnya di bahu sofa. Dan matanya tertutup di kedua bagiannya.

Sepertinya, Mas Rezky memang benar-benar sedang kelelahan dengan banyaknya pekerjaannya. Hembusan napas Mas Rezky terdengar sangat berat. Lalu kantung mata yang tak pernah ada, kini jadi seperti ingin muncul secara perlahan, dan memberitahukan kalau Mas Rezky memang sedang lelah dengan padatnya kegiatan yang ia punya.

"Mamas," panggilku pelan.

Mas Rezky sedikit tersentak dengan panggilanku, lalu menoleh cepat ke arahku.

"Dalem," jawab Mas Rezky sambil tersenyum. "Tumben, Nana panggil Mas lengkap banget."

Aku tersenyum.

"Kenapa? Hm?" tanya Mas Rezky yang kini sudah memutar tubuhnya sempurna menghadapku.

"Agenda paling dekat, Mamas pergi ke mana?"

"Ke Malang."

"Mamas berangkat kapan?"

"Hari kamis malam, Na. Kenapa? Nana Mau ikut?"

Aku menggelengkan kepalaku, "Nggak. Kan Nana masih harus kerja. El juga belum libur lagi sekolahnya."

Mas Rezky mengangguk tanda mengerti.

"Mamas di Malang, berapa hari?"

"3 hari. Kamis malam berangkat dari sini. Hari Minggu siang atau sore, perjalanan pulang dari sana."

Aku terdiam sebentar.

"Kenapa? Hm? Nana pengin ngomong apa sama Mas?"

Sepertinya, Mas Rezky mulai menyadari kegundahan yang kupunya.

"Sekarang, hari Selasa ya?"

Mas Rezky lekas memberikan anggukan kepala, "Iya. Kenapa?"

"Kamis paginya, Mamas longgar nggak?"

"Belum tahu. Tapi kayaknya, Mas nyiapin buat acara ke Malang. Kenapa? Nana mau ditemenin? Atau mau dianterin ke mana?"

Aku menggelengkan kepalaku lagi.

Mas Rezky mendekatkan lagi jarak duduknya, walau tetap masih ada sekat yang memisahkan tempat duduk kami berdua. "Kenapa? Nana pengin apa? Hm? Hari ini, manis banget, manggilnya Mamas. Kenapa? Bilang aja sama Mas, Nana mau apa? Nanti pasti, langsung Mas belikan."

"Kalau Mamas longgar, hari Kamis pagi, Mamas mau main ke rumah Ibu?"

"Rumah Bu Widya?"

Aku langsung mengangguk tanpa ragu, "Iya. Sekalian Mas ajak Ibu dan keluarga Mas Rangga juga, mumpung lagi di Semarang," jawabku sambil tersenyum senang.

Mas Rezky terdiam setelah mendengar ucapanku.

"Nana?"

"Dalem, Mas."

"Mas nggak mau salah paham. Jadi Mas mau nanya langsung aja sama Nana."

Aku mengangguk.

"Mas cuma suruh main, atau suruh ngelamar?"

Aku tersenyum semakin cerah, "Mau main aja, boleh. Kalau berani langsung ngelamar, ya Nana terima."

*****

Kali Kedua ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang