10. Menu Baru

3.8K 464 56
                                    

❤ Rina

"Rin, besok, masih nginep di sini, kan?"

"Nggih, Bu. Rina sama El nginep di sini sampai hari Minggu."

Ibu langsung tersenyum dengan sangat bahagia setelah mendengar jawaban memuaskan dariku.

"El sering-sering aja ya libur sekolahnya. Jadi kamu sama El, bisa nginep di sini lebih lama."

Aku terkekeh pelan. "Maunya El juga begitu, Bu. Kalau lagi bosen, mintanya libur. Tapi kalau kelamaan libur, El langsung repot banget minta berangkat sekolah terus."

"Mirip kaya Papanya."

Aku langsung menganggukkan kepalaku sebagai tanda setuju. "Iya, Bu. Memang mirip banget sama Mas Rama. Kalau udah minta sesuatu, pokoknya, harus. Repot kalau belum diturutin. Dulu si. Kalau sekarang, alhamdulillah, udah nggak."

Ibu tertawa setelah mendengar ceritaku tentang bagaimana miripnya kelakukan Elysia dan Mas Rama.

"Iya. Soalnya Rama anak mbarep. Terus dulu, almarhum Bapak juga alhamdulillah usahanya dikasih lancar sama Allah. Jadi ya begitu, Rama minta apa aja, pasti langsung keturutan. Njaluk opo wae, neng Bapak mesti langsung dituruti."

(Mbarep = Pertama, Njaluk opo wae neng Bapak mesti langsung dituruti = Minta apa saja sama Bapak pasti langsung dituruti)

Aku terkekeh kembali, "Mas Rama juga seneng banget manjain El, Bu. Shinta juga. Makanya kalau lagi di sini, El jadi seneng banget ngalem. Soalnya ada banyak yang manjain."

(Ngalem = Manja)

Ibu tertawa, juga memberikan anggukan kepalanya. "Ya begitu. Soalnya Shinta juga dimanja sama Masnya. Jadi sama ponakan wedoknya juga nggak eman-eman dia. Selagi Shinta memang bisa, ya pasti bakal langsung dikasih sama Shinta."

(Ponakan wedok = Keponakan perempuan)

"Nggih, Bu. Tapi kalau sama Rina, Rina nggak selalu nurutin apa maunya El. Ada kalanya El harus nunggu dulu, walau sebenarnya Rina bisa kasih saat itu juga. Rina bersikap seperti itu, karena Rina pengin El tahu, kalau di dunia ini ada saatnya kita harus sabar terlebih dahulu. Harus berusaha dulu untuk mendapatkan apa yang kita mau. Kalau apa yang El mau selalu langsung dikasih, Rina cuma takut kalau nanti El malah jadi manja dan gampangin sesuatu. Jadi nggak mau berusaha, dan malah ketergantungan dengan orang lain. Itu bahaya banget, Bu. Dan Rina beneran nggak mau kalau El sampai tumbuh jadi anak yang seperti itu."

Ibu masih tersenyum ke arahku, lalu mengelus lembut puncak kepalaku. "Iya, Rin. Pokoknya, Ibu selalu setuju sama apa pun keputusan kamu untuk El. Selagi itu memang baik, maka Ibu pasti akan dukung kamu. Sepenuhnya. Yang penting, jangan terlalu keras. Ya? Dan Ibu lihat, hasil didikan kamu memang bagus banget untuk El. Salah satu contohnya, ya sekarang ini, El udah pinter banget kalau ngomong. Padahal El masih TK, tapi udah pinter banget kalau diajak diskusi."

Aku langsung terkekeh, bahkan jadi ingin sekali untuk tertawa saat ini juga. "El cerewet kaya Rina ya, Bu?"

"Tapi justru itu yang bikin Ibu sering kangen. Soalnya kamu sama El selalu berhasil buat rumah jadi rame."

Setelahnya, aku dan Ibu langsung tertawa di waktu yang sangat sama.

"El tambah mirip sama kamu ya, Rin. Pantes aja Rama sering protes. Jare Rama, nak wedok nggak mirip blas sama aku, Bu. Kabeh mirip Rina. Sak wajahe, sak polahe, sak ngguyune, kabeh mirip Rina. Aku kebagian irung sama bibirnya aja, Bu." (Kata Rama, anak perempuanku sama sekali nggak mirip aku, Bu. Semua diambil Rina. Ya wajahnya, ya tingkahnya, ya senyumnya, semua mirip Rina. Aku kebagian hidung sama bibirnya aja, Bu)

Kali Kedua ✔Where stories live. Discover now