60. Perasaan

1.5K 162 60
                                    

Warning⚠⚠

3k words🍩

SIAPKAN KANTONG KRESEK KARENA TAKUTNYA KALIAN MUNTAH🔥

JANGAN LUPA PENCET BINTANG TERLEBIH DAHULU🆗

HAPPY READING🔪🔪🔪

***

Rasa yang gue bilang ini nyata dan bukan hanya kebohongan belaka, karena di dalamnya terdapat sebab yang dinamakan cinta, dan orang yang terlibat adalah lo, Ayna.

-A-

****

Seperti sudah terbiasa, Ayna menggenggam erat selang infus yang hampir seluruh membalut telapak tangan kirinya. Dia mendesis pelan, menatap langit-langit kamar inap yang harus dia tempati, lagi. Putih. Satu kata yang jelas sedang berada di pikirannya.

Putih~

Ayna baru ingat warna kesukaan Anka adalah warna putih. Disaat cowok kebanyakan menyukai warna hitam, Anka lebih memilih putih. Dia berbeda. Apakah benar?

Gadis bermanik cokelat tersebut menghela napas. Layar monitor terus berbunyi membuat dia tidak segan mencabut sambungan kabel dari listrik yang terpasang di sampingnya. Sungguh menyebalkan. Keadaan Ayna tidak seburuk itu untuk dipasang alat monitor. Mereka semua--para dokter--sangat lebay.

Pintu terbuka sesaat, menampilkan sesosok yang sangat membuat diri Ayna menggebu-gebu di sekolah tadi. Ayna bersidekap ketika Anka menyilangkan kedua tangan di depannya dengan mata nyalang yang tertuju pada gadis itu. Dia mendengus malas saat Ayna malah menyengir lebar.

"Lo tau salah lo, apa?" interupsi Anka dengan kedua tangan yang masih bertahan di depan dada.

Ayna merapatkan bibir. "Gue masih sehat elah. Kalo cuma alat monitor mah gue gak perlu."

Anka membalasnya datar, tanpa meminta persetujuan Ayna, dia berjalan menuju monitor lalu kembali menyambungkan kabel tersebut pada listrik. Dia menelisik Ayna ketika gadis itu berubah gelisah.

"Haish, Ka! Gue gak suka denger suara layar sialan itu. Berisik tai!" Ayna menggembungkan pipi sebal, dia membuang muka menjauhi tatapan Anka.

Anka berjalan mendekati Ayna dan menggenggam lengannya erat. "Na, sekali ini tolong dengerin gue. Kesehatan lo sekarang nomor satu bagi gue."

Blush~

Pipi Ayna merah mendadak. Dia merasa ucapan Anka tidak ada yang salah, lalu mengapa dia harus baper?

Oh, tidak! Wajahnya tiba-tiba panas.

Anka menarik kursi, memilih duduk tepat di hadapan Ayna. "Udah gue bilang kemarin, jangan pergi ke sekolah dulu. Bego sih, lo," Anka melemparkan tatapan kesal. "Udah tau masih lemas. Sok kuat, tolol!"

Tiba-tiba Ayna menjadi kesal setengah mati. Dia dongkol seketika. Dia tidak rela dibilang bego, tolol dan semacamnya. Walau kenyataannya memang seperti itu. Tapi tetap saja, seorang Ayna tetap seorang Ayna, tidak ada seorangpun yang boleh mengejeknya.

"Alah, diem deh, lo. Bikin gue kesel aja. Udah tau gue masih pusing, dibikin tertekan lagi," Ayna melepas selang infusnya spontan membuat darah mengalir setetes demi setetes.

Anka membulatkan mata. Dia berdiri panik ketika darah kembali menetes. "Goblok!" Dia mengambil lengan Ayna lalu membalutnya dengan selimut yang ada di kasur. Anka meringis ketika darah tidak berhenti keluar. Segera menekan bel darurat dan terus membalut lengan Ayna dengan selimut sampai darahnya tidak lagi menetes.

My Enemy Ayna Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang