10. Sawan

2.3K 143 10
                                    

"Kaaa! Oii!" Ayna terus berlari menerjang hujan tanpa payung. Karena payungnya sudah terbang dibawa oleh sang angin.

Tittt

"AKHHHHHHHH."

"Oi, neng. Ngapain teriak? Kena aja kagak," ucap seorang Bapak-bapak dari dalam mobil.

"Bapak tuh ya ngagetin saya tau, gak?" gerutu Ayna.

"Ye malah nyalahin bapak. Neng kali yang asal lari," ucap Bapak itu lagi.

Ayna mulai sewot. "Ihh, terserah saya dong mau lari atau gak. Kalo Bapak yang salah ya terima kenyataan aja kali, Pak."

Ayna melihat Bapak itu yang umurnya sekitaran kepala empat. "Neng basah, mau masuk ke mobil Bapak gak? Nanti Bapak bantuin ngeringin baju loh," tawarnya.

Ayna menatap horor Bapak itu lalu pergi kembali mengejar Anka yang kini sudah masuk ke dalam mobil.

"Loh loh, Neng. Kok pergi? Saya teh bermaksud baik atuh, Neng. Ya sudahlah kalau tidak mau," Ayna mengabaikannya dan terus berlari menerjang hujan yang kini sudah lebih reda dari yang sebelumnya.

"Anka, lo kenapa sih? Sawan lo ya, main pergi-pergi aja," Ayna masuk ke dalam mobil dengan napas terengah.

Anka melirik Ayna yang terus menggerutu sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya, sesekali dia meniup agar dapat kehangatan.

Anka yang melihat itu hanya diam tak mau bergeming. Dia menancapkan gas meninggalkan perkarangan Cafe.

Di sepanjang jalan Ayna terus memeluk tubuhnya akibat kedinginan. Hujan sudah berhenti, membuat jalanan kota yang padat ini berkubangan lumpur. Ayna memajukan bibirnya lima senti.

"Gue mau es krim," pintanya.

Anka tetap fokus pada kemudinya. "Udah tau kedinginan. Malah minta eskrim, mau cepet mati?"

Ayna membulatkan bibirnya. "Gue gak mau mati sebelum pacaran sama abang lo, jadi gue gak akan pernah mati sebelum hal itu terjadi."

Anka menggeram. "Berhenti bicarain dia, gue muak," Anka menajamkan tatapannya. Ayna menaikkan satu alis keatas.

"Muak lo bilang?" Ayna tersenyum sinis. "Lo iri kan sama abang lo, mentang-mentang abang lo lebih hebat dan lebih banyak yang sayang daripada lo. Termasuk gue," sombong Ayna.

Anka berdecih. "Najisin banget. Mending lo diem atau gue turunin di tengah jalan."

"Iri tanda tak mampu loh," goda Ayna lagi dengan cengiran khasnya sambil menunjuk-nunjuk wajah Anka.

Anka memutar bola matanya malas, sudah menyerah. Dia lebih memilih mengabaikan Ayna daripada meladeninya. Ribet.

***

"Eh. Kalian udah pulang?" tanya Nayna saat melihat putranya sudah tiba di ruang tamu.

"Belum Tante," celetuk Ayna dari dalam dapur. Ayna sudah mengganti bajunya dengan baju yang kemarin tinggal di rumah Anka.

Dahi Nayna bergelombang. "Kok kamu makan es krim di tengah malam sih? Nanti sakit loh."

Ayna kembali mengemut eskrimnya. Saat dalam perjalanan pulang tadi Ayna sempat merengek minta es krim sehingga Anka pun membelikannya. Takut kalau dunia ini akan runtuh dengan tangisan Ayna.

"Bodo amat, Tante. Yang megang hidup aku tuh Tuhan, bukan es krim," jawabnya enteng.

Nayna menghela napas. "Ya udah, terserah kamu. Tapi kalo kamu mati mendadak nanti malem, Tante gak nanggung."

Ayna tergelak. "Aye aye captain."

Anka berjalan menuju kamarnya meninggalkan Nayna dan Ayna. Ayna tidak terlalu peduli, dia rebahan di kasur sambil mengemut es krimnya.

"Tante," panggil Ayna.

Nayna yang awalnya ingin pergi mengurungkan niat. "Iya, Ayna?"

"Aku mau nanya sesuatu dong."

"Mau nanya apa?"

Ayna mengubah posisinya menjadi bersilah. "Um, ini soal anak-anak Tante."

Nayna terdiam sebentar. "Siapa?"

"Anka."

"Kenapa sama dia?"

Ayna menjilati bibirnya sekilas. "Si Anka ituloh, Tante. Dia kenapa sih?"

"Kenapa emang? Dia gak kenapa-kenapa kok. Perasaan tadi dia sehat-sehat sentosa aja."

"Bukan gitu maksud aku, Tante. Akutuh suka bingung sama dia. Sikapnya itu kadang aneh banget."

"Aneh gimana sih, Ayna. Kamu kalo ngomong jangan separuh-separuh. Tante jadi ngerasa aneh."

Ayna mengubah raut wajahnya jadi serius. "Kayaknya .... Dia ada sawan, Tante."

Nayna terkekeh kecil. "Ngaco. Anak Tante itu gak pernah sawan."

Ayna mengedikkan bahu acuh. "Siapa yang tau," Ayna bangkit dari tempat duduk, es krimnya sudah ludes abis menyisakan tangkai. "Kita aja gak tau dia lagi ngapain sekarang."

Ayna berjalan meninggalkan Nayna yang tertawa keras. Entah apa yang lucu Ayna tak tau.

"Mungkin gue keliru. Bukan Anka yang sawan, tapi nyokapnya," gumam Ayna pelan.

***

Anka merebahkan tubuhnya di kasur, meneliti setiap inci atap kamarnya. Menerawang kejadian-kejadian yang telah berlalu beberapa tahun terakhir.

Anka mengambil ponsel, membuka aplikasi berwarna hijau.

Refyal Alfareza
Gue mau ngomong sesuatu sama lo. Ini penting!

Anka tersenyum sinis. "Ternyata ini yang dibilangnya penting. Sampah!"

Anka melempar ponselnya ke sisi lain dari kasur. Dia frustasi. Memikirkan segala sesuatu itu saja sudah membuatnya ingin bunuh diri.

"Bangsat!" umpatnya.

Anka menutup wajahnya, mencoba memejamkan mata berat itu walau hanya sedetik. Sangat sulit.

Apa gue harus pakai itu lagi?

Anka berdiri dan berjalan menuju lemari. Mengambil beberapa pil obat. Sejenak dia terdiam, kembali berpikir, tetapi di menit selanjutnya, dia langsung melahap obat tersebut tanpa bantuan air.

Beberapa menit kemudian dia sudah terlelap. Bahkan sangat lelap, seperti orang mati.

Seorang anak kecil meringkik kesakitan ketika mengetahui bahwa kakinya telah menghilang.

"Mamaaaaa," teriaknya.

"DIAM!"

"Mamaaaaa," anak itu semakin histeris.

***


🔜🔜

My Enemy Ayna Where stories live. Discover now