41. Ranti (4 Tahun Lalu)

78 15 0
                                    

     Giliranku syuting sudah selesai. Kini aku duduk menunggu di bawah pohon asam jawa yang buahnya sedang lebat. Meski aku agak kuatir kejatuhan buahnya, tapi tempat itu yang paling dekat dengan lokasi syuting Brendan. Sehingga aku bisa menunggu sekaligus masih bisa mengawasi Brendan. Lagipula udara jauh lebih sejuk di sini karena dibarengi oleh hembusan angin sepoi siang hari. Sekilas aku mencium aroma lezat masakan. Aku langsung mengecek jam tanganku dan tersenyum. Sebentar lagi pasti akan break syuting untuk makan siang dan sholat Dhuhur.

     "Cut! Oke, istirahat sampai jam setengah dua!" seru sutradara.

     Brendan langsung berjalan menghampiriku dengan senyumnya yang menawan hati banyak gadis-gadis. Ia nampak tidak kelelahan meski durasi syuting cukup panjang.

     Aku berdiri dari tempat dudukku agar aku bisa pergi ke tempat sholat sebelum makan siang. Sekaligus sebenarnya aku juga kuatir Brendan mulai memperlihatkan sikapnya yang berbeda saat bersama denganku. Aku tidak ingin banyak orang menyadari hal itu.

     "Mau sholat dulu ya?" tanya Brendan saat sudah berada di dekatku.

     "Iya," jawabku lugas. "Aku sudah siapkan minuman dingin di cool box merah itu. Kalau kamu mau makan siang duluan, silahkan saja. Nggak usah nunggu aku selesai sholat."

     "Oke," jawab Brendan sambil melihat ke arah cool box. Sepertinya ia kehausan. "Tapi aku mau makan siang bareng Kak Ranti aja."

     Aku sudah menduga dia akan bicara demikian. Maka aku sudah menyiapkan jawabannya.

     "Kamu harus makan siang bareng pemain film lainnya. Sangat penting membangun chemistry di antara pemain supaya feel-nya dapet saat syuting."

    Brendan diam sejenak. Lalu mulai nyengir. Aku langsung paham bahwa ia pasti akan mengatakan hal yang membuatku kesal.

     "Masalahnya, Kak..." mulai Brendan dengan senyum tengil. "Saya maunya dapet feel-nya Kak Ranti. Bukan yang lainnya."

     Aku mendengus kesal. Mulai bandel nih cowok. Pikirku.

     "Nggak usah ngomong yang aneh-aneh," sahutku dingin. "Sudah minum dulu, sana!"

     Tepat pada saat itu, aku mendengar asisten Oom Bilal berseru memanggilku. Saat aku menoleh padanya, ia dengan antusias menyuruh aku menghampirinya dengan isyarat tangannya yang mengayun-ayun ala orang yang memanggil pedagang keliling. Aku mengacungkan jempolku tanda aku memahami instruksinya.

     "Brendan, aku ke mas Adi dulu," pamitku. "Ingat, ya? Nggak usah nunggu aku untuk makan siang."

     Brendan mengangkat bahunya dan memasang ekspresi menjengkelkan yang berarti bahwa ia tidak menjamin akan menurutiku untuk makan siang duluan bersama para pemain film lainnya.

     Aku bergegas menuju mas Adi, asisten  oom Bilal selama menjadi sutradara film ini. Saat sudah dekat, mas Adi langsung berkata bahwa oom Bilal ingin bicara padaku di tempat sutradara melihat hasil syuting. Tanpa banyak bicara, aku langsung menemui oom Bilal. Aku curiga  jika oom Bilal sampai memanggilku secara pribadi, pasti ada hal penting yang ingin beliau bicarakan.

     Oom Bilal nampak duduk sambil menikmati kopinya di depan layar monitor mungil yang memutarkan adegan syuting yang diambil hari ini. Topi pet coklat tuanya agak miring. Raut wajah beliau nampak serius sambil mengamati layar mungil di depannya. Saat aku sudah di dekat oom Bilal duduk, aku bisa mencium aroma harum kopi yang terbawa angin sepoi ke arahku.

Reading RainbowWhere stories live. Discover now