24. Devon (2 Tahun Lalu)

87 17 2
                                    

    Kilatan lampu blitz kamera langsung menghujaniku saat aku turun dari mobil menuju pintu masuk gedung venue tempat Blitz Magazine Award diadakan. Aku berjalan di sepanjang karpet merah sambil memasang senyum yang sebenarnya kupaksakan karena dalam hati aku merasa entah kenapa karpet merah ini seperti tidak ada ujungnya. Official acara langsung menyambutku dan memintaku untuk berhenti berjalan sejenak dan berpose di depan sebuah backdrop lebar dengan motif logo Blitz Magazine Award. Aku sudah familiar dengan situasi seperti ini. Kemana aku harus memandang, pose seperti apa yang harus aku pasang, senyum dan sorot mata seperti apa yang harus aku pilih. Aku sudah hapal semuanya.

    Telingaku sebenarnya agak jengah mendengar teriakan fans yang membahana di sepanjang jalan saat aku lewat di depan mereka. Teriakan namaku, teriakan 'I love you', dan tentu saja sodoran buku agar aku mau berbagi tanda tangan selalu menghiasi acara seperti ini. Sebenarnya aku ingin membagi tanda tanganku untuk mereka semua. Tapi official acara menginstruksikan aku untuk terus berjalan mengikuti mereka.

    Aku diajak untuk berhenti di depan reporter acara Blitz Magazine Award untuk wawancara singkat. Seorang wanita cantik beramput ikal tergerai dengan gaun panjang mewah berwarna hitam yang memamerkan leher jenjangnya menghampiriku sambil membawa mic. Aku bisa mencium harum parfumnya sebelum ia sampai di dekatku. Benar-benar berbeda dengan Boss yang bau harumnya baru tercium saat aku benar-benar berdekatan dengannya. Reporter wanita yang cantik itu juga memakai make up sempurna tanpa cela. Polesan lipstik berwarna merah menantang mengesankan ia adalah seorang wanita glamor. Sungguh berbeda dengan Boss yang selalu mengenakan make up ringan bahkan nampak seperti tidak mengenakan make up sama sekali. Boss mengesankan ia adalah wanita sederhana yang apa adanya.

     Aku memaki diri sendiri dalam hati karena sejak pagi selalu teringat pada Boss yang hari ini absen bekerja. Aku baru seminggu bersamanya tapi entah kenapa saat sehari ini Boss tidak ada, aku merasa ada sesuatu yang kurang. Tadi pagi saat Bik Nah menawariku sarapan, aku tidak punya selera makan sama sekali. Maka aku hanya berjalan-jalan di taman belakang rumah sambil bermain dengan ikan-ikan koiku sepanjang pagi. Setelah itu aku menghabiskan siang dengan treadmill-ku. Aku hanya makan sepotong sandwich untuk makan siang, lalu tidur.

    Aku bosan sekali.

    Sorenya saat bangun, aku merasa tubuhku sedikit demam. Tapi aku mengabaikannya karena bagaimanapun juga aku harus bersiap karena sebentar lagi aku harus menghadiri malam penghargaan Blitz Magazine Award. Boss berkali-kali mengingatkan aku untuk hadir. Karena kehadiranku adalah salah satu daya tarik acara itu agar saat disiarkan langsung di televisi, rating acara ikut terdongkrak karena kehadiranku di sana.

     Sehabis maghrib, Tisya datang membawa setelan jas dan asesorisnya. Ia telah siap mendandaniku agar aku tampil mempesona tanpa cela. Agar para wanita tidak bisa melupakan senyum menawan dan penampilan bak pangeran dariku. Tanpa banyak bicara dan protes seperti biasanya, aku mengijinkan Tisya bekerja mendandaniku. Biasanya aku sengaja cerewet tentang asesoris yang menurutku terlalu heboh. Tapi hari ini aku biarkan saja Tisya memilihkan jam tangan Rolex milikku yang paling gemerlap seperti bermandikan kemewahan.

     Aku benar-benar bosan.

     Tisya nampak bahagia karena aku tidak banyak protes dan komentar. Dia beberapa kali berkata agar aku terus seperti sekarang. Menurut padanya tanpa banyak bicara. Tisya juga berkata bahwa Boss pasti juga akan senang jika aku lebih penurut seperti saat ini.

     Aku tidak menanggapinya. Tapi entah mengapa dadaku terasa agak sakit saat Tisya menyebut nama Boss.

     Apa aku marah pada Boss karena tidak menemaniku hari ini?

Reading RainbowМесто, где живут истории. Откройте их для себя