62. Devon (1,3 Tahun Lalu)

61 16 0
                                    

Aku memperhatikan Oom Baron memberikan instruksi dengan seksama. Oom Baron menginginkan adegan yang 'creepy' untuk scene berikutnya. Kini saatnya aku harus mengatur ekspresi wajahku agar penonton mampu menangkap ketegangan dari raut wajahku.

Setelah selesai menginstruksikan para pemain, Oom Baron mengistirahatkan kami selama lima menit. Ada waktu buatku mengatur napas dan minum. Syuting film memang melelahkan. Apalagi jika ada adegan yang harus sering diulang. Tapi anehnya aku sangat menikmatinya. Kesibukan crew film, diskusi dengan sutradara, interaksi dengan sesama pemain film, makan bersama saat 'wrap up party' setiap selesai syuting terakhir, kostum, visual effect makeup, latihan menghapal dialog, semuanya aku sukai.

"Minumlah dulu." ujar seseorang di belakangku.

Aku balik badan dan kulihat Sania sedang menyodorkan sebotol air mineral padaku.

"Kamu hanya mau minum air mineral kan selama syuting?" tanya Sania retoris.

Aku menerima air mineral botol dari Sania karena tidak ingin mengecewakannya.

"Thanks."

"You're welcome," jawab Sania sambil tersenyum. Seharian ini ia harus syuting tetapi belum nampak raut wajah kelelahan dari dirinya. Sania memang aktris yang berbakat.

Sania masih berdiri dengan ekspresi yang sulit kutebak. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi diurungkannya.

"Apa ada yang mau kamu sampaikan?" tanyaku akhirnya.

Sania menatapku dalam diam sejenak sebelum mengatakan, "Kamu sepertinya membenci Brendan."

Aku nyengir mendengar pertanyaan Sania. Lalu aku membuka tutup botol dan minum air mineral dengan santai.

"Betul begitu?" tanya Sania penasaran. Matanya penuh selidik mengamati setiap perubahan ekspresiku.

"Apa aku harus menjawabnya?" ujarku balik bertanya sambil menutup botol air mineralku.

"Tidak juga," sahut Sania. "Semua orang di sini membicarakannya. Jadi setidaknya aku bisa menilai sendiri."

Aku memilih tetap diam dan tidak berkomentar. Sebenarnya aku tidak membenci Brendan. Aku hanya tidak suka saat ia berada di dekat Boss.

"Aku tadi mendengar dari seseorang yang mengatakan bahwa manajermu adalah manajer Brendan dulunya," lanjut Sania lagi. "Benar begitu?"

Aku menoleh menatap Sania dengan sorot mata dingin.

"Aku tidak peduli manajerku dulu menangani siapa. Yang terpenting, saat ini dia adalah manajerku." jawabku akhirnya.

Mendengar nada bicaraku yang dingin, Sania menatapku dalam diam. Kemudian ia menghela napas dalam-dalam seperti berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Dari jawabanmu ini, aku bisa tahu apa penyebab kamu tidak menyukai Brendan," ujar Sania kemudian. Aku menangkap nada getir dalam suaranya.

Aku tetap diam tidak menanggapi Sania. Aku tidak ingin bicara lebih lama lagi dengannya.

"Devon, aku harap kamu tidak terlalu jauh dengan perasaanmu." lanjut Sania. Setelah mengatakan hal itu, kemudian ia melenggang pergi.

Perasaanku?
Memangnya ada apa dengan perasaanku?

"Devon!"

Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku. Tisya sedang berlari-lari kecil menghampiriku.

"Aku harus mengecek makeup-mu dulu sebelum syuting," ujar Tisya saat berada di dekatku. Napasnya ngos-ngosan. Ia mengamati wajahku dengan seksama. "Hmm... Sepertinya masih oke untuk scene berikutnya."

"Boss mana?" tanyaku.

Tisya spontan mendengus sebelum menjawab pertanyaanku. "Seharian ini sepertinya kamu hobi menanyakan hal itu padaku, ya?"

"Lho apa itu salah?" tanyaku heran.

"Nggak. Sama sekali nggak salah. Tapi aneh!"

"Kenapa?" tanyaku tidak mengerti. "Bukankah wajar kalau aku bertanya dimana manajerku?"

Tisya menatapku sejenak, lalu membetulkan letak kacamata bulat sempurnanya yang melorot.

"Devon," ujar Tisya memulai. "Aku sudah jadi MUA-mu selama bertahun-tahun. Dalam rentang waktu selama itu, belum pernah sekali pun kamu berkali-kali menanyakan dimana manajermu kecuali sekarang saat Ranti jadi manajermu."

Aku terdiam.
Apa benar begitu? pikirku. Berarti selama ini aku sudah begitu cuek pada para manajerku.

"Kamu sekarang ini seperti kuatir Ranti menghilang tidak berbekas. Menguap ke angkasa tanpa jejak. " lanjut Tisya.

"Kamu terlalu hiperbolis." tanggapku cuek.

Tisya memutar bola matanya mendengar tanggapanku. Kemudian, karena aku masih menanti jawabannya tentang keberadaan Boss, Tisya akhirnya menyerah untuk diam.

"Ranti sedang meneliti jadwalmu. Barusan tadi aku melihatnya duduk di dekat tempat crew film biasa makan siang." jelas Tisya akhirnya.

"Dia sendirian?" tanyaku mulai was-was.

Tisya menepuk jidatnya sekali. Lalu ia mendekat padaku dan berkata, "Tentu tidak. Dia ditemani malaikat Roqib dan Atid."

Setelah berkata begitu, Tisya pergi meninggalkanku dengan langkah lebar-lebar. Nampak sekali ia sedang kesal padaku.

Aku mendengus tertawa melihat tingkahnya.

Apa benar seharian ini aku sudah berkali-kali menanyakan dimana keberadaan Boss?

Ah, mungkin Tisya hanya kecapekan.

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang