66. Devon (1,3 Tahun Lalu)

67 18 0
                                    

Rumah mungil bercat putih tulang dengan halaman depan cukup luas itu tidak pernah berhenti mempesonaku sejak beberapa hari lalu datang kemari. Ada sebuah pohon mangga cukup tinggi dan rindang sehingga rumah mungil itu tampak sejuk. Beberapa pot tanaman sukulen berjajar rapi di atas rak kayu warna putih di tembok samping rumah. Teras mungilnya bersih dengan dua kursi rotan ditata di bagian samping. Bau tanah basah tercium. Rupanya sang pemilik rumah menyiram tanamannya sejak pagi tadi.

Aku memencet bel yang ada disamping pintu depan dengan hati berbunga-bunga. Tak lama kemudian, aku mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah.

Bunyi kunci pintu terbuka, lalu muncullah Boss di depanku. Pagi ini entah mengapa ia terlihat semakin cantik. Rok pleated warna biru navy dipadukan dengan sweater warna putih dan kerudung warna navy bercorak kotak-kotak membuatnya terlihat elegan. Wajahnya tidak memakai riasan apapun. Ia tersenyum ramah padaku.

"Sudah datang rupanya. Ayo silahkan masuk." ujar Boss ramah.

"Terima kasih," sahutku sambil melepas sepatuku di depan pintu karena Boss yang jadi tuan rumah tidak memakai alas kaki. Hanya kaos kaki hitam. Maka aku harus menghormatinya dengan mencopot sepatuku.

Aku mengikuti Boss masuk ke ruang tamu mungil rumah itu. Hanya ada satu set sofa kotak warna hijau army muda yang nampak empuk. Dinding ruang tamu di hiasi satu lukisan kaligrafi mungil yang aku sudah lupa bagaimana cara membacanya karena aku sudah lama tidak mengaji.

"Kamu mau duduk dulu atau mau langsung ke dapur?" tanya Boss tanpa basa-basi.

"Langsung ke dapur saja," jawabku riang.

"Tapi dapurku sempit. Dengan badanmu ini...," Boss melihat kearahku dengan sorot mata tidak yakin karena postur badanku memang tinggi. "Bisa-bisa nggak cukup. Kepalamu akan sering terbentur karena langit-langitnya agak rendah di bagian depan."

"Kita ke dapur saja untuk melihat apakah memang benar badan saya nggak cukup dijejalkan di sana," sahutku tidak mau menyerah dulu.

   "Aku suka semangatmu," puji Boss. "Ayo ke dapur!"

Pujian dari Boss membuat hatiku seperti melayang. Sambil tetap tersenyum simpul, aku mengikuti Boss beranjak ke dapur di belakang rumah. Tidak seperti rumahku yang jarak ruang tamu ke dapur cukup jauh, perjalanan menuju dapur di rumah Boss sangat dekat. Dari ruang tamu, aku hanya perlu melewati ruang tengah, lalu langsung bagian belakang rumah dengan taman mungil dan dapur.

Seperti kata Boss, dapur rumahnya memang mungil. Bagian depan langit-langit tidak terlalu tinggi karena ternyata ada lemari kayu yang mungkin di dalamnya digunakan sebagai tempat menyimpan alat-alat dapur yang jarang digunakan. Tapi begitu melewati rak kayu, langit-langit cukup tinggi sehingga aku tidak perlu menunduk seperti saat pertama kali masuk ke sini.

Di dapur, aku melihat Ibuk sedang mengaduk sesuatu di dalam panci berukuran sedang yang sedang dipanaskan di atas kompor. Ibuk hari ini mengenakan gamis rumahan warna coklat muda dengan kerudung lebarnya berwarna coklat tua. Begitu melihatku datang, Ibuk meletakkan sendok kayu yang dipegangnya di meja dapur, lalu menghampiriku sambil tersenyum ramah.

"Kamu sudah datang rupanya," ujar Ibuk riang. "Ranti bilang, kamu mau bantu-bantu memasak, ya?"

Aku mengangguk, "Iya, Buk. Rasanya saya tidak enak hati kalau hanya datang untuk makan. Setidaknya, saya ingin membantu juga sekaligus belajar memasak."

Boss nyengir setelah mendengar kalimatku.

"Kenapa, Boss? Nggak percaya ya sama niat saya ke sini?" tanggapku sengaja mulai cari gara-gara.

Boss mengangkat kedua alisnya sebentar, lalu berkata santai, "Percaya kok. Aku cuma nggak biasa mendengarkan kamu bersikap baik begini."

"Ranti, ayo siapkan bawang merahnya!" sela Ibuk berusaha mencegah padepokan silat lidah antara aku dengan Boss kembali dibuka.

Boss menuruti Ibuk dengan langsung berjalan mengambil sebuah apron warna biru kotak-kotak di dekat meja dapur. Kemudian ia mengambil apron warna hitam yang masih terlipat rapi di atas meja dan menyodorkannya padaku.

"Pakai ini. Nanti bajumu kotor." ujar Boss santai.

Aku menerima apron hitam dari Boss dan langsung memakainya. Setelah itu aku melipat kedua lengan kemeja biru mudaku sampai hampir menyentuh siku.

Boss menungguku selesai melipat lengan bajuku lalu memberiku sebuah pisau kecil.

"Tugasmu adalah mengiris bawang merah yang sudah aku siapkan. Iris tipis-tipis, ya?" jelas Boss lalu memberikan semangkuk kecil bawang merah yang sudah dikupas dan dicuci padaku.

"Siap, Boss."

Aku mulai mengiris bawang merah setipis mungkin. Aku ingin hasil pekerjaan pertamaku di dapur ini sempurna.

"Dev... Kalau kamu mengiris bawangnya dengan cara seperti itu, bisa-bisa kita baru makan nanti setelah maghrib," celetuk Boss yang tiba-tiba muncul dari belakangku.

Ibuk mendengus tertawa mendengar komentar Boss. Aku sebenarnya juga merasa bahwa komentar Boss itu kocak, tapi aku sengaja pura-pura merajuk.

"Saya baru kali ini mengiris bawang merah. Wajar kan kalau saya ingin semua hasil irisan saya ini presisi," ujarku membela diri.

"Devon Regner...," ujar Boss sambil menatapku dengan sorot mata iba yang sengaja dibuat-buat. "Setelah kamu masukkan semua bawang itu ke dalam masakan, bentuknya menjadi tidak penting lagi."

Aku mendengus tertawa. Ibuk juga ikut tertawa bersamaku. Boss yang menyadari bahwa komentar-komentarnya ternyata sangat kocak, akhirnya tersenyum lebar.

"Intinya," lanjut Boss. "Tidak perlu sampai sebegitu presisinya, oke?"

Setelah berkata begitu, Boss mendekat ke arahku dan mengambil pisau dari tanganku dengan hati-hati agar jari-jari kami tidak bersentuhan.

"Sini aku tunjukkan caranya." ujar Boss lalu mulai mengiris bawang merah dengan cekatan. Gayanya yang percaya diri membuatku kagum.

"Kalau begitu, kamu haluskan saja bumbu di atas cobek. Tenagamu pasti kuat kan?" tanya Ibuk sambil menoleh padaku.

Aku celingukan mencari cobek yang dimaksud Ibuk. Lalu aku melihat sebuah cobek besar dengan aneka bumbu di atasnya tepat di samping Boss.

"Baik, Buk. Akan saya haluskan semua bumbunya." sahutku menyanggupi.

"Nanti Ranti akan menambahkan hasil irisan daun bawangnya juga ke dalamnya. Hati-hati perih di mata." ujar Ibuk memperingatkan.

"Baik, Buk." tanggapku sambil beranjak ke samping Boss untuk menghaluskan bumbu. Karena dapur memang cukup sempit, pundakku tidak sengaja menyenggol pundak Boss yang fokus mengiris bawang merah. Boss tidak bereaksi apa-apa karena hal ini. Mungkin karena sedang konsentrasi penuh pada bawang merahnya.

Tapi...

Aku merasakan degup jantungku mendadak menggila. Aku berdehem beberapa kali untuk meredakan lonjakan degup jantungku. Tetapi justru hal ini malah membuat perhatian Boss beralih padaku.

"Kamu sakit?" tanya Boss langsung menghentikan aktivitasnya mengiris bawang merah dan menoleh menatapku.

"Ha? Eh... Enggak, kok." jawabku sedikit gelagapan karena terkejut Boss tiba-tiba menatapku penuh perhatian.

"Ah iya. Maafkan aku sampai lupa memberimu minum. Tunggu sebentar." lanjut Boss sambil beranjak pergi menuju kulkas dan mengambil sebotol air mineral dingin dari dalamnya. Ia segera datang menghampiriku dan menyodorkan botol air mineral dingin padaku sambil tersenyum singkat.

"Terima kasih," ujarku lalu mengambil botol air mineral dari tangan Boss dan mencari tempat duduk untuk minum.

Air mineral dingin yang diberikan Boss padaku berhasil meredakan degup jantungku yang menggila sejenak lalu. Dinginnya air yang mengaliri kerongkongan membuatku kembali fokus.

Boss kembali asyik mengiris bawang merah. Sesekali ia memasukkan hasil irisannya ke dalam cobek yang isinya baru seperempatnya berhasil aku lumatkan sampai halus sesuai perintah Ibuk. Dari belakang sini, aku melihat Boss yang cekatan tiba-tiba terkesan sangat cantik di mataku. Hal itu membuatku tidak kuasa menahan senyuman karena kekagumanku padanya.


Reading RainbowWhere stories live. Discover now