31. Ranti (2 Tahun Lalu)

86 15 0
                                    

       Nuansa Amerika Latin sangat kental terasa di restoran keluarga bernama Pablo's Kitchen ini. Dengar-dengar pemiliknya memang orang asli dari Amerika Latin. Para pelayan laki-laki berseragam atasan putih dengan celana hitam dan ikat pinggang kain warna merah seperti matador. Wanita memakai rok rempel warna merah dan kuning yang bertumpuk. Ada sajian live music yang penyanyinya ala grup mariachi lengkap dengan sombrero-nya. Alunan musik yang rancak membuat resto ini selalu terkesan dinamis dan unik.

      Aku memandangi anak-anak Febby yang mulai tumbuh tinggi. Ray, anak pertama, sekarang sudah kelas 4 SD. Dan si kembar Carla dan Carly sekarang kelas 2 SD. Suami Febby dinas di luar kota sehingga tidak bisa bergabung bersama kami malam ini. Aku ikut merasa senang melihat keributan Febby mengurus anak-anaknya. Ray yang bersikap selayaknya kakak laki-laki beberapa kali menegur adik kembarnya yang berebut hadiah mainan kids meal meski mereka sudah punya sendiri-sendiri.

     Aku juga mengamati Rima dan Farhan yang nampak senang melihat anak-anak Febby karena mereka berdua hingga kini belum dikaruniai anak. Aku sungguh berharap agar mereka berdua segera mendapatkan buah hati.

      "Ranti, kamu tambah cantik aja. Kayaknya awet muda terus, deh." seloroh Febby sambil mengikik geli.

     "MaasyaAllah. Awet muda apa awet tua? Udah mau empat puluh tahun loh ini," sahutku sambil terkekeh menanggapi Febby yang selalu periang.

     "Life begins at fourty. Remember?" timpal Rima sambil tersenyum.

     "That's right!" ujar Febby semangat.

     "Kamu nggak pernah kuwalahan mengurus anak-anakmu, Feb?" tanya Farhan yang sedari tadi diam dan hanya ikut senyum-senyum.

     "Alhamdulillah nggak. Meskipun mereka kelihatannya ribet begini, kalau mamanya ini sudah menurunkan titah, mereka langsung menurut,"

     "Wooow... Kamu hebat banget, Feb." pujiku tulus.

     "Heiii... Kita punya peran kita masing-masing," tanggap Febby. "Aku jadi ibu, Rima jadi istri, dan kamu jadi anak yang berbakti. Ya, kan?"

     Aku dan Rima tersenyum menyetujui kalimat Febby. Tidak seharusnya kita membandingkan jalan hidup kita dengan orang lain karena semua orang punya kisah dan jalannya sendiri.

     Everybody has their own path and stories.

     "Kamu benar, Feb. Siapa yang menyangka cewek paling tomboy seangkatan kita malah yang menikah duluan, dan cowok paling pendiam di angkatan kita menikah dengan yang paling bawel?" selorohku sambil terkekeh. Farhan dan Rima tertawa malu-malu mendengar kalimatku.

     Febby yang sampai sekarang berambut pendek dan gaya tomboynya ternyata begitu luwes mengurus anak-anaknya, serta Rima yang ceplas-ceplos begitu rukun dengan Farhan yang tenang dan pendiam, rasanya mereka seperti suatu keajaiban yang nyata. Hal itu menjadi bukti bahwa ada hal-hal yang memang di luar kekuasaan kita untuk menduganya.

     Seperti aku sendiri, misalnya. Sebenarnya aku sudah mulai memikirkan ingin menikah sejak awal usia tiga puluhan. Tapi pengalaman buruk dan kondisi Ibuk yang kurang sehat membuatku harus melupakan semua rencanaku untuk berumahtangga. Aku sudah tidak lagi mencari siapa pendampingku. Aku hanya ingin menjadi putri yang berbakti bagi Ibuk. Bagiku saat ini, itu sudah cukup.

     "Kamu gimana selama kerja sama Devon? Ada kesulitan, nggak?" tanya Febby penasaran lalu menyuapkan lasagna ke dalam mulutnya.

     "Well... Nggak juga sih." jawabku diplomatis.

     "Katanya dia terkenal rewel?"

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang