89. Ranti (6 Bulan Lalu)

97 18 4
                                    

     Aku sudah lama tidak merasa tegang seperti sekarang. Sepertinya terakhir merasa tegang tingkat tinggi begini adalah saat menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru di Fakultas Hukum bertahun-tahun lalu. Jantungku berdegup sangat kencang sampai dadaku terasa nyeri. Ujung-ujung jari tanganku terasa kebas dan dingin seperti es batu. Darah seperti berhenti mengaliri wajahku.

     Hari ini agensi Brendan akan mengadakan konferensi pers mengenai tindakan selanjutnya menanggapi peristiwa kekerasan yang menimpa Brendan. Jika mereka memutuskan untuk menuntut Devon secara hukum, hampir pasti karir Devon akan tamat. Tetapi jika mereka memutuskan untuk berdamai, maka pamor Brendan akan melejit. Sedangkan Devon akan menjadi selebriti paling dibenci di seluruh tanah air.

     Dua-duanya tidak ada yang menguntungkan Devon. Itu sebabnya aku merasa sangat cemas. Bukan karena kuatir kehilangan pekerjaan jika Devon sudah tidak laku lagi sebagai selebriti, tetapi lebih kepada menguatirkan keadaan Devon. Impian Devon adalah datang ke Festival Film Cannes. Ia bekerja keras selama bertahun-tahun membangun karir dan mengejar impiannya itu. Jika semuanya harus kandas dalam beberapa hari saja, aku tidak tahu apakah Devon sanggup menerima kenyataan tersebut. Entah mengapa semakin dekat mengenal Devon, aku semakin merasa bahwa Devon sebenarnya tidak baik-baik saja selama ini ketika menerima komentar-komentar pedas tentang dirinya. Di luar ia nampak cuek dan tidak peduli. Tapi sebenarnya ia berjuang untuk tidak memikirkan hal itu. Devon hanya keras di luar, tapi sebenarnya sangat lembut hati.

     Sejak pagi Devon pergi menemui direktur agensi yang sudah seperti Oomnya sendiri dan hingga siang ini belum kembali. Sejak pagi pula aku dan Gita berjibaku menemui para sponsor yang membatalkan kerjasamanya. Rata-rata adalah para sponsor baru. Sedangkan para sponsor lama saat ini masih bersikap netral sambil menunggu perkembangan kasus Devon. Jika Devon harus berhadapan dengan hukum, maka aku yakin mereka juga akan segera memutus kerjasamanya dengan Devon karena berhubungan dengan image produk mereka. Nasib Devon benar-benar di ujung tanduk.

     Gita mulai sibuk menelpon maskapai penerbangan untuk memesan tiket pesawat Devon ke Jerman. Meski aku belum tahu tanggal pasti Devon pergi, yang aku tahu pasti adalah Devon setuju untuk rehat sementara dan pulang ke Jerman. Ada rasa sedih di hatiku, tapi aku mencoba meyakinkan diri bahwa hal itu demi kebaikan banyak pihak.

     "Devon kenapa belum kembali, ya?" celetuk Gita sambil mengecek jam tangannya. "Apa pak direktur benar-benar memarahinya?"

     "Apa pak Direktur segalak itu?" tanyaku.

     Gita menggeleng.

     "Nggak sih sebenarnya. Tapi beliau orangnya bikin sungkan. Auranya itu lho. Sangat berwibawa. Jadi kita semua pada kikuk dan merasa sungkan berhadapan dengan beliau," jelas Gita. "Kamu belum pernah bertemu dengan pak Direktur, ya?"

     "Iya. Aku hanya pernah melihat foto beliau saja," jawabku.

     "Devon sudah menganggap pak Direktur seperti Oom-nya sendiri. Mereka berdua memang cocok sih sebenarnya. Dua-duanya punya aura mengintimidasi. Pak Direktur sudah lama mengenal Devon sejak dia masih aktor anak-anak. Mungkin beliau tidak mau percaya begitu saja liputan media tentang Devon sehingga beliau meminta Devon datang langsung menemuinya," lanjut Gita dengan pandangan menerawang. Ia nampak agak lelah.

     "Apa Devon akan baik-baik aja?" gumamku mulai kuatir.

     "Tentu tidak," sahut Gita yakin. "Devon tentu tidak baik-baik aja. Sebelum pergi dari sini ekspresi wajahnya benar-benar kacau meski ia memaksakan dirinya untuk tetap cuek dan tersenyum seperti biasa."

     Hatiku mencelos mendengar kalimat Gita yang rasanya penuh kegetiran. Sampai-sampai aku merasa jika saat ini Devon ada di dekatku, bisa jadi aku akan memeluknya lagi karena merasa prihatin.

Reading RainbowWhere stories live. Discover now