72. Devon (1, 3 Tahun Lalu)

68 15 2
                                    

"Maaf," ujarku penuh penyesalan. Karena terbawa suasana, aku lupa bahwa Boss sangat tidak suka ada kontak fisik apapun dengan laki-laki yang bukan keluarganya. Dan barusan aku melakukan hal sembrono dengan mendekati dan hampir menyentuh wajahnya. Boss pasti sangat kaget. Melihat ekspresi wajahnya yang terlihat sangat shock membuat hatiku sakit. Aku benar-benar menyesal. Seharusnya aku tidak melakukan hal itu pada Boss.

"Saya tidak akan melakukannya lagi." ujarku sungguh-sungguh.

Boss mengerjap lalu menghela napas panjang. Nampak sekali bahwa ia sedang berusaha menenangkan diri. Maka aku membiarkan Boss mengambil waktu untuk hal itu. Aku akan menunggunya tenang kembali.

"Sikap saya barusan adalah sikap spontan," mulaiku dengan hati-hati. "Saya tidak bermaksud berbuat melewati batas. Saya lupa bahwa Boss tidak mengijinkan siapapun menyentuh Boss, meski hanya sekilas. Saya hanya menunjukkan sikap ingin melindungi." lanjutku lagi.

Baru kali ini aku bicara lama untuk menjelaskan sikapku. Selama ini aku tidak pernah repot-repot menjelaskan. Aku biarkan orang lain mempunyai persepsi bermacam-macam tentang diriku. Dan aku tidak peduli itu semua. Tapi pada Boss, aku benar-benar tidak ingin ia salah sangka.

"Lain kali kamu tidak perlu melakukannya. Aku tidak memintamu melindungiku. Aku bisa menjaga diriku sendiri." sahut Boss akhirnya sambil menatapku. Sorot matanya penuh tekad. Meski anehnya aku masih bisa menangkap ada rasa takut di baliknya.

"Jika hal itu membuat Boss lebih nyaman, saya akan menuruti apa kata Boss barusan." ujarku meyakinkan.

Boss berdiri mematung sambil mengamatiku. Lalu ia berkata dengan nada yang sulit kubantah.

"Kamu pulanglah dulu dengan Pak Misbah. Aku akan pulang naik taxi saja."

Boss tidak menunggu persetujuanku. Ia langsung balik badan dan terus melangkah menuju halte Bus di depan gedung. Aku ingin mengejarnya. Tapi rasa takut yang kutangkap dari sorot mata Boss membuatku mengurungkan niatku.

Yang membuatku bersyukur adalah tidak ada orang lain yang melihat situasiku dan Boss barusan. Tapi hatiku langsung dipenuhi rasa kecewa mengingat bahwa malam ini seharusnya aku makan malam dengan Boss, tetapi mungkin kali ini aku telah menggagalkannya dengan sembrono. Aku tidak yakin Boss akan mau makan malam denganku setelah kejadian barusan.

Bahkan aku tidak yakin Boss akan muncul di rumahku besok pagi dan menyapa ramah Bik Nah sebelum duduk di dekatku dan membacakan jadwal hari itu sambil mengecek jadwalku yang ia tulis di buku agendanya.

Membayangkan itu semua, aku merasa dadaku sesak. Boss adalah manajer terbaik dan terlama yang pernah aku miliki. Sejak ia menjadi manajerku, aku merasa pekerjaanku jadi semakin mudah dan selalu sesuai dengan apa yang aku inginkan. Bahkan karena saking mengenalku dengan baik, Boss hapal banyak detail kebiasaanku sehingga aku tidak perlu lagi repot-repot menjelaskan aku mau ini, aku mau itu, aku suka ini, aku tidak suka itu. Boss tidak gegabah menerima semua tawaran untukku. Ia selalu memikirkan mana yang sekiranya membuat image dan karirku meningkat dan tidak membuatku kecapekan. Ia bahkan memikirkan hari dimana aku masih bisa mempunyai kesempatan menikmati waktu dengan diriku sendiri. Boss juga tidak pernah mengeluhkan sikap menjengkelkanku yang sering sengaja aku lakukan untuk membuatnya kesal karena aku ingin menggodanya. Ia meladeniku dengan sabar meski ia juga tidak segan menegurku jika aku sudah kelewatan. Di saat aku kesepian karena tidak punya teman, Boss sering mengirimiku video kocak yang membuatku terhibur. Bahkan saat aku menelponnya malam-malam karena iseng, Boss masih rela menjawab pertanyaan-pertanyaan konyolku meski dari suaranya yang serak, aku bisa menduga bahwa ia terbangun dari tidurnya untuk meladeni telpon isengku.

Aku merasa dadaku semakin sesak dan sakit karena memikirkan semua hal itu. Dengan jari-jari yang terasa lemas, aku menelpon Pak Misbah untuk meminta beliau menjemputku tepat di depan pintu lobby. Karena rasanya aku telah kehabisan energi dan hanya ingin segera pulang untuk introspeksi diri.

Reading RainbowDonde viven las historias. Descúbrelo ahora