95. Ranti ( Saat Ini)

68 13 5
                                    

Lagi-lagi Devon menggodaku.

Agaknya itu jadi hobby barunya semenjak kami berbaikan saat dia pulang dari Bali. Devon sampai saat ini memang banyak berubah. Perangainya lebih tenang dan tidak emosional. Meski kadang masih berulah dan rewel, ia sudah lebih mudah diajak berkompromi. Kepribadian barunya yang lebih hangat membuat beberapa infotainment menyajikan berita positif tentang Devon. Dalam beberapa kesempatan, Devon bahkan lebih murah senyum dan memperlihatkan sisi lain dirinya yang usil dan kadang konyol. Devon kini lebih tampak 'normal' dan lebih menyenangkan. Ia juga tidak canggung memperlihatkan sikap gentleman saat ada maupun tidak ada banyak orang yang melihatnya.

Perubahan Devon ini membuat aku lama-kelamaan jadi merasa nyaman di dekatnya. Aku merasa ada yang menemaniku. Aku bahkan heran pada diriku sendiri mengapa tidak lagi merasa kesal saat Devon kadang rewel dan keluar manjanya seperti anak-anak. Seperti saat ia memasang tampang kesal karena syuting harus sedikit molor selesainya, ekspresi manyunnya bagiku terkesan sangat imut. Aku bahkan sampai menggigit bibir bawahku untuk menahan senyum karena gemas saat melihatnya.

Mungkin...ada yang tidak beres dalam diriku.

Mungkin juga aku sudah terlanjur menganggap Devon sebagai orang yang dekat denganku sehingga aku bisa lebih memaklumi segala tingkah uniknya yang dulu pernah aku anggap menyebalkan.

Bukan hal yang mudah membiasakan diri berada di dekat Devon. Aku selalu merasa gugup dan takut meski setengah mati aku berusaha menyembunyikan perasaan itu. Sikap Devon yang kadang manja seperti anak kecil membuatku was-was jangan-jangan dia akan memeluk atau menggandengku. Karena dalam beberapa kesempatan aku merasakan Devon memang berniat melakukannya meskipun pada akhirnya tidak. Sikap penuh perhatian dan protektifnya juga seringkali membuat dadaku terasa sesak karena Devon tidak sungkan menunjukkannya di depan umum.

Beberapa kali ia mengajakku pergi hanya berdua saja. Karena ingin memperbaiki hubungan dengan Devon sekaligus menghindari kemungkinan Devon akan semakin nekad, aku menyetujuinya. Pergi ke toko sepatu yang harusnya jadi ajang refreshing buatku malah jadi hari dimana aku harus gemetaran karena fans Devon ada yang mulai bertanya-tanya apa hubunganku dengan Devon. Memang mereka langsung lega saat Devon menjawab aku adalah manager pribadinya. Tapi tetap saja pergi berdua saja dengan Devon sebenarnya membuatku harus berjuang setengah mati untuk tidak gugup di dekatnya.

Saat ini Devon sudah kembali beraktivitas seperti biasa. Kesibukannya tiap hari semakin banyak. Aku sampai kuwalahan mengatur jadwalnya. Meski Devon jarang protes tentang padatnya jadwal karena dia termasuk workaholic, aku lah yang sebenarnya menguatirkan kesehatannya. Meski Devon jarang sakit, tetap saja aku sering merasa kuatir. Kalau Devon tertidur di mobil, itu adalah tanda bahwa dia sebenarnya sedang letih. Kalau sudah begitu, memandangi raut wajah Devon yang lelah membuatku iba.

Aku mengetuk pintu ruang tunggu untuk Devon karena ingin mengantarkan kopi untuk dia dan juga Tisya yang sedang sibuk menata rambutnya.

Saat memasuki ruangan, raut wajah Tisya dan Devon nampak tidak seperti biasanya. Mereka terlihat rukun dan tenang. Padahal biasanya aku selalu mendengar protes Devon pada Tisya dan omelan Tisya yang tidak suka Devon mengatur style yang harus Tisya aplikasikan.

"Wow, jas dan tatanan rambutmu cocok sekali. Perfecto," pujiku sambil memberikan segelas ice americano pada Devon, lalu pada Tisya.

Aku melihat Devon dan Tisya tersenyum hampir bersamaan.

"Hey, ada apa ini? Kalian berdua tersenyum hampir bareng. Kalian lagi ngerencanain sesuatu, ya?" tanyaku curiga karena situasi yang tidak biasa ini.

"Kami hanya sedang rukun aja. Biasanya kan selalu ada aja yang diperdebatkan," jawab Tisya santai lalu meminum ice americano-nya.

"Alhamdulillah. Semoga selalu rukun," tanggapku lalu duduk di sofa dan meminum ice americano-ku yang dinginnya mulai membuat jari-jariku membeku.

Aku mengecek agendaku untuk memastikan kembali jadwal Devon. Minggu ini ia memiliki jadwal lebih padat dari minggu kemarin. Ada jadwal yang menurutku terlalu berdekatan jaraknya. Sepertinya aku harus nego pihak klien untuk memundurkan jadwalnya sedikit.

Devon tiba-tiba beranjak dari duduknya dan berjalan ke arahku. Aku menduga ia akan duduk di sampingku tidak lama lagi.

Dan... ya. Devon benar-benar duduk di sampingku saat ini. Bau wangi parfum mahalnya menghampiri hidungku. Sofa tempatku dan Devon duduk saat ini tidak  lebar. Sehingga membuat jarak Devon duduk denganku menjadi sangat dekat.

Terlalu dekat.

Aku bisa merasakan Devon sedang mengamati apa yang sedang aku lakukan. Perlahan, aku mulai merasakan ujung jariku membeku. Rasanya aku ingin cepat-cepat bangkit berdiri dan pindah tempat duduk. Tapi aku setengah mati berusaha untuk tetap duduk diam agar Devon tidak merasa aku menghindarinya. Karena hal yang ia keluhkan saat berbaikan denganku adalah sikapku yang membuatnya merasa 'tidak diterima' karena aku selalu menghindar untuk berdekatan dengannya. Ia merasa aku membencinya dan tidak ingin berurusan terlalu dekat dengannya. Aku berusaha mengikis kesan itu karena sebenarnya aku sama sekali tidak membenci Devon. Meski ia sering merepotkan dan menjengkelkan, aku tetap tidak membencinya.

Aku hanya takut.

Aku takut Devon akan salah mengartikan perasaan kesepiannya sebagai perasaan ketertarikan padaku. Aku juga takut Devon salah mengartikan sikapku sebagai perasaan menyukainya jika aku bersikap 'lunak' padanya. Aku ingin kami berdua tetap profesional sebagai artis dan manajernya.

Tidak lebih.

"Boss lagi cek ulang jadwal saya, ya? Apa ada perubahan?" tanya Devon akhirnya.

Aku menghela napas sejenak untuk meredakan kegugupanku sebelum menoleh dan menjawab pertanyaan Devon.

"Nggak ada yang signifikan, sih. Tapi sepertinya besok pagi untuk jadwal pemotretan harus agak dimajukan lebih pagi lagi," jawabku lalu memberanikan diri memandang ke arah Devon yang sekarang sedang memandang lurus ke arahku dengan mata biru lautnya yang membius. Wajahnya terlihat sangat tampan. Tatanan rambutnya yang casual tapi rapi membingkai wajahnya dengan sempurna. Mengapa ada pemuda setampan ini di dunia? Well, Devon memang memiliki ketampanan yang berbahaya bagi kesehatan jantung perempuan.

    "Coba kamu lihat deh. Ini kalau dengan jadwal ke-2 besok sepertinya terlalu mepet," lanjutku sambil merubah posisi duduk agar Devon bisa melihat isi halaman agendaku yang berisi aneka catatan urutan jadwal pekerjaannya.

Devon ternyata diam saja tidak menanggapi. Padahal aku berharap ia akan berkomentar sedikit atau mengomel karena padatnya jadwal.

Aku kembali memberanikan diri memandang ke arah Devon untuk melihat reaksinya.

Itu... adalah keputusan yang salah.

Karena saat ini ternyata Devon tidak melihat ke arah agendaku. Ia sedang memandang lurus ke arahku dengan sorot mata yang lembut. Ia bahkan tersenyum.

DEG! DEG! DEG!

Tidak... Tidak. Jantungku, tenanglah. Tenang... Devon memang tampan, tapi ingat! Dia juga bisa sangat menyebalkan. Senyumnya itu sudah sering terlihat di film. Ia bisa dengan mudah berakting seperti itu.

"Atur saja seperti biasanya," ujar Devon tiba-tiba. Ia kemudian beranjak dari duduknya dan berjalan menuju cermin besar. Ia merapikan jasnya dan memandangi pantulan dirinya.

Aku menarik napas lega. Andai Devon tidak segera beranjak berdiri, mungkin ia sudah melihat pipiku yang memanas.

Ranti... Tenangkan dirimu...

"Oke, aku ke ballroom dulu untuk cek persiapan. Nanti aku akan kembali kemari jika semua sudah siap," tanggapku berusaha terlihat dan terdengar santai.

"Oke." tanggap Devon tanpa menoleh padaku.

Aku langsung bergegas keluar dari ruangan sebelum Devon dan Tisya menyadari bahwa saat ini sebenarnya wajahku panas dan merah merona seperti kepiting rebus.

Reading RainbowWhere stories live. Discover now