43. Ranti (3,5 Tahun Lalu)

84 15 1
                                    

     Aku memeriksa agendaku untuk mengecek ulang jadwal Brendan. Saat membuka halaman pertama, ada secarik kertas berwarna biru terlipat di sana. Aku merasa tidak pernah memasukkan kertas itu. Jadi aku mengambil dan membukanya.

     Have a nice day. Love you.

     Aku mendengus pelan setelah membaca secarik kertas berisi pesan singkat itu. Aku sudah langsung tahu siapa pengirimnya karena ada tanda tangan miliknya di situ. Sudah berkali-kali aku menemukan pesan singkat pada secarik kertas kecil begini semenjak Brendan berterusterang padaku tentang perasaannya.

     Aku sama sekali tidak pernah membalas pesan-pesan singkat dari Brendan yang selalu berisi kalimat penyemangat dan diakhiri dengan dua kata.

     Love you.

     Aku belum menerima perasaan Brendan. Tapi ia begitu gigih terus menunjukkan aneka perhatian spesial yang saat ini hanya ia tunjukkan secara private. Semenjak aku menyampaikan pesan oom Bilal pada Brendan, rupanya ia memahami bahwa resiko menjadi aktor adalah harus mampu mengelola perasaan personal saat di depan publik. Maka kini Brendan jauh lebih hati-hati. Meski tentu saja, saat hanya berdua saja denganku, Brendan tidak ragu menunjukkan perhatiannya dengan terang-terangan.

     Aku menghela napas panjang. Sudah sejak lama aku mengubur perasaanku untuk hal-hal yang romantis. Itu semua karena aku selalu kurang beruntung saat mulai menyukai seorang cowok. Sejak SMA, cowok-cowok yang aku suka tidak pernah mempunyai perasaan yang sama denganku. Pernah suatu saat aku hanya dijadikan bahan taruhan atau cowok yang kusukai akhirnya memilih cewek lain. Bagi mereka, aku adalah cewek mandiri dan tangguh. Sehingga ada kalanya mereka hanya penasaran ingin menaklukkan hatiku atau mereka merasa aku terlalu mandiri. Saat sudah dewasa, aku memahami bahwa cowok-cowok yang aku sukai semasa remaja adalah tipe cowok sampah. Cowok yang tidak bisa menghargai perasaanku serta cowok mental tempe yang berdalih bahwa aku terlalu mandiri dan tangguh untuk mereka.

     Maka pada suatu titik dalam hidupku, aku mulai fokus hanya pada meraih cita-citaku saja. Aku sudah menutup pintu hatiku untuk hal-hal bernuansa romantis. Aku tidak ingin membuang waktu dan mencurahkan perasaanku pada hal itu lagi. Yang ada dalam benakku adalah aku harus menjadi orang yang sukses.

     Setiap ada cowok yang mendekatiku, aku selalu berusaha menjaga jarak. Agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak ingin menjalin suatu hubungan dengan mereka. Selama ini fokusku berhasil membantuku untuk meraih sukses. Aku lulus kuliah tepat waktu dari jurusan hukum dan langsung bekerja di dunia broadcasting karena ingin membantu para artis muda memahami kontrak kerja mereka agar tidak tertipu.

    Semuanya berjalan dengan baik sampai hari dimana aku harus menjadi manajer Brendan. Maminya yang sangat berambisi menjadikan Brendan aktor yang sukses secara khusus meminta pada agensi agar Brendan aku dampingi karena catatan karirku yang meyakinkan.

     Saat aku tahu harus menjadi manajer Brendan, aku tidak pernah menduga pemuda seperti dia akan tertarik padaku. Usiaku terpaut cukup jauh dari Brendan. Sehingga aku menduga bahwa Brendan hanya akan menganggapku sebagai kakak perempuannya. Lagipula dengan wajah setampan itu, Brendan pasti cukup mudah mendapatkan hati gadis manapun yang dia suka.

     Tapi prediksiku ternyata salah besar. Brendan jauh lebih tidak terduga. Ternyata keramahannya pada gadis-gadis hanya sebuah sikap kesopanan yang dia tunjukkan sebagai laki-laki. Brendan tidak pernah menanggapi gadis-gadis itu lebih jauh. Awalnya aku mengira bahwa dia seperti itu karena ingin fokus mewujudkan impian Maminya secepat mungkin. Tapi ternyata hal itu karena Brendan perlahan mulai merasa tertarik padaku.

       Kini saat Brendan sudah yakin pada perasaannya, aku merasa seperti berada di dalam ruangan yang menyesakkan. Rasanya begitu banyak yang aku pikirkan. Karir Brendan selanjutnya, tanggapan Mami Brendan, tanggapan ibuku, tanggapan khalayak ramai, dan sebagainya.

     Tapi ada yang tidak bisa aku pungkiri bahwa lambat laun aku mulai menerima perasaan Brendan. Aku tidak lagi mengomelinya jika mengirimiku pesan-pesan singkat, aku juga mulai membiarkan Brendan duduk lebih dekat saat di sampingku. Biasanya aku selalu meminta Brendan untuk duduk lebih jauh. Dan saat malam hari sebelum tidur, aku mulai menerima panggilan telepon dari Brendan yang biasanya selalu aku abaikan.

     Sepertinya Brendan juga merasa bahwa aku mulai menerima perasaannya. Sudah beberapa kali Brendan memintaku untuk pergi makan malam bersama orangtuanya. Tapi aku selalu menolak karena aku kuatir Brendan akan langsung meminta restu orangtuanya untuk menjalani hubungan yang serius denganku.

     Sejujurnya, aku masih ragu-ragu.

     Aku merasa bukan orang yang tepat untuk Brendan. Harusnya Brendan bisa mendapatkan wanita yang lebih sepadan usianya dan lebih sukses dariku. Apalagi saat ini Brendan sedang berada di jalan tol menuju kesuksesan. Brendan semakin laris main film dan iklan. Orang-orang mulai mengenalnya dan jatuh hati pada ketampanan dan keramahannya. Jika tiba-tiba Brendan terekspos menjalin hubungan, pasti akan menurunkan pamornya yang diraihnya dengan kerja keras.

     Sungguh. Aku tidak ingin hal itu terjadi pada Brendan. Aku tidak ingin menjadi penyebab karir Brendan merosot tajam.

     "Kak..."

     Lamunanku buyar karena mendengar suara Brendan. Ia sedang berdiri sambil tersenyum ke arahku. Rambut coklatnya semakin terlihat pirang karena terkena sinar matahari.

     "Kak Ranti lagi mikirin apa? Kok kelihatan serius amat," ujar Brendan sambil duduk di sampingku. Dia duduk cukup dekat sampai aku bisa mencium aroma parfumnya. "Lagi mikirin saya, ya?"

      Aku menoleh pada Brendan dan memasang wajah pura-pura kesal setelah mendengar kalimatnya.

     Brendan langsung tertawa melihat reaksiku.

     "Ekspresi wajah yang begitu itu loh yang bikin hati saya berdebar." ujar Brendan pelan agar tidak terdengar kru film lain yang berada tidak jauh dari kami.

     "Halah...terus saja gombalnya dikeluarin." tanggapku santai.
    
     "Eh, serius ini. Selama ini cewek yang di dekat saya selalu jaim. Tapi kak Ranti beda. Makanya saya jadi jatuh cin-..."

     "Stop. Jangan diteruskan," potongku sambil melihat Brendan dengan ekspresi serius. "Let's not talk about it, okay?"

    Brendan tersenyum padaku dengan sorot mata yang hangat.

     "Sorry. I just can't help it. It is because I like you a lot." jawab Brendan dengan suara pelan.
    
     Yaa Allah...kuatkan hati hamba... Ratapku dalam hati. Aku merasa dadaku sesak sekali mendengar kalimat Brendan.

     "Jadi gimana caranya supaya kamu berhenti ngomong seperti ini lagi saat di lokasi syuting?" tanyaku berusaha terlihat tidak terpengaruh oleh kalimat Brendan tadi. "Apa yang harus aku lakukan?"

     Brendan tersenyum lagi. Tapi kini ia menatapku dengan sorot mata yang berhasil membuatku berdebar-debar. Setelah sejenak terdiam, Brendan mengatakan sesuatu yang membuat seluruh persendianku terasa copot dan darahku berhenti mengalir.

      "Marry me."

    

Reading RainbowWhere stories live. Discover now