3. Ranti ( 2 Tahun Lalu)

192 21 0
                                    

"Devon Regner?"

Tanyaku pada Tisya karena tidak percaya pada pendengaranku sendiri.

"Iya. Devon Regner." jawab Tisya bersemangat untuk meyakinkanku. Kacamata berbingkai lingkaran sempurnanya yang berwarna merah sampai melorot dari hidungnya yang minimalis. Ia buru-buru menaikkan posisi kacamatanya. Rambut lurus pendeknya yang dicat merah menyala membuat Tisya terlihat sangat mencolok. Tisya adalah stylist artis papan atas. Saat ini Tisya sedang terikat kontrak bekerja untuk Devon Regner. Tisya sekaligus juga salah satu sahabat baikku di dunia entertainment yang bersedia meminjamkan uangnya untukku untuk melunasi tagihan rumah sakit dimana Ibuk dirawat. Tisya pasti sangat memahami bahwa aku saat ini sedang membutuhkan uang yang tidak sedikit jumlahnya dan mungkin ia berpikir bahwa tawaran untuk menjadi manajer Devon Regner mungkin cocok untukku agar aku bisa segera bebas dari hutangku.

Aku menghela napas dalam-dalam. Sejujurnya, aku memang sedang butuh pekerjaan untuk melunasi biaya pengobatan ibuku di rumah sakit. Tapi, menjadi manajer Devon Regner bukanlah pekerjaan yang mudah. Devon Regner terkenal sering sekali gonta-ganti manajer. Mungkin hampir setiap 6 bulan sekali. Ia adalah aktor flamboyan yang sering sekali berbuat ulah sehingga membuat manajernya kuwalahan. Dia sangat sering muncul di berita infotainment karena ulahnya. Kali ini belum genap enam bulan sejak berganti manajer, Devon sudah mencari manajer baru. Ini artinya Devon Regner mempunyai tingkat menjengkelkan yang tidak main-main.

Namun benak dan pikiranku tidak bisa memungkiri bahwa saat ini tawaran pekerjaan sebagai manajer Devon Regner sangat menggiurkan karena Devon bersedia menggaji manajernya dengan nominal yang fantastis. Hal ini karena selain karena Devon Regner adalah salah satu aktor muda papan atas yang sukses, rupanya ia juga sulit menemukan orang yang mau menjadi manajernya. Padahal dia sangat sibuk dan pasti butuh bantuan seorang manajer untuk mengatur semua jadwal syuting film, iklan, dan kegiatan keartisan lainnya.

Aku menatap Tisya dengan ragu. Jika aku menerima tawaran pekerjaan ini, hanya dalam waktu 15 bulan, inshaAllah aku bisa melunasi hutangku ke para sahabat baikku untuk biaya rumah sakit ibuku. Tapi menjadi manajer Devon Regner bisa jadi adalah sebuah petaka bagiku karena sikapnya yang semaunya sendiri. Di sisi lain, aku tidak bisa menampik kenyataan bahwa sampai saat ini, pekerjaan menjadi manajer Devon Regner adalah yang paling cepat datang dan menawarkan gaji tinggi.

Di tengah kegalauan, pikiranku melayang pada tagihan rumah sakit yang menyebabkan aku berhutang pada para sahabat baikku dan tentunya harus segera kulunasi. Mungkin aku tidak akan pernah lagi mempunyai kesempatan menerima tawaran pekerjaan dengan gaji sebanyak tawaran Devon Regner. Sepertinya aku akan mencoba mengambil pekerjaan itu untuk menambah penghasilanku sebagai asisten sutradara yang selama ini terkuras habis untuk membiayai ibuku di rumah sakit.

Tapi tunggu...

Sepertinya jika aku menerima tawaran pihak Devon Regner, maka aku harus resign dari pekerjaanku sebagai asisten sutradara karena aku pasti akan full mengurus Devon karena aktor yang satu itu memang sudah terkenal merepotkan para manajernya. Aku pasti tidak akan punya waktu menyelesaikan dua pekerjaan berbeda dalam satu hari. Apalagi Devon Regner adalah aktor yang selalu padat jadwal kerjanya.

Anehnya, di tengah kebimbangan ini pun sekali lagi aku terbayang tagihan biaya perawatan Ibuk. Maka dengan mengucap 'bismillaah' di dalam hati, aku menatap Tisya dengan yakin dan berkata, "Oke, Tisya. Aku ambil pekerjaan sebagai manajer Devon Regner. Tapi aku baru bisa mulai minggu depan. Aku harus menyiapkan surat pengunduran diriku dulu dan berpamitan pada rekan-rekan kerjaku yang sekarang."

Sontak kedua bola mata Tisya membulat dan berbinar cerah. Nampak sekali bahwa ia sedang sangat lega dan bahagia. Kacamatanya sekali lagi melorot. Tapi kali ini Tisya lebih sigap membetulkan letaknya.

"Alhamdulillaah! Terima kasih, Ranti! Sungguh! Terima kasih banyak!" seru Tisya riang sambil menggenggam kedua tanganku. Lalu dengan sigap ia menyambar telpon genggamnya di atas meja. "Aku akan menelpon Devon untuk bilang bahwa aku sudah menemukan manajer baru untuknya."

Aku tersenyum penuh terima kasih pada Tisya. Dia sudah sangat sering membantuku. Aku berjanji dalam hati akan membalas semua kebaikannya.

Tisya nampak menunggu beberapa saat sebelum ia mulai bicara melalui telpon genggamnya. Aku menduga mungkin Devon sedang sibuk sehingga tidak bisa berbicara melalui ponsel.

"Halo? Devon?" ujar Tisya bersemangat. Sepertinya Tisya sudah terhubung dengan Devon Regner. "Aku sudah menemukan manajer baru untukmu. Dia akan mulai bekerja minggu depan."

Tisya diam sejenak untuk mendengarkan tanggapan Devon. Kemudian raut wajah bersemangatnya berubah menjadi raut wajah kebingungan. Tisya menatapku dengan cemas. Lalu ia tersenyum canggung sambil memegang ponselnya dan ganti memandangku dengan cemas.

"Ada apa, Sya?" tanyaku penasaran.

Tisya sekali lagi memandangku cemas lalu berkata, "Devon ingin kamu mulai bekerja untuknya besok, atau-..."

Aku mengerutkan dahi.

"Atau apa?" sambungku bertanya karena penasaran.

Tisya menghela napas berat sebelum menjawab, "Atau Devon akan mencari orang lain."

Allahu Akbar! pekikku dalam hati.

Seperti rumor yang beredar, Devon ternyata memang semaunya sendiri tingkat akut. Mungkin bersikap menjengkelkan sudah mendarah daging dalam dirinya. Saat ini aku mengalaminya sendiri dan melihat bukti dengan seluruh panca inderaku bahwa Devon Regner sudah menampakkan sikap menjengkelkannya bahkan sejak sebelum aku mulai bekerja untuknya. Tapi keadaan memaksaku untuk mengambil keputusan yang mungkin once in a lifetime. Aku tidak punya pilihan lain.  I have no choice. Aku sudah membulatkan tekadku untuk bekerja keras demi melunasi hutangku. Siapa tahu mungkin aku bisa mendidik Devon Regner agar bisa bersikap lebih baik jika aku menjadi manajernya. Meski kemungkinan itu satu banding sejuta, aku akan mencobanya. Siapa tahu setelah mengenalnya lebih jauh, Devon tidak semenjengkelkan yang sering dibicarakan tayangan infotainment.

Aku menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. Setelah itu, dengan yakin aku berkata pada Tisya:

"Tolong katakan pada Devon bahwa besok pagi tepat pukul sembilan aku akan datang ke rumahnya untuk bertemu."

Reading RainbowWhere stories live. Discover now