88. Devon (6 Bulan Lalu)

96 18 2
                                    

Setelah melakukan sholat Subuh di musholla, aku bergegas menuju ruangan mbak Gita. Tetapi di tengah perjalanan, aku bertemu Boss yang menenteng tas berisi mukena. Aku tidak bisa menahan senyumku saat melihatnya. Sepagi ini sudah bertemu dengan Boss membuat hatiku terasa melayang dan berbunga-bunga.

"Kamu baru selesai sholat?" tanya Boss begitu melihatku.

"Ya," jawabku singkat.

"Ooh, oke. Sampai ketemu nanti," tanggap Boss datar. Ia lalu meneruskan langkahnya menuju musholla tanpa menoleh padaku lagi. Melihatnya bersikap begitu biasa membuatku ingin membuka percakapan lagi dengannya.

"Boss,"

Boss berhenti melangkah lalu menoleh padaku.

"Kita sarapan bareng, yok! Kita bisa pesan antar bubur ayam atau lainnya. Biasanya jam segini sudah ada yang bu-... "
"Maaf, aku harus pulang segera supaya Ibuk nggak kuatir," potong Boss. "Kamu bisa sarapan bareng mbak Gita sebelum pulang,"

Aku kehilangan kata-kata. Kalimat Boss barusan entah mengapa terdengar begitu dingin. Apalagi Boss mengatakannya dengan ekspresi datar saja. Seperti tidak ada emosi di dalamnya.

"Oh, oke." ujarku akhirnya.

Boss langsung balik badan dan berjalan menuju musholla dengan ayunan langkah sigap seperti biasa. Entah mengapa aku merasa Boss bersikap tidak seperti biasanya. Meski Boss sering menolak ajakanku untuk makan atau pergi ke suatu tempat, entah mengapa kali ini penolakannya terasa begitu dingin dan hatiku jadi agak pedih karenanya.

Aku kembali meneruskan langkahku ke ruangan mbak Gita yang kini mejanya penuh tumpukan berkas-berkas. Sepertinya itu adalah berkas kontrak kerjaku dengan para sponsor yang baru saja membatalkan kerjasamanya denganku.

"Sebanyak ini ya yang membatalkan?" tanyaku sambil mengambil salah satu map tebal berwarna hijau tua dengan embos logo sponsor berwarna emas di bagian depan.

"Yep. Sebanyak itu memang," ujar mbak Gita menanggapi dengan pasrah. "Kamu siap menghadapi mereka?"

"InsyaAllah," jawabku tenang.

Mbak Gita melongo menatapku.

"Kenapa, mbak?" tanyaku heran melihat mbak Gita yang matanya membelalak kaget dengan mulut sedikit menganga.

"Barusan kamu bilang apa?" tanya mbak Gita setelah tersadar dari pose freeze-nya.

"Saya bilang InsyaAllah. Memangnya kenapa?"

Mbak Gita berjalan mendekat ke arahku dengan ekspresi masih terkejut seperti tadi.

"Devon sayang, kamu... nggak kesurupan, kan?" tanya mbak Gita sambil mengamati wajahku.

Aku mendengus tertawa.

"Mungkin saya memang kesurupan," jawabku santai.

Mbak Gita kemudian tersenyum. Senyum bijaksana yang selalu ia tunjukkan saat ia berusaha menunjukkan dukungannya padaku di saat-saat sulit.

"Aku lega kamu sekarang tidak terlihat nervous sama sekali. Semuanya sudah kami urus. Kamu memang harus membayar banyak sekali ganti rugi jika mereka membatalkan kerjasamanya karena alasan perilakumu. Tapi kamu masih bisa makan enak, kok. Jangan kuatir," jelas mbak Gita kalem.

"Oke, no problem,"

"Aku tadi sudah diskusi sama Ranti," ujar mbak Gita melanjutkan. "Ada baiknya selama satu sampai dua bulan ke depan kamu off dulu semua aktifitas. Pulanglah ke Jerman. Kunjungi Papa mamamu di Tegernsee. Kamu sudah lama sekali nggak pulang ke sana. Saat syuting di Swiss kapan hari pun kamu nggak ada kesempatan ke sana. Nanti begitu kamu kembali ke sini, biasanya situasi sudah reda dan media nggak akan terlalu menggebu memburumu lagi karena berita sudah basi. Dengan begitu kamu bisa kembali beraktifitas seperti biasa,"

Reading RainbowWhere stories live. Discover now