74. Devon (1,3 Tahun Lalu)

59 17 0
                                    

Resto steak Barn Heaven yang direkomendasikan Boss ternyata memang sebuah restoran yang menarik. Interior dan penataan mejanya semi-private. Jadi selebriti sepertiku akan nyaman jika makan di sini karena pandangan orang-orang akan terhalang dedaunan atau asesoris interior restoran yang memisahkan antara satu meja dengan meja lainnya. Aroma lezat daging yang dipanggang memenuhi restoran sehingga menggugah selera pengunjung yang datang. Penerangan ruangan dibuat nyaman, tidak terlalu terang tapi juga tidak gelap. Hawa sejuk yang nyaman juga langsung terasa saat pertama kali memasuki restoran. Lagu country lawas dan baru terdengar dari speaker sehingga menghasilkan nuansa ala restoran para koboi.

Aku duduk sendirian di meja yang menghadap ke gemerlap kehidupan kota besar. Aku bisa melihat aneka lampu warna-warni dari tempatku duduk. Lampu apartemen, gedung bertingkat, lampu kendaraan, lampu papan reklame, semua campur jadi satu. Gemerlapnya bahkan bisa menyamarkan terangnya bintang di langit malam.

Aku melirik jam tanganku.

19.30

Ternyata benar dugaanku. Boss tidak datang. Aku bisa menyimpulkan demikian karena ia selalu tepat waktu. Kalau memang berniat datang, Boss pasti sudah duduk di depanku sekarang.

Tapi Boss tidak ada.

Benakku semakin dipenuhi rasa bersalah dan menyesal karena sepertinya telah sembrono membuat Boss menjadi tidak nyaman berada di dekatku. Harusnya aku ingat bahwa dari dulu Boss tidak mau berada terlalu dekat denganku dimana pun. Dia tidak pernah menjejeri langkahku, dia juga tidak pernah duduk bersebelahan persis denganku. Boss selalu menjaga jarak. Bahkan ia tidak segan menyuruhku menyingkir atau menjauh jika ia merasa posisiku terlalu dekat dengannya. Duduk di mobil juga begitu. Jika bukan aku yang memintanya, Boss biasanya langsung duduk di kursi depan bersebelahan dengan Pak Misbah.

Tetapi siang ini aku malah dengan sembrono hampir menyentuh wajahnya.

Boss pasti sangat kaget. Aku tidak tahu apakah pengalaman masa lalunya dengan Brendan memperparah efek tidak nyamannya terhadapku. Karena aku sendiri tidak tahu Brendan telah melakukan apa padanya.

"Permisi, apakah sudah siap order?" tanya seorang waitress membuyarkan lamunanku. Matanya nampak berbinar karena mungkin excited bertemu denganku.

"Ya. American grilled barbeque sauce special. Tolong pastikan sudah matang sampai daging terdalam. Minumnya air putih saja. Tidak dingin." jawabku sambil menyodorkan menu pada waitress bertubuh mungil itu.

"Baik, mohon ditunggu." sahut waitress sambil tersenyum ramah dan bergegas meninggalkanku. Aku bersyukur ia tidak memintaku untuk berfoto dengannya. Karena mood-ku sedang sangat buruk.

Aku kembali duduk dalam diam sambil mengamati pemandangan malam dari jendela besar. Meski demikian, sebenarnya kepalaku kosong dan benakku begitu sibuk. Sebenarnya aku sendiri heran mengapa aku begitu bad mood hari ini.

Bukankah biasanya aku tidak peduli pada orang lain?

Kenapa aku begitu peduli bagaimana perasaan Boss saat ini?

"Devon?"

Aku langsung menoleh ke sumber suara.

Di depanku kini telah berdiri sosok gadis tinggi semampai dengan rambutnya yang ditata bergelombang.

Sania.

Karena sudah jelas terlihat aku sedang sendirian, aku malas menjawab sapaan Sania. Maka aku hanya diam saja sambil mengangguk sedikit.

"Nampaknya kamu lagi bad mood," tanggap Sania tidak terlihat tersinggung pada sikapku yang dingin. "Ini baru seperti Devon biasanya yang aku kenal."

Aku menghela napas lalu kembali menatap ke arah pemandangan malam melalui jendela kaca besar resto Barn Heaven.

Tiba-tiba Sania duduk di kursi yang berada pada posisi depanku. Di tempat yang seharusnya diduduki oleh Boss. Sikapnya yang seenaknya ini membuatku semakin bad mood.

"Tidak ada yang mengijinkan kamu duduk di situ." tegurku dingin.

"Toh kamu sendirian," jawab Sania acuh sambil mengangkat bahunya.

"Kalau kamu tidak mau pergi dari situ, aku yang akan pergi." timpalku tanpa kompromi.

Sania menatapku dengan mulut menganga. Nampaknya ia tidak menduga aku akan bereaksi sekeras itu. Tapi tak lama kemudian, Sania malah tertawa geli sampai bahunya terguncang.

"Wow! Aku baru tahu kamu ternyata bisa sebegini galak," ujar Sania di sela tawanya. "Kamu sedang menunggu seseorang ya rupanya?"

Aku diam saja tidak menanggapi pertanyaan Sania.

"Diammu mengatakan segalanya," ujar Sania. Lagi-lagi dia menyimpulkan seenak hatinya. "Oke oke. Aku akan pergi dari sini. Aku tidak mau dituduh menjadi perebut pacar orang lain."

Sania mengamatiku sejenak sebelum beranjak dari duduknya sambil membawa tas kecilnya yang tadi berada di atas meja.

"Semoga acara nge-datemu lancar," ujarnya lalu berjalan pergi.

Sepeninggal Sania, waitress datang membawa menu yang kupesan. Asap mengepul dari piring grill yang ia letakkan tepat di depanku.

"American grilled barbeque sauce special dan air putih," ujar waitress lalu membungkuk sedikit karena mendengarku mengucapkan terima kasih padanya. Tidak lama kemudian, ia meninggalkanku sendirian untuk makan.

Aku memandangi steak di depanku dengan getir. Harusnya malam ini aku makan malam bersama Boss. Apa dia akan datang seperti biasanya besok pagi?

Merasa tidak terlalu berselera makan, aku melemparkan pandanganku ke arah pintu masuk dan keluar pengunjung. Dan tepat Pada saat itu rasanya jantungku berhenti berdetak.

Aku melihat sosok Boss sedang berjalan keluar dari resto. Mataku tidak mungkin salah mengenali Boss. Apalagi ranselnya yang pernah aku culik sekarang tersandang di bahunya. Tapi mengapa ia malah pergi keluar resto?

Sebelum sempat otakku berpikir, aku sudah beranjak berdiri dan berlari menuju Boss untuk mencegahnya pergi.

Reading RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang