42. Devon (2 Tahun Lalu)

82 15 3
                                    

Mbak Febby berjalan bersamaku menuju tempat parkir mobil. Sepertinya ia masih tidak menyangka aku akan datang menemui Ray hari ini sehingga ia benar-benar terkesan. Tapi ada untungnya ada mbak Febby berjalan bersamaku. Ia bisa menertibkan ibu-ibu yang cukup agresif mendekatiku untuk minta foto bersama.

"Aku benar-benar berterima kasih kamu mau repot-repot datang. Apalagi sampai membuat Ray begitu kelihatan bahagia." ujar mbak Febby saat kami sudah hampir masuk wilayah parkir mobil.

"Ah, saya lagi tidak ada jadwal sampai sore nanti. Jadi saya nggak repot sama sekali." tanggapku.

"Ranti pasti nggak tau ya kalau kamu pagi ini ke sini?" tebak mbak Febby tepat.

Aku mendengus tertawa. "Betul sekali."

Mbak Febby tertawa ringan. Sepertinya ia sangat memahami sahabatnya itu.

"Ranti itu kelihatannya saja begitu keras dan disiplin. Tapi ia begitu karena hidupnya yang sulit," jelas mbak Febby sambil tersenyum. "Kalau sudah kenal dia dengan baik, kita akan tahu pribadi Ranti sebenarnya yang hangat dan perhatian."

Aku tersenyum mendengar penjelasan mbak Febby karena apa yang ia katakan memang sangat benar. Boss memang hanya luarnya saja yang tegas dan disiplin. Sebenarnya Boss sangat perhatian dan lembut.

"Kamu senyum-senyum sendiri ini lagi memikirkan Ranti, ya?" tanya mbak Febby tiba-tiba.

"Ha? Ya kan otomatis karena mbak Febby sedang bicara tentang Boss." elakku tanpa bisa menutupi rasa gugup yang tiba-tiba mulai datang.

Mbak Febby tertawa. Lalu setelah tawa ringannya reda, ia berkata dengan nada penuh simpati, "Ranti itu tidak mudah didekati. Ia seperti selalu menjaga jarak dengan orang lain. Kepribadiannya unik. Dia bisa tidak nyaman menerima bantuan orang lain. Tapi ia sendiri selalu membantu orang lain bahkan sampai mengorbankan dirinya sendiri."

Aku terdiam dan akhirnya memberanikan diri bertanya, "Boss apa memang begitu sejak dulu, mbak?"

Mbak Febby menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya bercerita, "Tidak separah sekarang. Aku menduga itu karena Ranti sering merasa kecewa saat ia menyayangi orang lain. Sehingga saat ini ia benar-benar membatasi dirinya untuk tidak terlalu dalam saat menjalin hubungan dengan seseorang."

Mbak Febby diam sejenak lalu melanjutkan, "Saat Ranti masih kecil, ayahnya pernah berjanji untuk datang ke pentas tari yang akan Ranti tampilkan. Tapi sayangnya, ayahnya mengalami kecelakaan dan meninggal. Saat SMA, Ranti pernah naksir seorang kakak kelas yang memang terlihat PDKT ke Ranti. Tapi ternyata si kakak kelas hanya memanfaatkan Ranti untuk bahan taruhan dengan teman-temannya. Mereka bertaruh apakah si kakak kelas berhasil membuat Ranti yang cool itu jadi jatuh cinta."

Mendengar cerita terakhir, tiba-tiba aku merasakan darahku seperti mendidih. Kalau aku bertemu kakak kelas Boss yang kurang ajar itu, pasti akan aku hajar sampai babak belur.

"Lalu...," lanjut mbak Febby. "Ranti mulai dekat dengan teman sekelasnya. Kalau aku nggak salah ingat, namanya Reno. Tapi ternyata sahabat Ranti saat itu juga naksir cowok yang sama. Dan pada akhirnya Reno memilih jadian sama sahabat Ranti dengan alasan bahwa Ranti tidak akan terpengaruh meski tidak bersama Reno karena kepribadian Ranti yang kuat dan mandiri."

"Cowok sampah!" geramku.

Mbak Febby spontan menoleh padaku. Lalu ia tersenyum.

"Aku juga ingin merobek mulut Reno jika saat itu aku ada di sana," sahut mbak Febby. "Apa dia pikir, cewek mandiri dan tangguh seperti Ranti tidak punya perasaan?"

Aku mendengus kesal. Tanganku mengepal menahan marah yang tiba-tiba semakin memuncak. Aku merasa sangat iba pada Boss sampai-sampai rasanya saat ini aku ingin pergi menemui Boss dan memeluknya. Pantas saja Boss menjadi begitu dingin dan menjaga jarak. Mungkin itu adalah cara Boss melindungi dirinya agar tidak tersakiti lagi.

"Aku tidak tahu apakah aku boleh cerita yang ini, tapi... karena kamu sudah datang untuk Ray, aku akan menceritakannya padamu." ujar mbak Febby sambil menatapku serius.

"Tentang apa?" tanyaku penasaran.

"Ini tentang... Ranti dan...," jawab mbak Febby terlihat ragu.

"Dan Brendan Maulana?" tebakku.

Mbak Febby membelalak kaget. Sepertinya ia tidak menduga aku bakalan mengatakan nama itu dan ternyata tepat sasaran.

"Kok kamu... bisa tahu?" tanya mbak Febby setelah berhasil meredakan kekagetannya.

Aku menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Ya tau aja."

"Ranti cerita ke kamu?" tanya mbak Febby lagi.

"Nggak, sih. Tapi saya tau." jawabku berusaha santai karena darahku kembali terasa mendidih karena sekarang jadi mendapat kebenaran bahwa ternyata memang antara Boss dan Brendan ada kisah masa lalu yang mungkin belum selesai.

Mbak Febby terdiam. Mungkin ragu-ragu akan meneruskan ceritanya padaku.

"Ceritakan saja, mbak," pintaku. "Saya tidak akan menceritakannya pada Boss."

Mbak Febby masih diam. Sehingga akhirnya aku yang memancing ceritanya dengan sebuah pertanyaan.

"Memangnya Boss dan Brendan pernah ada kisah apa?" tanyaku sambil menyiapkan hati untuk mendengar jawaban mbak Febby.

Mbak Febby tiba-tiba menghentikan langkahnya sehingga aku pun ikut berhenti. Mbak Febby kini berdiri menghadapku dan memandangku dengan sorot mata bimbang tapi juga pasrah.

"Devon, janji ya jangan bilang Ranti bahwa aku yang cerita ke kamu tentang ini?" pinta mbak Febby serius.

Aku mengangguk yakin.

"Tentu. Saya kan tadi sudah janji nggak akan cerita ke Boss." tanggapku datar. Walau sebenarnya saat ini jantungku berdebar luar biasa karena menanti cerita sebenarnya tentang Boss dan Brendan Maulana dari mbak Febby.

"Oke..." ujar mbak Febby lalu melanjutkan dengan kalimat yang membuatku merasa seperti tersambar listrik ribuan volt.

"Ranti... dulu pernah-... pernah hampir menikah dengan Brendan."

Reading RainbowWhere stories live. Discover now